Cerpen Rohyati Sofyan
Dimuat di Pikiran Rakyat
Saya tak bisa mengenyahkan mimpi buruk itu. Sudah lama sekali. Apakah arti mimpi, semacam ketakutan alam bawah sadar atau firasat yang mungkin terjadi? Namun, mimpi yang satu ini memang sialan! Saya takut jadi kenyataan.
Mimpi saya: mendatangi rumah suami. Ia sedang di teras bersama seorang perempuan cantik dan sedang hamil juga. Saya tidak kenal siapa ia. Bingung dari mana muasalnya. Ia lebih rapi dan berperhiasan, rambutnya lurus sepundak. Memakai baju hamil yang bagus, perawakannya lebih besar daripada saya, Pungundukan perutnya.
Sedangkan saya? Ampun, lusuh juga. Pakai kaus hijau belel, rambut tergerai sepunggung dan berantakan. Tak memakai riasan apalagi perhiasan. Saya menarik lengan suami agar menjauh dari perempuan itu. Namun, tangan mereka malah saling erat berpegangan. Saya berusaha keras menarik suami sampai mendekati sumur. Dan tak tahu mengapa saya sudah berada di mulut sumur dengan sebelah kaki di dalamnya. Seolah hendak menceburkan diri berikut suami jika bisa. Mimpi itu tak jelas akhirnya, saya sudah terjaga. Sendirian di ranjang. Suami kerja jauh jadi buruh bangunan di Tangerang. Saya kesepian sekaligus ketakutan!
Cemburu? Tentu setiap istri punya rasa itu. Apalagi jika harus tinggal berjauhan, pasti ada syak wasangka. Apalagi sudah dari sononya saya termasuk cemburuan. Saya mengkhawatirkan suami dan takut kehilangan!
Beginilah nasib istri yang ditinggal jauh suaminya mencari nafkah di luar kota. Sesuatu yang bahkan tak pernah terbayangkan. Menikah saja masih dalam hitungan bulan. Dan saat lajang jika dalam kendaraan melihat sepasang suami-istri, terkadang dengan anak mereka, saling berpamitan; saya hanya melihatnya sebagai adegan wajar. Tak pernah merasa harus sentimental karena bukan pemeran demikian. Namun setelah menikah segalanya berbeda. Saya menjadi bagian dari peristiwa-seorang-istri-ditinggal-suami-untuk-kerja. Belajar memahami lintasan kehidupan. Dan saya mencintai suami meski tidak tahu seberapa besar rasa cintanya pada saya. Saya takut perempuan itu menjadi sosok nyata di kemudian hari. Bahwa saya harus kalah bersaing dalam banyak hal. Kurus mungil dan tak seksi, berpenampilan sembarangan dan tak pandai menggunakan riasan meski punya seperangkat kosmetik dari seserahan. Perempuan itu cantik dan tahu bagaimana merawat penampilan. Bukan berarti saya tak bisa dandan dan mengurus penampilan, namun harus saya akui bahwa saya memang kurang peduli untuk selalu apik sepanjang hari. Saya ibu rumah tangga yang cukup sibuk dengan dunianya. Dulu, suami tak pernah meributkan penampilan. Namun, sejak pulang dari kota, ia protes menyuruh saya selalu dandan. Barangkali, ia terpengaruh pada selera orang kota, atau hanya ingin bangga bahwa istrinya cantik senantiasa.
Saya merindukan suami. Ia lelaki yang baik meski sering dicela orang lain. Setidaknya ia cukup baik pada saya. Saya membutuhkan lelaki macam demikian, yang tidak kasar pada istri dan bertanggung jawab. Jika bercinta, ia selalu tanya apa saya sudah orgasme atau belum. Dulu saya tak tahu apa arti orgasme, tetapi saya menikmati persetubuhan kami karena tidak macam-macam dan cara konvensional. Tak bisa saya bayangkan jika bersuamikan macam Wen Fu tokoh rekaan Amy Tan dalam novel "The Kitchen God`s Wife", lelaki kasar bahkan dalam percintaan. Itu mengerikan!
Suami akan berusaha lagi dan lagi sampai saya orgasme. Ia bahkan rela memenuhi keinginan saya jika tak puas dan ingin lagi, bukan karena tak memuaskan melainkan saya menyukai persetubuhan kami. Saya hanya suka jika tubuh kami sudah menyatu, seperti ada ikatan agar tak terpisahkan. Apakah semua perempuan menikah demikian?
Ia lebih suka bercinta dengan lampu menyala, katanya lebih menggairahkan jika sambil melihat wajah saya. Ekspresi aneh yang tak dijumpai dalam rutinitas keseharian selain di atas ranjang. Apakah pasangan yang sedang bercinta selalu jauh lebih rupawan?
