Cerpen Gunawan Maryanto
Dimuat di Koran Tempo
Akhirnya aku mengajakmu ke toko wayang. Itu janjiku sejak tahun lalu. Barulah sekarang aku bisa melunasinya. Betapa sulit menjelaskan kepadamu bahwa wayang kulit itu harganya mahal. Bahwa aku harus mengumpulkan uang berbulan-bulan atau terpaksa menghutang untuk bisa membelinya. Kamu hanya tahu bahwa aku sayang kamu dan aku akan memberikan segalanya untukmu. Kamu benar. Aku akan memberikan seluruh yang kupunya untukmu. Anakku satu-satunya.
Dan sekarang masuklah ke sana. Toko wayang yang sepi itu. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya tumpukan wayang, topeng kayu, wayang golek dan beberapa kelir ukuran kecil. Seperti yang kuduga kamu lantas berlari ke kelir itu. Kamu ingin memilikinya bersama sejumlah wayang yang terpajang di kelir putih ini. Ini mirip punya teman bapak, katamu. Ya, kamu masih ingat sebulan yang lalu aku membawamu ikut latihan wayang bersamaku. Di sana kau memainkan beberapa wayang di depan kelir. Kamu begitu kagum dengan bayang-bayang yang tercipta di sana. Dan meski kamu tak memintanya, aku tahu kamu begitu menginginkannya. Aku menggelengkan kepala. Tidak, Nak, itu mahal sekali.
Kamu menatapku. Lalu kembali menatap kelir itu. Pilih wayang saja. Bapak akan membelikan sepasang buat kamu. Kelirnya nanti kita buat sendiri. Kamu menatapku lagi. Memang bisa? Bisa, jawabku. Kita nanti beli kain dan kayu. Ya, ya, kamu setuju. Kini matamu beralih ke tumpukan wayang-wayang. Biarkan saja, Mas. Biarkan dia milih-milih sendiri. Seorang kakek-kakek muncul. Tampaknya ia pemilik toko itu. Iya, Pak. Lalu kubiarkan saja kamu berlarian ke sana ke mari, membongkar-bongkar tumpukan wayang yang terserak di seluruh ruangan. Diam-diam aku mulai memilih-milih sendiri wayang buat kamu, yang menurut perkiraanku harganya bisa terjangkau oleh uang yang hari ini kupunya. Apa pun yang kamu pilih nanti, akan kuganti dengan wayang pilihanku. Maaf.
Aku pun mulai membongkar-bongkar tumpukan wayang. Mencari yang bergagang kayu. Itu jauh lebih murah dari pada yang bergagang tanduk atau kulit penyu. Kucari yang berukuran kecil, yang tentu saja bukan wayang beneran untuk dimainkan Ki Dalang. Kucari yang pahatannya kasar dan catnya yang tak terlalu rumit. Aku tahu kamu akan memilih wayang-wayang yang bagus. Keindahan selalu menarik siapa saja. Tapi kenyataan sekarang jauh lebih menarik buatku. Benar, akhirnya kau membawa sepasang wayang: Arjuna dan Karna. Sementara aku sudah menyembunyikan Gareng dan Petruk ukuran kecil di salah satu tempat. Pilih ini, ya? Tanyaku pura-pura.
Kamu mengangguk sambil tersenyum lebar. Bagus, sih. Katamu dengan lucu. Iya, bagus. Pinter kamu milihnya. Kataku kemudian. Kamu tahu siapa itu? Kamu menggeleng-gelengkan kepala. Ini Arjuna, itu Karna. Mereka musuhan meski sesungguhnya masih bersaudara. O, ya? Lalu kenapa mereka musuhan? Tanyamu ingin tahu. Nanti bapak ceritakan di rumah. Panjang ceritanya. Sekarang balikin dulu wayang itu ke tempatnya. Bapak sudah milih wayang yang bagus dan pas buat kamu. Kamu dengan agak heran mengembalikan kedua wayang pilihanmu itu. Sini. Kamu berlari mengikutiku. Sesampainya di tempat yang kutuju segera kutunjukkan wayang pilihanku. Siapa ini? Gareng dan Petruk! Jawabmu dengan cepat. Bagus, nggak? Bagus, jawabmu. Tapi lebih bagus tadi. Iya. Tapi kamu kan belum tahu ceritanya, jadi kamu belum bisa memainkannya. Kalau Gareng dan Petruk kamu kan sudah tahu. Kamu bisa mainkan mereka sesukamu. Dan wajahnya lucu-lucu.
