Oleh : Irma Tambunan
Bukan pilihan mudah bagi seorang perajin untuk bertahan pada karya batik tulis di zaman sekarang ini karena usaha tersebut sudah tidak populer dan banyak ditinggalkan dengan alasan pengerjaannya yang repot. Ditambah lagi, sulitnya menemukan pasar karena harga jualnya relatif mahal.
Namun, Azmiah yang sudah 30 tahun bergelut dengan batik tulis jambi seperti cuek saja oleh perkembangan tersebut. Saat ratusan perajin batik di kampungnya telah beralih ke batik cap supaya bisa menarik konsumen dengan harga jual murah, ia malah menggaet desainer-desainer daerah untuk menggunakan batik tulis buatan tangannya.
Azmiah malah nekat menyumbangkan 25 kain batik tulis dengan pewarnaan alami pada Kiki Fikri, Ketua Asosiasi Perancang Model se-Jambi, dan sebagai imbalan, hasil karyanya dipertunjukkan pada perayaan Ulang Tahun Emas Provinsi Jambi akhir Desember lalu. "Biaya yang dikeluarkan sangat besar buat orang biasa seperti saya ini. Namun, saya harus berani berkorban dulu kalau mau membawa batik tulis jambi dikenal ke luar," tuturnya.
Azmiah lahir di Kota Jambi, 1 Agustus 1966. Sejak usia 10 tahun, perempuan yang tinggal di seberang Sungai Batanghari, Kampung Olak Kemang, Kecamatan Danau Teluk, Jambi, ini telah mulai membatik.
Hanya dari menyaksikan mendiang ibunya, Asmah, yang jadi buruh membatik, ia lalu mencoba-coba membatik di atas daun pisang. Ia menjadi mahir membatik kala memasuki kelas enam sekolah dasar dan hasil karyanya dibeli salah seorang perajin setempat.
Uang penjualan batik langsung dibelikan kain mori, lalu dibatik, dijual, dan hasilnya dibelikan lagi kain mori. Begitu seterusnya. Pada masa-masa itu, di saat minat masyarakat pada seni tradisional menggebu-gebu, Azmiah mampu menyelesaikan batik tulisnya hanya dalam sepekan di atas kain berukuran 1,15 meter X 2,5 meter.
Setelah mengumpulkan uang, Azmiah yang baru tamat SMEA membuat usaha batik tulis sendiri bersama ibunya dan diberi nama "Kreasi Batik Asmah". Kekhasan usahanya adalah batik tulis jambi—khas dengan motif Angso Duo dan warna-warna terang—dilakukan melalui pewarnaan alami. Ia ingat betul, sejak kecil dirinya sering ikut sang ibu masuk-keluar hutan mencari berbagai jenis kayu, kulit kayu, dan daun yang bisa dijadikan pewarna.
Hingga kini ia masih saja getol masuk-keluar hutan atau kebun di sekitar kampungnya untuk mencari bahan-bahan pewarna alam, seperti kulit lempato, kulit kayu marelang, getah kayu tunjung, dan kayu jelawe.
Ia pun tidak enggan mencoba-coba bahan baru untuk menghasilkan warna-warna yang lebih beragam. Sejumlah tanaman ia tanam di halaman rumah. Ada juga jenis pewarna alami yang tidak diperolehnya di Jambi, seperti biji pohon tinggi dan daun nila yang langsung dia beli dari Yogyakarta.
Ia mengakui, penggunaan bahan-bahan alami akan menghasilkan warna yang cenderung muda atau mungkin sedikit terkesan kusam. Ini berbeda dengan selera orang-orang Melayu di Jambi yang lebih menyukai batik berwarna terang atau ngejreng.
Untuk menyiasati, Azmiah melakukan pewarnaan berulang-ulang sampai 36 kali bagi setiap kain. Memang jadi lebih repot dan capai, tetapi hasilnya sangat mengagumkan. Warna-warna yang kuat dengan perpaduan yang selaras.
Motif khusus
Ketika Kompas berkunjung, Azmiah yang tengah serius membatik di samping jendela rumah panggungnya bersemangat memperlihatkan sejumlah karya batik tulisnya yang dibuat lewat pewarnaan alami dengan motif khusus hasil kreasi suaminya, Edy Sunarto. Setidaknya sudah terkumpul 20-an motif kreasi yang dalam waktu dekat akan dipatenkan.
Motif-motifnya dibuat supaya jadi kekhasan Jambi, di antaranya motif Candi Muaro Jambi, Kaca Piring, Puncung Rebung, Angso Duo Bersayap Mahkota, Bulan Sabit, Pauh (mangga), Antlas (tanaman), Awan Berarak, dan Riang-riang. Beberapa batik tulis tersebut telah disimpan sebagai koleksi Honimen Museum and Gardens, Forest Hill, London, dan di Trouven Museum di Belanda.
Kini hampir tak ada lagi perajin yang sanggup membikin batik tulis jambi. Dalam sepuluh tahun terakhir, perubahan di masyarakat telah membuat para perajin beralih ke batik cap. Malah mulai tahun 2000-an industri batik tulis di Jambi berangsur meredup.
Sebagian besar perajin banyak menutup usahanya. Anak-anak muda pun tak peduli, atau mungkin menganggapnya sebagai kegiatan yang menjenuhkan.
Keinginan untuk mengangkat kembali batik tulis Jambi mendorong perempuan yang pernah mengajari membatik ibu-ibu dan remaja di Aceh tahun 2001 ini sejak Desember lalu mencari-cari para remaja putus sekolah di Jambi untuk diajari membatik.
"Saya maunya ngajak remaja perempuan yang putus sekolah. Mereka akan saya ajari membatik tulis sampai bisa mandiri untuk membuka usaha serupa," tutur Azmiah yang sedang mengembangkan rumahnya menjadi bertingkat. Lantai atas akan ia dijadikan ruang pamer, sedangkan di bawahnya jadi ruang membatik untuk calon murid-muridnya, termasuk dua putrinya yang kini sudah mulai belajar membatik, Dita (12) dan Ayu (9).
Menurut Azmiah, pada perempuan-perempuan muda inilah nanti harapan akan kelestarian tradisi batik tulis jambi digantungkan. "Jadi," kata Azmiah, "Kalau tidak segera dimulai, kapan lagi?"
Kompas, Sabtu, 6 Januari 2007