Surabaya, Jawa Timur - Perhelatan seni budaya dalam kemasan seni pertunjukan bertajuk Cross Culture Fest 2009 yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Kota Surabaya, tak ayal membersitkan sebuah suguhan mosaik beragam etnik kebudayaan yang menjadi salah satu perekat interaksi dan interalasi lintas budaya.
Realitas itu setidaknya tercermin tatkala pelbagai ragam dan corak kesenian etnik dan tradisi hadir dalam rangkaian pembukaan Cross Culture Fest 2009, Kamis (15/10), di Galaxy Exhibitions Centre, Galaxy Mall, Surabaya.
Suguhan seni tari yang terangkai dalam sebuah komposisi medley berjudul Etnik Bersatu yang dipersembahkan oleh Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatara Utara, sekurangnya menunjukkan kepada khalayak atas keberagaman etnik dalam berkesenian dan berkebudayaan.
Tarian etnik bersatu yang mengelaborasikan ragam etnik di Sumatera Utara, amat terasa menguat saat kurang lebih delapan belas orang penari laki-laki dan perempuan asal Serdang Bedagai menyajikan ragam gerak tari bernuansa Melayu, Karo, Simalungun, Tapanuli Selatan dan Batak Toba.
Para penari dari Serdang Bedagai yang tampil membawakan tarian medley Etnik Bersatu, seolah bercerita tentang kekayaan seni etnik, khususnya tarian asal tanah Sumatera Utara yang sampai sekarang ini tetap hidup di tengah-tengah komunitas masyarakat pendukungnya.
"Dari etnis Simalungun kami mengambil unsur tarian Rondang Bontang yang berkisah tentang panen padi, sedangkan dari etnis Karo kami mengambil spirit tarian pesta buah dan panen dan etnis Batak Toba kami mengambil undur tarian Tor-Tor dan Tanduk," kata Syaf Rizal, Koreografer Etnik Bersatu ketika ditemui seusai pertunjukan, Kamis (15/10), di Surabaya.
Syaf Rizal yang kesehariannya aktif dalam Komunitas Air In Art Medan, Sumatera Utara mengatakan, bahwa dirinya bersama Wina dan Erliana selaku koreografer hendak pula memasukkan unsur tarian dari kedua etnik tersebut, namun karena keterbatasan waktu tidak lagi sempat mereka lakukan.
"Paling tidak dalam tarian etnis Nias, kami butuh sepuluh orang penari laki-laki sebagai penari perang, sedangkan untuk etnis Sibolga sekurangnya sudah terwakili dengan nuansa etnik pesisiran Melayu," katanya.
Sebagai koreografer, Syaf Rizal amat mengapresiasi perhelatan festival kebudayaan Cross Culture Fest 2009 ini. Pasalnya, dari ragam kesenian yang ditampilkan, dirinya dapat melihat warna-warni budaya lokal dari berbagai daerah.
"Spirit lintas budaya ini menggugah kami untuk menggali kembali kekayaan budaya local yang kami miliki, karena di Sumatera Utara juga terdapat etnis jawa," katanya.
Sajian lain yang tak kalah menariknya, tatkala Charlie Aegle asal Ekuador tampil di atas panggung dengan mengusung komposisi berjudul Mother Forest yang dia mainkan solo dalam ritme musik tiup khas Indian, Amerika Serikat.
Dengan tiga perangkat alat musik tiup Sikus terdiri dari Pan Flute, Qenacho dan Zamponias, Charlie Eagle yang sudah melanglang buana ke pelbagai Negara, antaranya, Dubai, Qatar, Singapura, Thailand, Jepang, Malaysia, itu seolah mengajak apresian untuk sejenak mengenal sekaligus menikmati irama musik khas suku Apache, di negeri Paman Sam.
Musik etnik yang saya tampilkan tadi musik meditasi, karena saya mengekpslorasinya kedalam spirit seruling spiritual Indian, kata Charlie yang sudah tiga tahun terakhir ini tinggal di Jakarta.
Dia mengatakan, sejak meninggalkan tanah kelahirannya, di Ekuador, dirinya melanglang buana ke pelbagai Negara untuk memperkenalkan beragam musik etnik asal Amerika Serikat, khususnya etnik Indian. "Aliran musik saya boleh dibilang New Age, Fussions Music atau musik meditasi," tuturnya.
Ikut pula tampil menyemarakkan festival kebudayaan Cross Culture Fest 2009, Kabupaten Ponorogo (tarian Dompo), Kabupaten Pemalang (tarian Selendang), Kabupaten Langsa, Nangroe Aceh Darussalam (tarian Rampu) dan Ghuangzo, China (musik etnik/tradisional Tiongkok).
Sumber: http://oase.kompas.com