Oleh: Ir. Nuk Prasetya, MM., Ir. Munichy. M.arch., dan Dr. Ir. Yoyok W Subroto, M. Eng
Selama satu hari efektif (24 Juni 2008) tim yang terdiri dari Disbud Propinsi DIY serta tiga tenaga ahli Arsitektur UGM dan IAI melakukan kunjungan studi banding ke Padang. Kunjungan studi banding tersebut dilakukan dalam rangka mencari rujukan pembanding berkaitan bagi penyusunan kriteria penilaian lomba perancangan arsitektur bernuansa budaya DIY.
Orientasi pengamatan ditujukan pada objek yang masih orisinil berarsitektur Bagonjong dan objek yang sudah dimodifikasi. Bentuk-bentuk orisinil tersebut terdapat di beberapa komunitas budaya lama, salah dua misalnya di Nagari Sulit Air berjarak 107 km dari Padang dan Tanah Datar berjarak 120 kilometer. Lokasi yang terakhir merupakan objek studi banding. Bentuk modifikasi tersebut biasanya terdapat di kota-kota besar dengan fungsi yang berkembang, tidak hanya terdapat pada rumah tinggal tetapi juga banyak terdapat pada pertokoan, hotel, Bank, kantor pemerintah, tribun olahraga, bandara dan bangunan umum lainnya.
Arsitektur bagonjong diperoleh dari inspirasi bentuk rumah Gadang yaitu bangunan adat Minangkabau yang berfungsi sebagai rumah tinggal pasukuan, dihuni oleh beberapa keluarga sampai 20 keluarga, atap berbentuk pelana lengkung bersusun, dengan ujung atas kiri kanan di setiap susunan atap mendongak ke atas. Arsitektur Bagonjong dapat disebut pula sebagai arsitektur Gadang. Nama Gadang diambil dari fungsi bangunannya, sedangkan Bagonjong diambil dari bentuk atapnya yang melengkung gonjong ke atas atau mendongak.
Secara garis besar bentuk rumah Gadang terpola ke dalam dua gaya sesuai aliran kelarasan yang dianutnya yaitu kelarasan Bodi Caniago dan kelarasan Koto Piliang, atau berdasar tipologinya terbagi ke dalam tiga tipe yaitu rumah gadang Gajah Maharam, RG Rajo Babandiang, dan RG Bapasirek. Perbedaan dari gaya bentuk maupun tipologinya tersebut terletak pada lantai dan anjung serta adat yang berlaku di atas rumah tersebut. Terlepas dari berbagai gaya bentuk dan tipologinya, bagi orang awam, arsitektur Bagonjong adalah serupa, hanya dibedakan oleh varian bentuknya, namun yang mengesankan bagi orang awam semacam penulis adalah keindahan dan atraktivitasnya. Di benak awam bangunan bagonjong digambarkan sebagai perpaduan susunan bentuk atap yang menjulang indah, terpadu serasi dengan bagian badan pendukungnya terdiri dari hamparan kolom serta tata bidang dan tata bukaan yang kaya tekstur, ornamen dan warna.
Paling tidak ketika melewati Lembah-Anai, Padang-Panjang atau ketika setiba di Tanah-Datar terlihat penampakan yang fantastik dari gugusan atap Gonjong berbagai bangunan membentuk gubahan masa yang indah. Ada salah dua bangunan ditemui penulis masih terlestari dan terpelihara dengan baik karena peran dari pemilik dana yang tinggal di perantauan, salah satunya adalah Istano Silinduang Bulan. Bahan, tekstur, ornamen, dan warna pengisi dan pembentuk bangunan tersebut terpelihara sangat baik, mungkin lebih baik dari aslinya, mencakup eksterior maupun interiornya. Begitu pula ketika tiba di komunitas lama cagar budaya di kabupaten Tanah Datar seperti di desa cagar budaya Sumanik, Selempaung dan desa Rao-Rao kecamatan Sungai Tarap terlihat penampakan yang lebih orisinil, kuna, unik sekaligus indah. Namun sayang sebagian besar dari bangunan-bangunan tersebut kondisinya rusak dari yang berkondisi sedang sampai rusak berat, berwarna kusam dan sebagian terbengkelai ditinggalkan oleh penghuninya merantau.
