Oleh Eko Budihardjo
“The city is the ultimate memorial of our struggles and glories.” (Spiro Kostoff)
Konferensi dan Ekspo Kota-kota Pusaka Dunia yang digelar di kota Solo telah berakhir sukses, Oktober silam. Kita layak merasa bangga dengan dikukuhkannya kota Solo sebagai kota pusaka (heritage city) dan dibentuknya Jaringan Kota-kota Pusaka Indonesia.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik yang mengomandani dua peristiwa besar itu berpesan agar pusaka-pusaka budaya yang tersebar di segenap pelosok Tanah Air dipelihara sebaik-baiknya. Namun, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba terdengar berita amat mengejutkan bahwa di dalam Benteng Vastenburg akan dibangun hotel modern berlantai 13 (Kompas, 4/11/2008).
Benar-benar mengejutkan. Benteng Vastenburg, yang juga dikenal dangan nama Grootmoedigheid, dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Imhoff tahun 1745. Saya lantas terngiang-ngiang ucapan KRT Hardjonagoro yang baru saja dipanggil Tuhan bahwa nenek moyang kita dulu pernah berpesan, ” Yen wis kliwat separo abad, jwa kongsi binabat.” Artinya, bangunan bersejarah yang sudah berumur lebih dari separuh abad atau lima puluh tahun jangan sampai dihancurkan.
Kutipan di awal tulisan ini, yang dicuplik dari buku karya Spiro Kostoff, The City Shaped (1991), memperkuat pesan arif itu. Benteng Vastenburg dalam usianya yang 263 tahun dan relatif masih kokoh sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah kota Solo. Jangan dilecehkan, diabaikan, atau disisihkan begitu saja oleh siapa pun.
“Jati diri sejarah”
Terminologi jati diri sejarah atau historic identity dicetuskan oleh Siri Myrvoll dalam buku yang diterbitkan Bank Dunia berjudul Historic Cities and Sacred Sites: Cultural Roots for Urban Futures (2001).
Dalam buku yang disunting oleh Ismail Serageldin dan kawan-kawan itu, secara eksplisit dinyatakan, berbagai bangunan kuno yang menjadi cerminan sejarah kota tidak boleh dan tidak seharusnya dikorbankan hanya karena pertimbangan finansial dan kepentingan ekonomi semata. Jati diri sejarah menciptakan sense of continuity dan juga rasa tempat atau a sense of place yang menumbuhkan perasan bangga atau a sense of pride bagi segenap warga bangsa.
Kota yang baik adalah kota yang bisa menyuguhkan sejarah kota dari waktu ke waktu yang kasatmata, fisik dan visual.
Pernah ada salah seorang pejabat daerah yang menyoal, mengapa harus melestarikan bangunan kuno peninggalan Belanda, yang hanya akan mengingatkan kita semua bahwa dulu Indonesia pernah dijajah Belanda. Malu sama anak cucu, katanya. Beliau lupa, sejarah adalah sejarah, tidak boleh dimanipulasi dari history menjadi his story.
Seharusnya, kepada generasi penerus, kita bisa mencoba menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa dengan penjelasan, memang dulu kita pernah dijajah Belanda, tetapi berkat perjuangan para pahlawan, kita bisa merdeka. Sejajar dengan negara-negara lain. Berbeda dengan negara-negara tetangga kita yang kemerdekaannya sekadar diberi oleh Inggris, tanpa perjuangan, apalagi pertumpahan darah.
Benteng Vastenburg jelas merupakan salah-satu ikon jati diri sejarah kota Solo dan sudah masuk kategori pusaka budaya sesuai Undang-Undang Benda Cagar Budaya. Jadi, sudah menjadi kewajiban kita (terutama pemerintah kota Solo) untuk merawatnya. Makna kulturalnya sangat tinggi.
Meminjam kata-kata John Ruskin yang mengilhami terbentuknya The Society for the Protection of Ancient Buildings di Inggris tahun 1877, “Menghancurkan bangunan kuno bersejarah merupakan dosa sosial yang besar dan tidak terampunkan.”
Suntikan fungsi baru
Banyak pihak menyalahartikan pengertian merawat bangunan kuno dan kawasan bersejarah hanya dengan pengawetan atau preservation. Sekadar menjaga atau mengembalikan ke keadaan semula tanpa memberi peluang pada perubahan. Padahal, Worthing & Bond dalam buku terbarunya, Managing Built Heritage: The Role of Cultural Significance (2008), dengan tegas mengatakan, “Change in historic environment is inevitable … responding to social, economic, and technological advances.”
Kategori perawatannya tidak sekadar preservation yang statis, tetapi conservation yang dinamis. Dalam disiplin ilmu konservasi, dikenal istilah adaptive reuse atau suntikan bangunan dengan fungsi baru di kawasan kuno bersejarah.
Dalam kasus benteng Vastenburg, berarti dimungkinkan pula hadirnya bangunan baru. Contoh yang fenomenal adalah Glass Pyramid modern karya arsitek Ioh Ming Pei di kawasan kuno Museum Louvre di Paris, yang amat populer dan menjadi salah satu obyek wisata unggulan. Bangunan kuno dan bangunan baru menyatu dengan akrab.
Yang harus diwaspadai adalah bahwa kehadiran bangunan baru itu jangan sampai merusak semangat tempat (spirit of place), citra, skala, dan suasana yang khas, yang telah menjadi ciri kawasan kunonya.
Bila di dalam kawasan Benteng Vastenburg dibangun hotel 13 lantai, hotel itu akan mengerdilkan benteng. Benteng bersejarah itu hanya akan terlihat seperti pagar hotel.
Alternatif yang pernah saya dan Prof Sidharta (alm) rekomendasikan beberapa tahun silam adalah suntikan fungsi baru di dalam benteng berupa bangunan-bangunan dua lantai untuk pertokoan, yang khusus menjual hasil seni kriya tradisional. Dengan hanya bertingkat dua, skala dan suasana lingkungan akan terjaga. Karya-karya seni khas seperti batik, lurik, keris, wayang, gamelan, topeng, dan cenderamata akan mendapat tempat terhormat. Lebih menarik lagi bila kanal yang mengitari benteng direkonstruksi, dan disediakan akses untuk jalan di atas benteng, agar pengunjung bisa menikmati pemandangan dari atas ke dalam maupun ke luar benteng.
Sudah saatnya seniman, budayawan, sejarawan, arsitek, planolog, dan pemangku kepentingan lain diajak memikirkan berbagai alternatif perencanaan dan pembangunan kota agar tidak kehilangan jati diri sejarahnya.
Jika di kalangan militer berlaku kaidah “Perang terlalu penting untuk diserahkan kepada seorang jenderal,” dalam hal membangun kota berlaku kaidah “Kota terlalu penting diserahkan kepada seorang wali kota”.
EKO BUDIHARDJO Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Undip, Semarang
Sumber: http://www.bernardsimamora.info