Saya tertawa dan menceritakan hal demikian pada seorang kawan yang sudah dianggap abang. Kami selalu blak-blakan jika chatting di YM! Entah mengapa saya tetap merasa nyaman. Ia belum menikah juga meski usianya sudah 35. Namun, ia minta saya mendoakannya agar bisa menikahi perempuan pilihan yang dikenalnya. Ia begitu bahagia cerita perihalnya dan kebahagiaannya meresap pula pada saya. Kami bisa bicara berjam-jam perihal apa saja, ia berbeda dan tak membuat saya terhakimi jika bercerita mengenai hal pribadi yang paling memalukan. Padahal, kami hanya dipertemukan jaringan Multiply, dan dulu saya sering baca tulisannya karena kagum pada keahliannya dalam membuat desain grafis sampai fotografi. Ia yang mulai meng-add saya, kawan Fakhurradzie Gabe yang jurnalis juga. Radzie pun sebenarnya hanya kawan maya saya di milis guyubbahasa. Radzie sudah lama tak berkabar. Mungkin masih sibuk jadi aktivis LSM kemanusiaan. Saya juga sudah lama tak nongkrong di milis guyubbahasa, terlalu sibuk memasarkan tulisan ke berbagai media. Segalanya berbeda, apalagi setelah menikah kini. Lebih fokus pada kehamilan dan suami.
Kembali pada suami, pernah di awal pernikahan kami, saat bangun pagi saya merasa lemas sekali. Ia membangunkan saya sampai menyadari sakit sungguhan untuk pertama kali dalam pernikahan. Ia cemas sekali. Saya berantakan daripada biasanya. Kelelahan dan kurang makan. Juga demam. Jadi, ialah yang mengerjakan aktivitas harian. Sampai membangunkan saya lagi untuk mandi air panas. Ia yang memasaknya. Katanya, saya harus makan dan minum obat, jadi diminta mandi dulu agar mendingan. Lalu boleh tidur lagi, ia yang menyelimuti. Namun, saya bosan jadi orang sakit! Jelang sore, saya kembali beraktivitas mengabaikan sarannya agar beristirahat. Saya tak suka terus-menerus menggigil kedinginan dan butuh gerak. Ia tak bisa melarang. Namun, terus terang, saya sangat menyukai perlakuannya dalam merawat istri.
Kami tak pernah bertengkar hebat. Hanya ada perselisihan kecil yang tak meninggalkan riak. Pernah satu kali kami berselisih untuk hal konyol. Saya ingin bercinta sedang ia terlalu lelah dan tak bergairah. Saya marah dan memunggunginya. Namun, saya terlalu marah dan sok jual mahal. Gantian ia tersinggung dan kembali berpakaian. Saya menyesal dan minta maaf. Ia malah marah.
Jadi begitulah, ketika ia berpakaian, saya mengenakan kembali pakaian yang dilucutinya, ditambah sarung, dan bersiap pergi ke rumah ibu saya.
"Mau ke mana?" tanyanya sambil berbaring.
"Pulang!" jawab saya, kesal karena tak beroleh keinginan apalagi dimaafkan untuk yang tadi.
Ia pikir saya main-main. Saya keluar kamar dan hendak membuka pintu ruang tamu.
Ia menyusul dan mencegah saya. "Sudah tengah malam," katanya sambil menunjuk jam yang terpajang di dinding gedek.
Saya tercengang. Pukul dua belas lebih! Berapa lama tadi kami berselisih? Ah, saya terlalu egois dan kecewa padanya jadi tak peduli. Tiba-tiba ia malah bersimpuh memegang kaki saya. Itu peristiwa paling mengagetkan, seumur hidup baru ada yang demikian. Namun, saya mendorongnya dan terpaksa berbalik ke kamar. Lalu saya menyesal apalagi ia tidak ikut masuk kamar. Saya membuka tirai dan masih melihatnya bersimpuh cara tadi, ia sedang tercenung dan tampak menyesal.
"Masuklah," kata saya akhirnya, tak tega juga melihat ekspresi wajahnya. Ia mendongak tak percaya dan saya harus minta maaf agar ia kembali masuk kamar. Pada akhirnya kami saling meminta maaf dan memaafkan. Kembali berbaring di kasur dan berpelukan. Tidak ada amarah apalagi kebencian. Dan saya tak memaksanya jika ia enggan bercinta karena stres atau kelelahan. Meski pada akhirnya saat lelah pun ia berusaha agar bisa memenuhi keinginan saya maupun keinginannya. Ia seolah takut peristiwa tersebut berulang. Biasanya jika sedang ingin, ia tanya dulu apa saya rida melayani dan tak memaksa jika ternyata enggan. Kalaupun memaksa, ia tak kasar dan saya selalu luluh untuk melayaninya toh juga menikmati. Saya hanya enggan pada bulan ke-5 kehamilan karena khawatir pada bayi. Namun, suami selalu melakukannya dengan cara lembut dan pelan-pelan. Rasanya kami tidak bermasalah di atas ranjang. Hanya kadang menjumpai masalah dalam hidup keseharian. Seks bagi kami bisa jadi semacam pelipur lara, penghilang kesedihan agar tetap bahagia.
