Oleh Ilham Khoiri
Apa yang bisa kita cermati dari sebuah topeng? Lebih dari sekadar penutup wajah, sejatinya topeng mencerminkan pandangan dunia. Dalam masyarakat tradisional di Nusantara, topeng dianggap sebagai sarana bagi manusia untuk memahami dirinya, alam semesta, dan Tuhan.
Kesan itu kental terasa saat menyaksikan pameran ”Beyond Faces: Seratus Ragam Topeng Indonesia Raya” di Galeri North Art Space, Pasar Seni Ancol, Jakarta Utara. Pameran dibuka, Jumat (20/11) lalu, dan bakal berlangsung selama tiga minggu. Ditampilkan 100-an topeng, sebagian besar merupakan koleksi Rumah Topeng dan Wayang Setia Dharma di Kubu Bringin, Gianyar, Bali.
Topeng-topeng itu berasal dari sejumlah daerah di Nusantara, mulai dari Bali, Kalimantan, Batak, Cirebon, Jember, Yogyakarta, sampai Madura. Kurasi ditangani pengamat seni rupa Agus Dermawan T dan kurator Rumah Topeng Setia Dharma, Agustinus Prayitno.
Melihat jejeran 100-an topeng pada dinding galeri, pengunjung langsung dikejutkan dengan keragaman visual. Setiap daerah memiliki karakteristik bentuk, warna, dan perwatakan topeng yang khas. Setiap karakter menggambarkan citarasa dan pandangan dunia setiap kelompok masyarakat.
Topeng dari Bali, misalnya, menghadirkan karakter tokoh pewayangan, tokoh rekaan, atau pahlawan. Gaya topeng yang umumnya hasil garapan I Wayan Tangguh itu cenderung realis atau dekoratif, dan dikerjakan secara halus. Tampilannya tampak dinamis dengan warna-warni cemerlang.
Karakter dinamis melekat pada topeng dari Cirebon yang mengolah wajah tokoh pewayangan dan binatang. Topeng dari Jember dan Madura memberikan kesan serupa. Hanya saja, karya dari Madura banyak dihiasi ornamentasi lebih detail.
Citra itu berbeda dengan topeng dari Kalimantan, Sulawesi, dan Batak. Berbagai topeng dari kawasan ini berkesan seram dengan dominasi warna merah dan coklat, bahkan sebagian dibiarkan kusam tanpa warna. Wajah topeng mewakili sosok-sosok imajinatif dan aneh dari alam gaib.
Keragaman bentuk topeng itu menunjukkan, betapa masyarakat di Nusantara memiliki kekayaan ekspresi visual. Dengan latar belakang budaya berbeda-beda, setiap kawasan punya cara sendiri untuk merekam perwatakan dan menuangkannya pada topeng. Sebagian topeng itu menjadi sarana pentas tari atau sandiwara, sebagian lagi jadi bagian dari ritual persembahan.
Watak
Di luar sensasi visual tadi, pameran ”Beyond Faces” ini mengajak kita untuk memahami perwatakan di balik topeng. Sebagian besar topeng itu adalah rekaman dari perangai manusia sendiri. Ada topeng wajah bijak bestari, penuh angkara murka, bermuka banyak, atau lucu sehingga mengundang tawa.
Setiap karakter dimunculkan lewat permainan anatomi wajah. Karakter jahat hadir lewat mata besar melotot, hidung bulat gede, dan taring runcing bak raksasa—seperti topeng Kumba Karna dari Bali. Sifat baik dicitrakan oleh bentuk bibir tersenyum dan warna cerah sebagaimana topeng-topeng dari Lombok. Kelucuan muncul dari bibir terbuka atau lidah melet, seumpama topeng dari Cirebon.
Semua ekspresi ini merefleksikan wajah kita sendiri. Bukankah manusia dalam kehidupan nyata memang punya bermacam watak? Jika dicermati, setiap topeng kemudian seperti kaca tempat becermin diri, sarana untuk mendalami watak manusia, sekaligus mengingatkan kita pada nilai kehidupan bersama.
Selain wajah manusia, sebagian topeng merekam makhluk lain, katakanlah seperti binatang, makhluk gaib, atau hasil khayalan. Ekspresi visual topeng jenis ini melampaui anatomi wajah manusia biasa, sangat bebas, bahkan ekstrem. Ambil contoh topeng Dayak dari Kenyah, Kalimantan. Topeng berwarna coklat kemerahan ini punya dua mata bulat besar, mulut memanjang, dan dua kuping melebar. Sosok ini diyakini memendam kekuatan ruh leluhur yang bisa mengusir ruh jahat.
Topeng Mamasa dari Minahasa, Sulawesi, juga dianggap mewakili arwah nenek moyang. Bentuknya menyerupai manusia, tetapi matanya bolong. Pipi, jidat, dan dagunya dihiasi tato. Biasanya, topeng ini disimpan di halaman rumah.
Dari Kalimantan Barat, ada topeng Kalingkoet Talino. Wajahnya sungguh seram dengan mata melotot, gigi besar, pipi menonjol, dan kuping meruncing. Warna coklat dengan totol-totol putih menambahkan kengerian. Topeng ini mewakili sosok hantu rimba.
Untuk apa masyarakat membuat topeng makhluk lain? Dalam catatan Agustinus Prayitno disebutkan, topeng semacam itu menjadi sarana masyarakat tradisional untuk mengaktualisasikan kepercayaan akan adanya kekuatan di luar jangkauan pikiran dan fisik manusia. Lewat simbol-simbol tertentu dalam ritus religio-magis, topeng diyakini bisa jadi jembatan menuju kemanunggalan dengan Tuhan.
Begitulah, di balik keragaman bentuk visualnya, topeng sejatinya adalah gambaran nyata usaha manusia untuk hidup dalam dua dunia. Manusia ingin memahami diri sendiri sebagai jagat kecil, dan menerima semesta alam raya sebagai jagat besar yang melingkupinya. Lewat topeng, manusia mencoba mengabadikan keberadaan dirinya.
Sumber: http://olahraga.kompas.com