Hamburg, Jerman - Musim panas di Eropa, matahari bersinar lebih lama. Suhu kadang mencapai lebih dari 30 derajat celsius dan pepohonan penuh daun. Dengan suhu demikian, wajarlah bila acara pertemuan dengan sesama warga negara Indonesia (WNI) banyak diselenggarakan.
Untuk kedua kalinya, sekolompok warga Indonesia di Hamburg, kali ini menggelar sebuah bazaar terbesar di Jerman bertema Indonesia, dengan nama Pasar Hamburg. Bertempat di Magnushall, pusat kota Hamburg, pada 7 Juni 2014.
Memasuki Magnushall, napas Indonesia sangat terasa dengan adanya umbul-umbul warna-warni serta dekorasi khas Bali. Pameran sejumlah foto tentang keindahan Indonesia bisa ditemui di pintu masuk.
Para tamu langsung merasakan keakraban khas Indonesia saat disambut hangat oleh panitia yang mengenakan batik. Di ujung selasar, terdapat sebuah becak yang langsung digunakan sebagai spot foto oleh para pengunjung.
Magnushall terbagi dalam dua aula besar. Aula pertama dikhususkan untuk penjualan barang barang khas Indonesia, cendera mata, batik bahkan buku. Universitas Hamburg jurusan studi Bahasa Indonesia pun ikut berpartisipasi di sini.
Sebuah panggung besar ada di aula ini. Dibuka dengan pemutaran film pendek tentang tari Jacko Siompo berjudul The Story of Street Pass, rangkaian pertunjukan budaya dimulai sekitar pukul dua siang.
Di sini tampil kelompok-kelompok budaya di Hamburg yang menampilkan berbagai tontonan, dari tari Tempurung asal Minang, orkestra angklung, pertunjukan solo gitar hingga dangdut.
Puncaknya adalah penampilan Tuti Kanta dan sebuah band asal Bali Nosstress. Rangkaian pertunjukan budaya ini memukau penonton yang bertahan hingga pukul sembilan malam.
Aula kedua dikhususkan untuk 14 stan kuliner khas Indonesia. Di sini, pengunjung Pasar Hamburg dimanja dengan jajanan seperti rujak, satai ayam, satai padang, bakso, es campur, dawet, kue kue, siomay atau nasi kuning lengkap. Harga sepotong kue atau seporsi satai ayam berkisar antar 1,5 Euro hingga 5 Euro.
Mega Juwita, yang tinggal di Luebeck, rela datang khusus ke Pasar Hamburg dengan suami dan putranya dengan tujuan ingin bertemu dengan sesama warga Indonesia yang telah lama dikenalnya namun tinggal di kota kota lain. Ia juga sangat menikmati hidangan favoritnya, satai ayam yang dibakar dengan arang.
"Rasanya seperti satai di Indonesia,” ujarnya.
Mega tidak sendiri. Pasar Hamburg memang digunakan oleh para WNI yang tinggal di Jerman sebagai tempat berjumpa dan temu kangen.
Kepada VIVAlife, penggagas dan tokoh masyarakat, Julie B, mengatakan bahwa gagasan pertama kali menyelenggarakan kegiatan ini adalah mempererat persaudaraan.
"Walaupun di Jerman, atau sama sama di Hamburg, banyak dari kita yang tidak saling kenal. Melalui pasar Hamburg kita bisa saling kenal. Yang sudah kenal bisa temu kangen sekaligus juga mempromosikan Indonesia," katanya.
Kultur Bersahabat
Seorang tenaga ahli asal Indonesia yang tinggal di Hamburg, Prio Adhi Setiawan, berharap suatu saat nanti Pasar Hamburg dapat berkembang seperti pasar Tong Tong di Belanda.
“Mungkin Pasar Hamburg sekarang ini sudah bisa jadi trademark besar di Hamburg. Di mana orang bisa berkumpul. Tidak hanya makan tapi juga bisa bersilaturahmi. Sekaligus menunjukkan kultur kita yang ramah dan bersahabat pada warga Jerman," ucap dia.
Tahun lalu, Pasar Hamburg diselenggarakan untuk pertama kalinya di tempat yang sama. Namun saat itu hanya menggunakan satu aula seluas 3.000 meter per segi. Sekitar 1.400 orang mengalir mendatangi pasar Hamburg.
Dengan banyaknya peminat Pasar Hamburg, tahun ini lokasinya digandakan menjadi dua aula, sehingga orang bisa lebih leluasa menikmati kuliner atau pertunjukan budaya.
Karcis tanda masuk Pasar Hamburg seharga lima Euro bagi dewasa dan anak-anak di bawah dua belas tahun tidak dikenakan biaya apapun.
Menurut pengamatan VIVAlife, pengunjung Pasar Hamburg bukan hanya Warga Indonesia yang tinggal di Hamburg dan kota-kota sekitarnya, namun juga warga Jerman yang berminat pada budaya Indonesia.
WNI yang tinggal di kota Hamburg dan sekitarnya tercatat ada sekitar 2.500 orang.