Menyatu dengan Wisata, Arah Budaya Tamat

Jakarta - Persoalan kebudayaan kembali menjadi perbincangan seru dalam diskusi bertajuk Quo Vadis Kebudayaan Indonesia yang digelar Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (Iluni FIB UI), Kamis di Jakarta.

Banyak persoalan kronis bangsa ini, tersebab karena kebudayaan kurang mendapat perhatian. Selama masalah kebudayaan diurus kementerian kebudayaan dan kepariwisataan, kebudayaan tetap terpinggirkan. Itulah benang merahnya.

Bubarkan Budpar. Adanya Budpar ini kesalahan besar, kata Hardi, pelukis yang kini lebih sibuk melayani pembuatan keris. Budpar yang dimaksud Hardi adalah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Narasumber lain, mantan wartawan Tempo Linda Djalil juga mengemukakan hal senada. Begitu arah kebudayaan ditentukan oleh penguasa dengan mengupayakan kebudayaan dilepas dari pendidikan dan menyatu dengan kepariwisataan, maka tamatlah riwayat dan mulailah ukuran dagang dan selera pasar berlaku maju. Bukan nurani dan bukan dari kacamata estetika lagi yang dilihat, tandasnya.

Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Bambang Wibawarta, juga menyorot soal misi kebudayaan Indoensia di luar negeri yang salah kaprah. Kalau yang dikirim tarian dan fashion show, itu bukan misi kebudayaan. Akan tetapi, misi tari-tarian dan fashion show, katanya.

Peneliti Hilmar Farid Maulana dalam pandangan lain mengatakan, keberadan bangsa Indonesia yang selama ini cenderung semakin merosot, tak lepas dari masalah kebudayaan. Karena itu, strategi kebudayaan penting. Yang lebih penting lagi, bagaimana memperkuat komitmen, ujarnya.

Dipertanyakan
Hardi dan Bambang mempertanyakan tindak lanjut dari Kongres Kebudayaan yang sudah berkali-kali diselenggarakan. K ongres Kebudayaan yang menghabiskan anggaran negara yang relatif besar, bahkan untuk Kongres Kebudayaan yang akan digelar tahun 2014, sudah di rancang anggarannya sekitar Rp5 miliar.

Kongres Kebudayaan sering diadakan, namun apa yang menjadi keputusan jarang ditindaklanjuti. Strategi kebudayaan yang selalu jadi pembahasan, merupakan jantung hidup kita. Karena itu, apa yang sudah menjadi keputusan kongres, harus diimplementasikan, paparnya.

Lain halnya dengan Hardi, menurut dia strategi kebudayaan memang diperlukan, tapi tidak di zaman sekarang. Strategi kebudayaan diperlukan hanya untuk era Orde Baru.

Sekarang itu yang diperlukan marketing of culture , memberdayakan kebudayaan. Ini yang tidak dimiliki Budpar, katanya.

Hardi menyontohkan Kroasia. Negara berpenduduk sekitar 5 juta jiwa ini bisa dikunjungi 12 juta wisatawan asing setahun. Kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dikemas menarik dan menjadi daya tarik wisatawan. Sementara Indonesia, yang berpenduduk 238 juta jiwa, hanya dikunjungi turis asing sekitar 6 juta orang setahun.

Tak hanya soal implementasi hasil kongres yang dipertanyakan. Linda Djalil mempertanyakan dan menyorot dengan tajam budaya yang berkembang di dalam dunia pendidikan dan dalam keseharian masyarakat. Seperti tak adanya budaya malu, budaya politik, budaya antre, budaya sinterklas, budaya kerja, dan tak adanya budaya kreatif.

Malu rasanya bila kita mengamati bangsa Jepang bekerja dengan etos yang amat tinggi. Bagaimana negeri Cina yang beberapa puluh tahun lalu masih gersang kini bisa melaju pesat. Juga kehebatan laju ekonomi Malaysia yang banyak menampung tenaga kerja kita, ungkap Linda.

-

Arsip Blog

Recent Posts