Tanjungpinang, Kepri - Tidak terbayangkan bilamana kemudian pembangunan Provinsi Kepulauan Riau terpisahkan dari aspek-aspek kebudayaan. Karena bagaimana pun, sebagaimana Budayawan Melayu Rida K Liamsi pernah berkata, budaya Melayu adalah ruh pembangunan provinsi ini. Bukan tingginya gedung-gedung atau besarnya pelabuhan-pelabuhan yang akan membuat mata dunia ini menoleh, kata Rida, namun karena kebudayaannya.
Apa yang diucapkan Rida itu kemudian menjadi nyata. Pengujung tahun ini, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud RI mengusulkan Pantun Melayu sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO.
“Beberapa hari yang lalu kami sudah diundang oleh kementerian untuk mengikuti langsung rapat koordinasi penyusunan naskah akademisnya,” kata Kepala Balai Pelestarian Nilai dan Budaya Provinsi Kepri, Suarman, ditemui Batam Pos di ruang kerjanya, Senin (3/10).
Pada rapat koordinasi tersebut, dinyatakan pada tahun ini Indonesia bakal mengajukan empat warisan budaya takbenda yang dimilikinya sebagai warisan budaya dunia. Pantun Melayu adalah satu di antaranya selain Pencak Silat, Penanggalan Tradisional, dan Lariangi. Menilik senarai ini, menjadi lebih menarik karena Pantun Melayu adalah satu-satunya tradisi lisan yang diajukan.
Ada beberapa pertimbangan sehingga bulat tekad untuk menjadikan Pantun Melayu sebagai warisan budaya dunia. Di antaranya adalah betapa Pantun Melayu telah menjelma sebagai bagian dari peradaban orang-orang Melayu yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Yang dalam bahasa Suarman, ia menyebutnya telah bersebati dalam jiwa orang Melayu.
“Pantun adalah living culture. Ia hidup dengan sangat nyata dan terasa dalam kehidupan sehari orang-orang Melayu. Bahkan menjadi pembentuk kecerdasan berbahasanya,” ungkap Suarman, yang juga merupakan wakil ketua tim penyusunan naskah akademis pengusulan ini.
Pantun juga identitas orang Melayu. Begitu Suarman menukas tegas. Disadari atau tidak, pantun telah hidup dan lestari. Hampir di setiap aktivitas kehidupan orang Melayu tidak lepas dari pantun. Sebut saja misalnya, kata dia, adat pernikahan. Sehingga dari sini boleh diambil kesimpulan bahwasanya pantun bukan sekadar didefinisikan sebagai karya sastra tua. Tapi juga medium orang Melayu dalam berucap santun dan berpikir bijak.
Lebih daripada itu, pantun juga sebenarnya sudah dinobatkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional sejak setahun lampau. Artinya, keberadaan pantun dalam lanskap kehidupan masyarakat bangsa Indonesia sudah diakui adanya dan jadi sebuah kekayaan budaya yang tidak terbantahkan.
“Lagipula, sepanjang Indonesia terlibat pada pengusulan warisan budaya dunia, hanya pantun yang merupakan sebuah tradisi oral yang pernah diajukan,” ujar Suarman.
Dari tahun ke tahun dan bahkan sejak seabad lampau, pantun terus dikembangkan, dimanfaatkan, dan dilestarikan. Suarman menjelaskan, hal ini yang membuat posisi Pantun Melayu punya nilai tawar untuk masuk daftar pengusulan warisan budaya dunia tahun ini.
Hingga pertengahan bulan ini, kata Suarman, tim sedang bertungkus-lumus untuk merampungkan naskah akademis pengusulannya. Kemudian, kembali dilaksanakan kajian-kajian bersama sebelum dilayangkan ke UNESCO untuk pengesahannya.
Apa untungnya bila kemudian Pantun Melayu masuk dalam daftar Warisan Budaya Dunia yang diakui UNESCO? Suarman tidak ragu-ragu menjawab. “Banyak sekali,” ujarnya.
Yang paling nyata, kata dia, akan membuat orang-orang seluruh dunia semakin tertarik mempelajari pantun. Kepulauan Riau sebagai satu daerah basis besar orang Melayu akan menjadi tujuan pembelajaran oleh penduduk dunia yang kelewat penasaran dengan pantun. Kata dia, budaya barat akan menoleh kembali ke timur. “Dan itu baru dari sisi pendidikannya saja. Belum lagi dari sisi ekonomi, pariwisata, dan masih banyak lagi,” katanya.
Sebab itu, selama dua pekan ke depan akan disusun dengan baik naskah akademisnya. Suarman mengharapkan ada kerja sama lintas instansi terkait, agar rencana besar ini menjadi nyata dan membuat Pantun Melayu kian masyhur lantaran tercatat dalam warisan budaya dunia.
Pengusulan Pantun Melayu sebagai warisan budaya dunia ini beroleh sambutan positif dari para pegiatnya. Rendra Setyadiharja, pegiat pantun di Tanjungpinang, mengungkapkan, penetapan status ini bakal membuat eksistensi pantun sedemikian meluas. Mungkin saja, sambung Rendra, pantun akan menjelma menjadi suatu tradisi lisan yang bertransformasi ke seni pertunjukan.
“Jelas sekali itu perlu didukung. Sehingga pantun dapat dinikmati semua kalangan dan di mana pun berada,” ujar Rendra.
Hanya saja, Rendra mengingatkan, menjadikan Pantun Melayu sebagai warisan budaya dunia bukan saja sebagai tradisi lisan tanpa aturan main dalam membuatnya, juga bukan saja seni pertunjukan yang boleh ditampilkan dan diperuntukkan di mana saja. “Namun kaidah-kaidahnya harus juga tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam tubuh pantun,” ucapnya.
Rendra tegas mengatakan, menjaga kaidah berpantun adalah keniscayaan. Karena bila tidak, pantun itu akan kehilangan ruhnya. “Karena dalam bentuk apapun pantun harus tetap pada koridor filosofisnya, yaitu sopan dan santun,” ujarnya.
Sumber: http://batampos.co.id/