Oleh Jatmiko
Lokasi dan Gambaran Lingkungan Situs
Homo erectus Situs Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km. Situs Sangiran yang memunyai luas sekitar 59, 2 km² (SK Mendikbud 070/1997) ini secara administratif termasuk ke dalam dua wilayah pemerintahan: yaitu Kabupaten Sragen (Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan Plupuh) dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo), Provinsi Jawa Tengah (Widianto & Simanjuntak, 1995).
Secara geostratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik). Kondisi deformasi geologis seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro, dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah, dan selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka lapisan-lapisan tanah tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata) (Widianto & Simanjuntak, 1995).
Riwayat dan Latar Belakang
Ekskavasi di Sangiran Sejarah atau riwayat penelitian di Situs Sangiran bermula dari laporan GHR. von Koenigswald yang menemukan sejumlah alat serpih dari bahan batuan jaspis dan kalsedon di sekitar Bukit Ngebung pada tahun 1934 (Koenigswald, 1936). Temuan alat-alat serpih yang kemudian terkenal dengan istilah "Sangiran Flakes-industry" tersebut diperkirakan berasal dari lapisan (seri) Kabuh Atas yang berusia Plestosen Tengah. Namun hasil pertanggalan tersebut banyak dikritik oleh para ahli (de Terra, 1943; Heekeren, 1972) karena temuan tersebut dihubungkan dengan konteks Fauna Trinil yang tidak autochton (Bartstra dan Basoeki, 1984: 1989) atau bukan dari hasil pengendapan primer (Bemellen, 1949).
Penelitian di situs ini menjadi semakin menarik dan berkelanjutan ketika pada tahun 1936 ditemukan fragmen fosil rahang bawah (mandibula) manusia purba Homo Erectus yang kemudian disusul oleh temuan fosil-fosil lainnya.
Setelah masa pasca Koenigswald atau pada sekitar tahun 1960-an, penelitian terhadap fosil-fosil hominid dan paleotologis di situs ini kemudian diambil alih oleh para peneliti dari Indonesia (antara lain T. Jacob dan S. Sartono) serta terus berkelanjutan sampai sekarang. Penelitian yang sangat "spektakuler" terjadi ketika Puslit Arkenas melakukan kerjasama penelitian dengan Museum National d’Histoire Naturelle (MNHN), Prancis melalui ekskavasi besar-besaran selama 5 tahap (tahun 1989–1993) di Bukit Ngebung yang menghasilkan sejumlah temuan secara ‘"nsitu’"dan pertanggalan absolut yang sangat menarik. Penelitian Situs Sangiran semakin berkembang pesat dalam dekade lima tahun belakangan ini setelah Balar Yogya ikut berpartisipasi langsung dan melakukan program-program penelitian secara intensif dan terpadu (Widianto, 1997; Jatmiko, 2001).
Geo-Stratigrafi dan Pertanggalan Manusia Purba Homo erectus
Sangiran adalah sebuah situs paleontologis yang terlengkap di Indonesia dan cukup terkemuka di dunia. Keberadaan situs ini secara resmi telah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu situs warisan budaya dunia sejak bulan Desember 1996 (Widianto, 2000).
Dari sekitar 100 individu temuan fragmen fosil manusia purba yang didapatkan di Indonesia, hampir 65% -nya berasal dari Situs Sangiran dan mencakup sekitar 50 % dari populasi taxon Homo Erectus di dunia. Pada umumnya fosil-fosil tersebut ditemukan secara kebetulan (temuan penduduk) dan dalam bentuk fragmenter; antara lain berupa tulang-tulang tengkorak, mandibula, dan femur. Fosil-fosil tersebut ditemukan pada beberapa tempat atau lokasi utama di Pulau Jawa; antara lain di Pati Ayam, Sangiran, Ngandong, dan Sambungmacan (Jawa Tengah) serta di daerah Trinil dan Perning (Jawa Timur). Berdasarkan bentuk fisik dan lingkungan endapan asalnya, secara umum temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia dikategorikan menjadi 3 kelompok utama (Widianto, 1996): yaitu kelompok Pithecanthropus Arkaik yang berasal dari Formasi Pucangan (Plestosen Bawah) yang ditaksir memunyai usia antara 1,7 – 0,7 tahun.
Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus Palaeojavanicus dan Pithecanthropus Mojokertensis. Kelompok kedua adalah jenis Pithecanthropus Klasik yang berasal dari Formasi Kabuh (Plestosen Tengah) yang memunyai usia sekitar 800.000 – 400.000 tahun. Jenis kelompok ini (Homo Erectus) yang paling banyak ditemukan di Sangiran. Kelompok yang ketiga adalah Pithecanthropus Progresif yang berasal dari Formasi Notopuro (Plestosen Atas) dan memunyai umur antara 400.000 – 100.000 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah temuan Homo Soloensis dari Ngandong dan Trinil (Widianto 1996, Semah et.al. 1990).
Daftar Pustaka
Bartstra, GJ dan Basoeki. 1989. “Recent work on the Plistocene and the Palaeolithic of Java”. Carrent Anthropology. Vol 30. No. 2.
Bemmelan, RW van. 1949. The Geology of Indonesia an Adjacent Archipelagoes. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Hekeren, HR. Van, 1972. The Stone Age of Indonesia. Verhand van het Koninklijk Inst Voor Taal. Land- end Volken. The Hague.
Jatmiko. 2001. “Penelitian Artefak Manusia Purba di Situs Dayu (Sangiran), Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar". LPA Bidang Prasejarah. Puslit Arkenas. Jakarta.
Koeningswald, GHR van. 1936. Early Palaeolithic Stone Implements from Java. Singapore: Brill Rafles Museum.
Semah, Francois et.al. 1990. “Mereka Menemukan Pulau Jawa”. Buku Perjalanan 100 Th Pithecanthropus. Puslit Arkenas.
Widianto, Hary,1996. "Laporan Penelitian Sangiran: Penelitian tentang Manusia Purba, Budaya, dan Lingkungan”. BPA No. 46. Jakarta: Puslit Arkenas.
Widianto, Hary. 1997. “Situs Sangiran: Interpretasi Baru Berdasarkan Hasil Penelitian Terakhir”. Dalam PIA VII. Cipanas. Jakarta: Puslit Arkenas.
Widianto, Hary, 2000. Penelitian Situs Sangiran: Mencari Jejak Budaya Homo Erectus Arhaik dari Kala Plessen Bawah Tahap II. LPA Balar Yogyakarta.
Widianto & Simanjuntak. 1995. “Laporan Penelitian Manusia Purba, Budaya dan Lingkungan Sangiran”. LPA Puslit Arkeologi. Jakarta.
Sumber tulisan:
http://indoarchaeology.com
Lokasi dan Gambaran Lingkungan Situs
Homo erectus Situs Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km. Situs Sangiran yang memunyai luas sekitar 59, 2 km² (SK Mendikbud 070/1997) ini secara administratif termasuk ke dalam dua wilayah pemerintahan: yaitu Kabupaten Sragen (Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan Plupuh) dan Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo), Provinsi Jawa Tengah (Widianto & Simanjuntak, 1995).
Secara geostratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik). Kondisi deformasi geologis seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro, dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah, dan selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka lapisan-lapisan tanah tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata) (Widianto & Simanjuntak, 1995).
Riwayat dan Latar Belakang
Ekskavasi di Sangiran Sejarah atau riwayat penelitian di Situs Sangiran bermula dari laporan GHR. von Koenigswald yang menemukan sejumlah alat serpih dari bahan batuan jaspis dan kalsedon di sekitar Bukit Ngebung pada tahun 1934 (Koenigswald, 1936). Temuan alat-alat serpih yang kemudian terkenal dengan istilah "Sangiran Flakes-industry" tersebut diperkirakan berasal dari lapisan (seri) Kabuh Atas yang berusia Plestosen Tengah. Namun hasil pertanggalan tersebut banyak dikritik oleh para ahli (de Terra, 1943; Heekeren, 1972) karena temuan tersebut dihubungkan dengan konteks Fauna Trinil yang tidak autochton (Bartstra dan Basoeki, 1984: 1989) atau bukan dari hasil pengendapan primer (Bemellen, 1949).
Penelitian di situs ini menjadi semakin menarik dan berkelanjutan ketika pada tahun 1936 ditemukan fragmen fosil rahang bawah (mandibula) manusia purba Homo Erectus yang kemudian disusul oleh temuan fosil-fosil lainnya.
