Perkawinan Bersendi Syara' Kota Gurindam

Oleh Rita Triana Budiarti

Umbul-umbul dan ratusan lampu minyak berjejer di tepi jalan. Penerangan sepanjang 500 meter itu menjadi petunjuk arah menuju rumah sahibul hajat, Suryatati A. Manan, di Sei Ledi, sebuah bukit yang jauh dari pusat kota Tanjungpinang. Wali Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, itu memang sedang punya hajat besar. Ia akan melepas putrinya, Cory Primaturia, yang dipersunting Yuri Aditya Surya. Akad nikahnya digelar pada malam itu, 20 Oktober lalu.

Akad nikah adalah satu dari selusin rangkaian upacara adat Melayu Riau yang digelar selama 10 hari 10 malam. Enam prosesi lainnya, yakni mencari jodoh, merisik, meminang, mengantar tanda, mengantar belanja, dan menjemput (mengundang), dilaksanakan lebih dulu.

Sepekan sebelum pesta, acara dimulai dengan upacara gantung. Yakni upacara menghias rumah dengan menggantung bermacam-macam tabir dan membuat langit-langit dari kain. Dalam prakteknya, gantung berarti mendirikan tenda, menyiapkan perangkat makan, serta menghias pelaminan dan bilik pengantin. ''Upacara gantung menandai dimulainya persiapan pesta pernikahan,'' ujar Gatot Winoto, ketua pelaksana pernikahan Cory dan Yuri.

Pada petang sehari menjelang akad nikah, kedua mempelai menjalani ritual berandam. ''Seperti midodareni dalam adat Jawa,'' kata Syarifah Zaharah, yang bertindak sebagai mak andam. Berandam adalah mencukur atau merapikan bulu-bulu halus pada dahi, pelipis, alis, tengkuk, tangan, dan bagian kaki yang dilakukan mak andam. Dalam perkawinan Melayu, mak andam adalah juru rias adat sekaligus pelindung keselamatan kedua mempelai dari gangguan makhluk gaib selama prosesi adat.

Malam harinya, kegiatan dilanjutkan dengan berinai, yakni membubuhkan inai-inai pada kedua mempelai. Inai-inai dipasang di jari tangan, telapak tangan, dan kaki. Malam hari dipercaya mampu membuat warna inai menjadi lebih merah. Berinai tidak boleh dilakukan setelah ayam berkokok karena akan membuat warna inai menjadi pudar.

Prosesi berinai dimulai dengan tari inai. Lalu dilakukan berinai duduk, yakni membubuhkan inai sambil duduk di pelaminan. Pada saat prosesi berlangsung, mak andam menuturkan beberapa pantun. Pemberian inai dilakukan orang-orang terdekat, seperti nenek, ibu, dan kerabat.

Pertama-tama, inai dibubuhkan pada sembilan jari tangan. ''Harus ganjil, disisakan bagian kelingking,'' kata Syarifah. Dari kelingking, lantas disambungkan dengan jari kaki, sehingga jumlahnya menjadi 11. Setelah itu, mempelai dibaringkan di depan pelaminan untuk menjalani berinai baring.

Setiap prosesi adat Melayu, menurut Abdul Razak Abu Bakar, Ketua Lembaga Adat Melayu Provinsi Kepulauan Riau, dilakukan dengan bilangan ganjil. ''Karena adat Melayu bersendikan syara', syara' bersendikan Kitabullah. Syara' mengatakan, adat memakai,'' tutur dia. Sedangkan dalam ritual agama Islam diyakini bahwa Allah menyukai bilangan ganjil.

Esoknya, pagi hari, digelar acara pembacaan Barzanji di rumah mempelai perempuan. Barzanji adalah bacaan tentang sejarah hidup Rasulullah. Acara ini dilanjutkan dengan khataman Al-Quran, yang dipimpin Siti Munawarah, guru mengaji Cory ketika kecil. Dalam prosesi ini, Siti membuka kitab Al-Quran, lalu menyuruh mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Parahyangan, Bandung, itu membacanya. Setelah sukses, guru mengaji memimpin doa khatam Al-Quran. ''Upacara ini semacam tanda terima kasih Cory kepada guru ngaji-nya,'' ujar Gatot.

Puncaknya, akad nikah, dilangsungkan pada malam hari. Masyarakat Melayu Riau lazim menyebutnya acara turun nikah. Maksudnya, calon pengantin laki-laki turun dari rumahnya untuk menikah di rumah mempelai perempuan.