Penulis melihat ada langgar kuna bernama Surau Nagari Lubuk Pauk. Surau tersebut beratap empat susun berdinding kayu dengan tekstur yang estetik. Atap susun pertama dan kedua berbentuk miring limas pada keempat sisinya, atap susun ketiga berupa perpotongan bentuk pelana dengan keempat ujungnya mendongak ke atas, susun keempat adalah atap segi delapan melindungi sangkar kaca segi delapan dibawahnya. Garis atap maupun garis lantai yang melengkung ke bawah bukan karena penurunan beban tetapi memang karena didesain demikian. Berdampingan dengan surau adalah masjid Ula Lubuk Pauk dengan bentuk atap kubah ala bizantium. Bentuk yang berbeda antara kedua masjid tersebut bisa merupakan kontroversi tetapi bisa juga merupakan upaya pembedaan mana yang cagar budaya dan mana yang bukan cagar budaya. Penulis memperoleh informasi bahwa di Padang nampaknya sulit ditemui masjid berarsitektur Bagonjong. Mungkin ini hasil dari kampanye atau gerakan kubahisasi masjid yang konon gencar dilakukan di sini.
Biasanya di depan bangunan gadang terdapat lumbung padi yang disebut rangkiang. Rangkiang berukuran mungil estetik dengan pola denah berbentuk persegi dengan empat atau delapan kolom, maupun denah berbentuk palang dengan terdapat sedikitnya 12 kolom. Karena ukurannya yang kecil, penempatan kolom dibuat melebar ke atas menjadi bentuk yang indah serasi dengan bentuk atapnya. Bagi bangunan besar semacam rumah gadang penempatan kolom yang melebar ke atas sebagaimana pada rangkiang adalah riskan terhadap tekanan gaya ke samping kiri dan kanan yang berdampak bagi keruntuhan bangunan.
Namun bagi Eko Al Fariz seorang arsitek ternama di Padang yang Doktor Arsitektur lulusan UGM menganggap kekhawatiran tersebut tidak beralasan. Dengan kreasinya dia mendesain bangunan tribune lapangan Imam Bonjol berpola bagonjong yang cukup indah dan atraktif dengan susunan kolom yang tidak lazim yaitu semakin miring ke kiri maupun ke kanan secara simetris sebagaimana kolom yang terdapat pada rangkiang. Perbedaannya terletak pada bahan konstruksinya, pada objek terkasus menggunakan konstruksi beton sedang yang orisinil menggunakan konstruksi kayu.
Ada semacam rumusan bahwa atap bagonjong tidak akan serasi diterapkan pada bangunan tinggi, dengan kata lain hanya bisa serasi pada bangunan rendah. Pada bangunan Bank Mandiri rumusan tersebut tidak sepenuhnya berlaku. Bangunan ini dapat dikategorikan bangunan tinggi dengan posisi atap bagonjong ke arah depan, menyalahi kelaziman yang membentang ke kiri dan ke kanan. Mengatasi kemungkinan terjadi ketidakserasian antara atap dan badan, disamarkan dengan gradasi pengalihan secara lembut dari atap gonjong yang lebar, menyempit secara bergradasi di bawahnya ke badan pendek di atas kolom dan menyempit lagi di kolom panjang, ibarat kaki jenjang menyangga perpaduan harmonis badan bagian atas dan atap.
Banyak contoh upaya apresiatif dari masyarakat maupun swasta untuk menyelaraskan bangunannya dengan arsitektur bagonjong seperti misalnya rumah tinggal, hotel, DPRD, Balai-Kota, rumah makan, bandara, pertokoan, dan lain-lainnya. Sebagian modifikasi tersebut dapat terwujud harmonis namun banyak pula ditemukan ketidakserasian kombinasi yang di antaranya misalnya mengesankan bangunan bercula badak atau semisal di Yogya adalah bangunan ‘monster’ GSP-UGM. Di sinilah letak perlunya sebuah pedoman maupun peran tangan-tangan ahli dalam bidang perancangan arsitektur kombinasi/modifikasi bernuansa lokal.
Dalam penyusunan rancangan arsitektur bernuansa budaya DIY dimungkinkan secara bergradasi menyerap potensi arsitektur warisan budaya, mulai dari lestari asli, selaras sosok, selaras parsial, selaras kombinasi, dan modifikasi. Pengalaman di atas merupakan fenomena yang mungkin dapat digunakan sebagai salah satu referensi pembanding bagi peserta lomba ‘perancangan arsitektur bernuansa budaya DIY’ dalam menuangkan karyanya, yang akan berakhir pada tanggal 18 Agustus 2008. q – g. (4029-2008).
*) Nuk Prasetya Ir MM, Kabid BP Disbud
Prop DIY, Munichy Ir MArch, Ketua IAI dan
Yoyok W Subroto Dr Ir M Eng,
Kajur Ars UGM.
Sumber: http://mersi.wordpress.com