Kamu diam. Tampak berpikir. Kenapa tidak yang tadi, sih? Kan nanti bapak mau cerita. Jadi aku akan tahu ceritanya. Kamu tetap tak gampang menyerah seperti biasanya. Akhirnya aku buka yang sebenarnya. Yang kamu pilih tadi mahal banget. Uang bapak tidak cukup. Kalau wayang yang ini bapak bisa beli dua. Kalau yang tadi kamu harus milih salah satu. Bagaimana? Terserah kamu. Dapat satu wayang. Atau dua wayang. Kamu berpikir lagi. Matamu melirik ke sana ke mari dengan lucu. Pilih dua wayang biar bisa dimainin. Sip! Sahutku. Ini sekarang kamu pegang. Lalu kamu bawa ke simbah yang duduk di sana. Kamu tanya harganya berapa. Kamu bergerak dengan cepat membawa Gareng dan Petruk di tanganmu. Aku mengikuti di belakang. Kakek-kakek itu tampak senang menerima kedatanganmu. Mbah, mau beli Gareng dan Petruk. Berapa harganya, ya? Tanyamu dengan gagah berani.
Kakek-kakek itu tertawa. Pinter kamu. Lalu ia memeriksa kedua wayang yang kamu sodorkan. Lalu matanya menuju ke arahku yang perlahan mendekat. Petruk. Gagangnya dari tanduk, Mas. Waduh, dari tanduk ya, Pak. Kataku spontan. Sebentar saya cari gantinya. Petruk yang bergagang kayu. Lalu dengan cepat aku memeriksa tumpukan-tumpukan wayang kembali. Kulihat kamu tengah bercakap-cakap dengan kakek-kakek itu. Tapi tak ada. Petruk bergagang kayu tak kutemukan. Mungkin aku tak teliti. Mungkin pula tak ada. Tapi aku terus berusaha mencari. Kalau tidak ada tidak apa-apa, Mas. Kata kakek-kakek itu dari kejauhan.Ya, memang tak ada, kataku kemudian dalam hati. Jadi berapa, Pak? Berapa, ya.
Kini gantian kakek-kakek itu yang bingung. Bisanya aku jual sangat mahal, Mas. Tapi untuk anak ini aku tidak akan memberi harga yang biasanya. Ia suka sekali dengan wayang. Terima kasih, Pak. Kataku. Kamu tersenyum-senyum. Muraaah, bisikmu keras-keras ke telingaku. Kakek-kakek itu tertawa mendengarnya. Besok kalau sudah agak besar bawa saja ke sini, Mas. Aku mau mengajarinya membuat wayang. Mau tidak? Tanya kakek itu kepadamu. Enggak, jawabmu. Buatnya kan tinggal ngeblat saja. Jawabmu. Kakek-kakek itu tertawa. Iya, diblat. Tapi tetap nanti kamu harus menatahnya dan memberi warna supaya benar-benar jadi wayang. Kamu manggut-manggut.
Setelah aku membayar sejumlah uang yang disebutkan kakek-kakek itu kita pun pulang. Kita langsung ke rumah bapak ya? Nanti kita main wayang. Iya, nanti kita langsung mainkan kedua wayang itu. Di atas motor kamu menagih kelir yang kujanjikan. Mungkin kamu baru saja ingat. Hari ini kita tidak pakai kelir. Sudah malam. Toko yang jual kain dan kayu sudah tutup. Kita nanti main di dinding saja. Lampunya pakai lampu senter dulu tidak apa-apa. Kamu mengangguk setuju. Motor kita terus melaju. Melintasi sore dan candik ayu. ***
Jogja, 2010
Sumber: http://www.sriti.com