Gual dalam masyarakat Simalungun

Oleh : Wiflihani, S.Pd

Para ahli antropologi dewasa ini mengenal adanya enam suku dalam masyarakat Batak yang memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lain, namun sesungguhnya merupakan komponen dari budaya yang sama. Mereka adalah Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Angkola dan Mandailing.

Masyarakat suku Batak, konon telah berabad-abad yang lalu mendiami wilayah yang secara geografis tersusun atas sungai-sungai terjal, plato dataran tinggi, hutan-hutan, dan lembah-lembah perbukitan yang dikenal sebagai wilayah Provinsi Sumatera Utara. Mereka berkeyakinan sebagai penduduk asli tanah asal yang berada di sekeliling Danau Toba. Hal ini sangat bertentangan dengan beragam teori yang diajukan oleh para etnolog dan arkeolog.

Awalnya, Danau Toba dan Pulau Samosir yang berada di tengah-tengah tanah Batak merupakan titik pusat dari kediaman masyarakat Batak. Namun, seiring dengan meningkatnya jumlah populasi masyarakatnya, anggota masyarakat Batak terpaksa menyebar menjauhi titik awal penyebaran tersebut. Sebagai akibatnya, timbullah berbagai pemisahan dalam bentuk pengelompokan suku dan adat istiadat di antara sesama masyarakat Batak sendiri.

Masyarakat Batak Toba mendiami daerah dataran pusat yang berlokasi di sekeliling wilayah selatan Danau Toba di sebelah barat dan lebih ke selatan. Masyarakat Simalungun (dikenal sebagai Batak Timur) mendiami daerah sebelah timur Danau Toba. Masyarakat Karo mendiami daerah sebelah utara dan masyarakat Pakpak (Dairi) mendiami daerah barat laut.

Masyarakat Simalungun sebagai salah satu kelompok etnis di antara berbagai wilayah suku Batak, kegiatan budaya, loyalitas etnis, dan ikatan kekerabatan yang paling kuat terdapat di kabupaten Simalungun sebagai tanah leluhur mereka. Mereka merasa dipersatukan oleh bahasa, musik, dan tari tradisional, adat-istiadat, serta kekhasan yang unik pada masyarakat Simalungun.

Secara etimologis, menurut Arlin Dietrich Jansen, kata Simalungun menggambarkan karakter masyarakat Simalungun itu sendiri, namun arti sebenarnya secara tepat sukar dipahami. Kata Simalungun dapat dibagi ke dalam tiga suku kata, yaitu: Si berarti orang, ma sebagai kata sambung yang berarti yang, dan lungun berarti sunyi, kesepian, jarang dikunjungi. Dengan demikian, Simalungun berarti ia yang bersedih hati, sunyi atau kesepian.

Henry Guntur Tarigan berpendapat bahwa kata Simalungun berasal dari ciri khas dan tutur kata yang lambat yang dimiliki oleh para warga pegunungan yang terisolasi. Hal ini tentunya ada hubungannya dengan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu budaya yang mempengaruhi pembentukan dan modifikasi nilai-nilai tersebut. Ada kaitannya pula dengan istilah kata inggou yang berarti lagu yang mengungkapkan kesedihan.

Gual
Dalam ritus upacara kematian di Simalungun, ansambel musik memainkan peran yang sangat penting yang dinamakan gonrang. Istilah gonrang berkaitan langsung dengan alat musik gendang, yang merupakan istilah spesifik bagi setiap jenis alat-alat musik tabuh. Keharusan penggunaan alat tabuh untuk menciptakan suatu ensembel yang lengkap yang melibatkan sebuah alat musik tiup dan serangkaian alat musik gong, bukanlah hanya sekedar kebetulan.

Alat-alat tabuh memainkan suatu peran penting kelompok suku tradisional yang masih mempraktikkan kepercayaan animisme sebagaimana yang dulu dilakukan oleh masyarakat Simalungun. Fungsi utama alat-alat tabuh ini adalah untuk memanggil roh-roh para nenek moyang (roh orang yang baru meninggal) dan meminta nasehat maupun berkat dari mereka. Istilah yang paling lazim dalam mengutarakan lagu untuk ansambel musik gonrang adalah gual.

Unsur-unsur sangat penting dari gual ialah
1) Alunan melodi sarunei yang bervariasi,
2) Struktur kolotomis dasar yang dimainkan paga gong dan mongmongan dan
3) Pola irama yang berhubungan yang divariasikan oleh imbal irama yang dimainkan pada alat-alat tabuh.

Diterapkannya metode siklus pernafasan pada permainan serunei, melodi yang dihasilkan pada alat musik akhirnya berupa alunan nada yang tak terputus mulai dari awal hingga akhir. Setiap variasi alunan nada-nada dilakukan sambung menyambung tanpa adanya perhentian atau istirahat dalam suatu alunan melodi yang kontinu.

Ada beberapa gual yang digunakan dalam upacara kematian di Simalungun, yaitu:
Gual huda-huda merupakan gual antara kesedihan dan kegembiraan, kesedihan karena ada seorang yang meninggal dan di sisi lain menghibur keluarga yang ditinggal mati.
Gual porang huda-huda, merangsang semangat kaum pria untuk berperang, dalam hal ini berperang melawan sesuatu yang wujudnya gaib. Mereka mengusir pengaruh-pengaruh jahat.
Gual ondos-ondos (dinggur-dinggur) atau tapak-tapak andorasi dengan menggunakan gonrang bolon yang dimainkan untuk mengiringi tari-tarian yang dilakukan di sekitar jenazah dan menyambut anggota keluarga lain yang baru datang. Seorang Simalungun sejati, ketika mendengar gual ini dimainkan, maka dia sudah tahu bahwa ada seseorang yang meninggal.
Gual rahot rambing-rambing dibawakan sebagai klimak pada saat si tondong menemui keluarga yang meninggal, diikuti oleh kelompok-kelompok lain sehingga berkat yang diinginkan dapat diberikan kepada mereka.
Gual sayur matua dapat digunakan sebagai permohonan panjang umur atau digunakan sebagai penggembira bagi orang-orang tua. Orang-orang tua yang banyak menghadapi permasalahan.

Selain itu, ada beberapa gual tambahan yang dianggap layak untuk dimainkan yaitu Gual Boniala-boniala, Ganggor-danggor, Sambirbir, Sambirbir Boru-boru, dan Bukbuk Harajoan, Gonrang bolon dapat memainkan gual tersebut, jika dijumpai adanya kesunyian suasana bilamana ada salah satu anggota keluarga yang menari seorang diri di sekelilingi peti mati untuk mengenang kebaikan-kebaikan sang raja sambil meratap.

www.waspada.co.id (12 Oktober 2008)

-

Arsip Blog

Recent Posts