Lewat Tari, Budaya Keraton Solo Mendunia

Jakarta - Seniman-seniman terkemuka Indonesia mengusung kekayaan budaya Keraton Mangkunegaran di Solo, Jawa tengah, ke pentas dunia. Pada 22-23 Oktober mendatang di Esplanade, Singapura, tari Matah Ati yang merupakan kekayaan pusaka budaya seni tradisi di lingkungan Keraton Mangkunegara, akan tampil pada pembukaan Pesta Raya, Malay Festival of Arts di Singapore.

Bandoro Raden Ayu (BRAy) Atilah Soeryadjaya, cucu Mangkunegara VII dan pernah mengalami hidup di Keraton Mangkunegaran, mengatakan hal itu di Jakarta. Tari Matah Ati yang akan dipentaskan, merupakan kisah nyata dari nenek leluhur saya. Seluruh pendukung adalah para pekerja seni profesional terbaik di bidangnya dan berasal dari Indonesia, kata Atilah, yang juga merangkap sebagai konseptor, sutradara dan produser.

Matah Ati adalah sebuah pertunjukan sendratari bernarasi kisah cinta yang luar biasa sebagaimana diungkapkan melalui seni tari tradisional warisan budaya Mangkunegaran Jawa atau langendriyan (opera tradisional Jawa).

Berkisah tentang perjalanan cinta dan perjuangan pemimpin prajurit perempuan bernama Rubiyah yang kemudian melahirkan garis keturunan Mangkunegaran. Rubiyah yang setelah dipersunting Raden Mas Said diberi nama Raden Ayu Kusuma Matah Ati atau dikenal juga dengan Raden Ayu Kusuma Patah Ati. Karya ini diolah kembali secara modern dan energik dengan memasukkan unsur kontemporer agar dapat sejalan dengan perkembangan zaman.

Manurut Atilah, pertunjukkan di Singapura yang didukung 95 penari Jawa, 60 musisi gamelan dan karawitan, dan 125 pekerja seni profesional bergelar S2 dari Isntitut Seni Indonesia (ISI) Solo, merupakan penampilan perdananya pada dunia (world premiere) untuk selanjutnya akan berkeliling ke berbagai negara asia dan Eropa. Yang sudah pasti, setelah tampil di Singapura akan pentas di Kuala Lumpur dan Hongkong. Sedangkan negara lain di Eropa sedang menjadwalkannya.

Pementasan ini membawa misi untuk memberikan kesempatan berapresiasi kepada para penikmat seni dan berbagai penjuru dunia dan generasi masa depan, untuk tahu lebih banyak tentang kekayaan budaya Indonesia demi kelestariannya di masa depan. Misinya untuk menumbuhkambengkan rasa cinta dan peduli generasi muda dan masyarakat luas Indonesia terhadap kekayaan warisan pusaka budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa di Solo sebagai pusat budaya Jawa di Indonesia, jelasnya.

Art Director Jay Subyakto mengatakan, pihaknya memasukkan unsur kekinian, modern dalam karya tari Matah Ati, agar pertunjukkan lebih menarik. Karya ini diolah kembali secara modern agar seni tradisional itu dapat tampil tetap menghibur. Harapannya, pementasan ini akan membangkitkan minat siapa saja untuk semakin mengenal dan melestarikan budaya tradisional bangsa Indonesia, katanya.

Koreografer Daryono dan Eko Supendi mengatakan, gaya tarian dalam pertunjukan Matah Ati berakar pada seni tari tradisional Jawa Surakarta dengan maksud untuk mempertunjukkan teknik tari yang dimiliki Mangkunegaran. Seni tari dan gaya non-tradisional yang lebih kontemporer juga dijajaki untuk menunjukkan penggabungan nilai-nilai masa lalu dan masa kini.

Kekuatan dan kemantapan kualitas suara para pemain dalam menembangkan puisi-puisi Jawa adalah bagian yang tak terpisahkan dalam pertunjukkan ini. Dalam sendratari Jawa, suara dan tubuh telah menjadi sebuah kesatuan untuk menggugah dan senantiasa membangkitkan gelora jiwa, kata Daryono.

-

Arsip Blog

Recent Posts