SMS dari Reni kawan saya di Bandung membuat heran. Ia mengutip saran dokternya agar lebih sering bersebadan biar bayi kuat. Itu pengalaman yang telah dipraktikkannya. Anaknya satu, perempuan dan sudah masuk TK. Pasti cantik seperti ibunya. Saya kangen dan ingin menjumpainya, tetapi tak boleh bepergian terlalu jauh. Suami akan melarang untuk alasan apa pun. Ia mengkhawatirkan saya dan bayi, apalagi saya pernah ambruk dan nyaris pingsan pada kehamilan bulan ketiga. Menjadi pemalas dan sangat moody pada bulan keempat, malah muntah-muntah pada bulan kelima. Lalu, membaik pada bulan keenam. Masih mual dan kadang muntah pada bulan selanjutnya jika di jamban.
Ada banyak peristiwa. Ia bukan lelaki yang romantis apalagi sok puitis. Namun, ia bisa romantis. Pernah suatu malam ia meninggalkan saya tidur sendirian untuk nonton TV di tetangga sebelah. Ia merasa bersalah meski saya tak melarang. Begitu terjaga, saya mendapati lengannya sudah memeluk tubuh dan kepala saya. Ia sendiri sudah terbaring nyenyak. Entah pukul berapa. Biasanya ia tak pernah meninggalkan saya lama. Rumah suami - warisan orangtuanya yang kami tinggali sekarang - konon angker. Meski saya tak peduli dan biasa keluar sendiri untuk panggilan alam, suami lebih sering menemani.
Ia menyuruh saya memakai sawen di kutang, katanya untuk jaga-jaga. Entah jaga-jaga dari apa. Saya tak percaya klenik dan enggan harus berjimat. Isi sawen lucu, kantung kain kecil beraroma bawang putih. Saya terpaksa mematuhinya. Ia hanya ingin mematuhi petuah orang tua tentang kepercayaan karuhun.
Yang lucu adalah pada suatu malam ia mengupas bawang putih dan menggosokkannya di jempol kaki saya. Katanya, ia disuruh neneknya. Penolak setan yang barangkali doyan mengemut jempol perempuan hamil untuk diisap darahnya. Ada-ada saja. Saya jadi berbau bawang putih dan tak menggairahkan untuk bercinta. Lucunya ia tetap mengajak bercinta di antara aroma bawang yang menguar.
Saya menanti suami pulang. Mencoreti angka di kalender setiap hari. Berharap ia baik-baik saja dan dijauhkan dari perbuatan maksiat maupun petaka. Saya mencintainya dengan doa yang melimpah. Ia lelaki bersahaja yang tak keren dari segi penampilan. Celana dalamnya saja sudah belel dan menyedihkan padahal cuma lima. Saya tak ada waktu untuk menjahit ulang dan menyarankan beli lagi karena tak tahu ukurannya. Namun ia mengabaikan. Katanya lebih mementingkan keperluan saya dan bayi.
Sekarang sejak kerja jauh, ia bertambah kurus. Saya sedih melihatnya. Seperti interniran zaman perang. Hampir menyerupai jerangkong terutama di tulang selangkangan. Namun ia hanya bilang, "Semua demi kamu." Membuat saya termangu.
Ia menjawab kecemasan saya kala melepasnya pergi atau menyambutnya pulang. Saya memang khawatir sesuatu menimpanya di perjalanan. Ia rela mengorbankan nyawanya demi saya dan bayi. Saya tak tega dan tak ingin jadi janda. Bayi kami membutuhkan figur ayah. Bukankah ia sangat ingin jadi ayah. Dan kami mensyukuri kehamilan ini sebab ada banyak pasangan yang sulit beroleh keturunan. Kami sadar bahwa itu harus diperjuangkan dan butuh pengorbanan besar.
Bayi selalu bergerak, kata orang pertanda sehat. Saya melihat hidup dan bayi dan suami; sebagai bagian dari lingkaran takdir. Dan saya tak berharap perkawinan kami kandas menuju titik nadir!***
Limbangan, Garut, 5 September 2009
Sumber: http://www.sriti.com