Setelah masa pasca Koenigswald atau pada sekitar tahun 1960-an, penelitian terhadap fosil-fosil hominid dan paleotologis di situs ini kemudian diambil alih oleh para peneliti dari Indonesia (antara lain T. Jacob dan S. Sartono) serta terus berkelanjutan sampai sekarang. Penelitian yang sangat "spektakuler" terjadi ketika Puslit Arkenas melakukan kerjasama penelitian dengan Museum National d’Histoire Naturelle (MNHN), Prancis melalui ekskavasi besar-besaran selama 5 tahap (tahun 1989–1993) di Bukit Ngebung yang menghasilkan sejumlah temuan secara ‘"nsitu’"dan pertanggalan absolut yang sangat menarik. Penelitian Situs Sangiran semakin berkembang pesat dalam dekade lima tahun belakangan ini setelah Balar Yogya ikut berpartisipasi langsung dan melakukan program-program penelitian secara intensif dan terpadu (Widianto, 1997; Jatmiko, 2001).
Geo-Stratigrafi dan Pertanggalan Manusia Purba Homo erectus
Sangiran adalah sebuah situs paleontologis yang terlengkap di Indonesia dan cukup terkemuka di dunia. Keberadaan situs ini secara resmi telah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu situs warisan budaya dunia sejak bulan Desember 1996 (Widianto, 2000).
Dari sekitar 100 individu temuan fragmen fosil manusia purba yang didapatkan di Indonesia, hampir 65% -nya berasal dari Situs Sangiran dan mencakup sekitar 50 % dari populasi taxon Homo Erectus di dunia. Pada umumnya fosil-fosil tersebut ditemukan secara kebetulan (temuan penduduk) dan dalam bentuk fragmenter; antara lain berupa tulang-tulang tengkorak, mandibula, dan femur. Fosil-fosil tersebut ditemukan pada beberapa tempat atau lokasi utama di Pulau Jawa; antara lain di Pati Ayam, Sangiran, Ngandong, dan Sambungmacan (Jawa Tengah) serta di daerah Trinil dan Perning (Jawa Timur). Berdasarkan bentuk fisik dan lingkungan endapan asalnya, secara umum temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia dikategorikan menjadi 3 kelompok utama (Widianto, 1996): yaitu kelompok Pithecanthropus Arkaik yang berasal dari Formasi Pucangan (Plestosen Bawah) yang ditaksir memunyai usia antara 1,7 – 0,7 tahun.
Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus Palaeojavanicus dan Pithecanthropus Mojokertensis. Kelompok kedua adalah jenis Pithecanthropus Klasik yang berasal dari Formasi Kabuh (Plestosen Tengah) yang memunyai usia sekitar 800.000 – 400.000 tahun. Jenis kelompok ini (Homo Erectus) yang paling banyak ditemukan di Sangiran. Kelompok yang ketiga adalah Pithecanthropus Progresif yang berasal dari Formasi Notopuro (Plestosen Atas) dan memunyai umur antara 400.000 – 100.000 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah temuan Homo Soloensis dari Ngandong dan Trinil (Widianto 1996, Semah et.al. 1990).
Daftar Pustaka
Bartstra, GJ dan Basoeki. 1989. “Recent work on the Plistocene and the Palaeolithic of Java”. Carrent Anthropology. Vol 30. No. 2.
Bemmelan, RW van. 1949. The Geology of Indonesia an Adjacent Archipelagoes. Den Haag: Martinus Nijhoff.
Hekeren, HR. Van, 1972. The Stone Age of Indonesia. Verhand van het Koninklijk Inst Voor Taal. Land- end Volken. The Hague.
Jatmiko. 2001. “Penelitian Artefak Manusia Purba di Situs Dayu (Sangiran), Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar". LPA Bidang Prasejarah. Puslit Arkenas. Jakarta.
Koeningswald, GHR van. 1936. Early Palaeolithic Stone Implements from Java. Singapore: Brill Rafles Museum.
Semah, Francois et.al. 1990. “Mereka Menemukan Pulau Jawa”. Buku Perjalanan 100 Th Pithecanthropus. Puslit Arkenas.
Widianto, Hary,1996. "Laporan Penelitian Sangiran: Penelitian tentang Manusia Purba, Budaya, dan Lingkungan”. BPA No. 46. Jakarta: Puslit Arkenas.
Widianto, Hary. 1997. “Situs Sangiran: Interpretasi Baru Berdasarkan Hasil Penelitian Terakhir”. Dalam PIA VII. Cipanas. Jakarta: Puslit Arkenas.
Widianto, Hary, 2000. Penelitian Situs Sangiran: Mencari Jejak Budaya Homo Erectus Arhaik dari Kala Plessen Bawah Tahap II. LPA Balar Yogyakarta.
Widianto & Simanjuntak. 1995. “Laporan Penelitian Manusia Purba, Budaya dan Lingkungan Sangiran”. LPA Puslit Arkeologi. Jakarta.
Sumber tulisan:
http://indoarchaeology.com