Upacara ini dimulai dengan serah terima antaran yang berjumlah ganjil. Dalam ritual ini, wakil mempelai pria dan wanita berbalas pantun. Dengan nada jenaka, wakil perempuan mengesankan jual mahal. Wakil laki-laki harus meyakinkan bahwa Yuri sangat layak menjadi suami Cory. Setelah itu, barulah dilaksanakan acara utama, sidang akad nikah, yang dipimpin kepala Kantor Urusan Agama.

Acara dilanjutkan dengan tepuk tepung tawar. Prosesi ini merupakan doa agar kedua mempelai dilimpahi rezeki serta senantiasa diberi kesehatan dan keselamatan. Upacara ini menggunakan tiga macam tepung tawar. Pertama, beras kunyit, yakni beras warna kuning, yang melambangkan keagungan Melayu Riau. Kedua, beras putih atau beras basuh, yang melambangkan kesucian. Ketiga, beras bertih atau beras sanggrai, yang berwarna putih kecokelatan, melambangkan kesuburan yang membawa kemakmuran.

Kegiatan itu dimulai dengan doa tepuk tepung tawar yang dipimpin Ketua MUI Kota Tanjungpinang, Haji Kahar Yus. Tepuk tepung tawar dilakukan dengan cara menepuk dengan beras kunyit dan bertih, dilanjutkan dengan mencecah inai di telapak tangan pengantin oleh jemputan atau undangan yang terpandang.

Pada malam itu, kesempatan tepuk tepung tawar pertama dilakukan Gubernur Kepulauan Riau, Ismeth Abdullah. Bait demi bait pantun terus dituturkan hingga sembilan orang yang didaulat menyelesaikan tepuk tepung tawar.

Esoknya, menjelang bersanding, rombongan mempelai pria diarak ke rumah mempelai wanita. Di gerbang rumah, mereka disambut dengan persembahan pencak silat, diiringi gendang, gong, dan seruling. Ketika memasuki halaman rumah, mempelai laki-laki ditaburi beras kunyit, pertanda keberhasilan si bujang mempersunting sang dara.

Sebelum tiba di pelaminan, rombongan pengantin pria dihadangtali lawa. Dalam upacara lawa-lawa ini, lagi-lagi kedua wakil mempelai berbalas pantun tawar-menawar ''biaya retribusi''. Maksudnya, untuk menunjukkan bahwa tak mudah memetik sang dara. Setelah sejumlah uang disepakati, rombongan pengantin pria boleh melanjutkan ke prosesi berikutnya.

Sambil berpantun, pengantin laki-laki masih harus bernegosiasi dalam prosesi tebus pintu, yang nilai uangnya lebih besar. Pada upacara ini, berbalas pantun dilakukan dengan mak andam yang menutupi wajah Cory dengan kipas. Setelah ditebus dengan uang, kedua mempelai duduk bersanding. Mak amdam lantas menaburi pasangan pengantin dengan beras kunyit diiringi doa.

Kedua mempelai lalu mengikuti prosesi bersanding suap-suap. Yakni saling menyuapkan pulut (nasi ketan) kuning yang dibulat-bulatkan oleh mak andam, perlambang saling memberi dan menerima. Acara itu dilanjutkan dengan prosesi menyembah, yang mirip dengan sungkeman dalam adat Jawa.

Keesokan paginya, dilakukan mandi-mandi yang diikuti pengantin dan kedua kerabat. Maksudnya, untuk menunjukkan bahwa pengantin telah resmi menjadi suami-istri. Upacara ini sekaligus sebagai ucapan terima kasih kepada semua orang yang telah membantu rangkaian upacara adat.

Mandi-mandi adalah prosesi adat terakhir di rumah pengantin perempuan. Malamnya, keluarga perempuan bertandang ke rumah keluarga laki-laki. Upacara berambih ini bertujuan memperkenalkan menantu perempuan kepada keluarga laki-laki.

Meskipun menguras waktu dan tenaga, kata Suryatati, upacara adat yang disebut-sebut terbesar selama 15 tahun terakhir itu sengaja digelar karena mulai ditinggalkan. Ia ingin mempertahankan budaya Melayu di ''kota gurindam negeri pantun'' itu.

Rita Triana Budiarti (Tanjungpinang)
[Trenset, Gatra Nomor 3 Beredar Kamis, 26 November 2009]
-

Arsip Blog

Recent Posts