Melawan Imperialisme Cendikia Barat

Oleh Suryadi

Istilah ‘Imperialisme Cendikia Barat’ saya kutip dari berita dalam website Melayu Online mengenai seminar terbuka kajian Melayu yang bertajuk “Problem Eurosentrisme dalam Kajian Melayu: Mencari Perspektif Alternatif” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Department of Malay Studies, National University of Singapore (NUS), Pusat Studi Asia Tenggara (PSSAT) UGM dan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) (lihat: http://melayuonline.com/news/?a=TlBQcS91UGlaM1ZBY2E%3D=&l=melayuonlinecom-bentuk-nyata-perlawanan-terhadap-eurosentrisme; dikunjungi 6 Juli 2009). Wacana itu terbias lagi dalam workshop internasional “Pemikiran Jawa-Melayu” yang baru-baru ini diadakan di Universitas Sebelas Maret, Yogyakarta.

Adalah Prof Dr Syed Farid Alatas dari NUS, salah seorang pemakalah dalam seminar mengenai problem Eurosentrisme itu, yang terus menyuarakan dan mengingatkan tentang dampak buruk imperialisme cendikia Barat terhadap masyarakat Melayu. Tidak sekali itu saja beliau melancarkan kritik itu di forum ilmiah. Saya masih ingat, beliau juga membahas topik tentang penjajahan intelektual Barat itu dalam satu lokakarya mengenai bahasa dan sastra Melayu di Universitas Leiden akhir Maret 2008.

Imperialisme cendikia Barat sudah sejak beberapa dekade yang lalu disuarakan oleh beberapa ilmuwan non Eropa. Yang paling lantang bersuara soal ini adalah almarhum Edward Said (Jerusalem, 1 November 1935 – New York, 25 September 2003), ilmuwan berdarah Palestina yang tinggal di Amerika (mengajar di Universitas Columbia). Di dalam bukunya yang cukup monumental, Orientalism (1978) Said mengeritik keras tradisi keilmuan Barat dalam studi mengenai Islam dan masyarakat Arab. Ia antara lain menegaskan bahwa banyak studi Barat mengenai peradaban Islam lebih merupakan bakat intelektualisme yang bersifat politis ketimbang studi yang objektif—sebuah bentuk rasisme, dan alat dominasi bagi imperialis. Pandangan Edward said itu didukung oleh banyak ilmuwan, tapi tak luput pula dari berbagai kritikan: antara lain yang paling vokal mengeritiknya adalah Bernard Lewis. Tentu saja tak mungkin saya uraikan secara rinci dalam artikel yang pendek ini pokok-pokok pemikiran Edward Said dalam Orientalism. (Bagi yang ingin menyimak lebih jauh dapat melihat, misalnya: http://en.wikipedia.org/wiki/Edward_Said#Orientalism; dikunjungi 7 Juli 2009).

Memang tidak dapat dimungkiri bahwa Western scholarship dalam membedah kebudayaan dan masyarakat Timur mengandung subjektivitas dan bias. Para sarjana Barat melakukan penelitian sosial dan kebudayaan ke dunia Melayu bukan meninggalkan hati mereka di rumah dan bukan pula tak ingat kepada sejarah peradaban kontinen Eropa yang berwarna kolonialisme yang pekat itu, warisan dari nenek moyang mereka. Hal itu berlangsung sepanjang zaman, bahkan sampai sekarang. Dunia Melayu, sebagai bagian dari dunia yang pernah dijajah oleh orang Eropa, pun tidak lepas darinya. Di zaman kini, cukup nyata bahwa bias—untuk tidak mengatakan ‘rasisme’—keilmuan Barat itu terefleksi antara lain dalam studi-studi mengenai konflik-konflik regional di Asia dan berbagai penelitian mengenai terorisme yang dikaitkan dengan Islam. Ada banyak risalah akademis yang dilakukan oleh sarjana Barat yang, secara tidak langsung, menyimpulkan bahwa orang Timur seperti orang Melayu mempunyai tradisi konflik yang punya akar tunjang dalam kebudayaan mereka, dan dengan demikian seolah mereka sepertinya ingin mengatakan bahwa ‘kromosom aneh’ seperti itu tidak ada dalam sel-sel kebudayaan bangsa Barat.

Setelah lebih sepuluh tahun saya tinggal di Barat dan sampai batas tertentu ikut berintegrasi dalam lingkungan scholarship Barat itu, saya berkesimpulan bahwa dunia keilmuan Barat mencapai kekuatannya antara lain karena terus-menerus menimbun wacana akademik mengenai Timur. Wacana ilmiah mengenai dunia Timur itu dibiakkan tanpa henti oleh komunitas akademis yang bebas dan merdeka. Hal itu dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan disertai dengan tradisi kritik antara sesama ilmuwan yang sudah berkembang baik. Subjektivitas dalam wacana ilmu-ilmu sosial dan humaniora Barat itu jelas ada. Tapi yang penting dicatat adalah bahwa subjektivitas itu diungkapkan dengan tidak bersifat manasuka (arbitrer).

Sering dalam berbagai seminar dan pembicaraan akademis saya mendapat kesan superioritas Barat itu. Dalam hal ini saya sebagai orang Timur mungkin terpengaruh perasaan juga. Tapi dalam menilai sebenarnya tak seorang pun bisa benar-benar objektif, termasuk orang Barat yang menganggap dirinya paling rasional. Di sinilah dikhawatirkan tercampurnya perasaan subjektif dalam keilmuan Barat itu. Perasaan superior Barat itu, seperti dilansir oleh Syed Farid Alatas, direfleksikan dengan abstraksi-abstraksi teoretis yang diciptakan oleh ilmuwan Eropa dalam menilai masyarakat Timur yang menyangkut berbagai aspek kehidupan mereka—sosial, politik, eknonomi, kepercayaan, kesenian, bahkan sampai kepada aspek-aspek yang terkait dengan kepribadian dan psikologi mereka.

Perasaan superior dalam tradisi keilmuan Barat itu kiranya cocok dianalogikan dengan foto yang saya tampilkan dalam tulisan ini. Foto itu berasal dari Proceedings of the Fourth Pacific Science Congress (1929, Jilid 1: 194, pl.xvi). Kongres yang berlangsung di Batavia itu diakhiri dengan acara jalan-jalan (ekskursi). Foto itu memperlihatkan satu rombongan peserta kongres yang kebanyakan orang Eropa itu dalam kunjungan ke sebuah situs purbakala di pedalaman Jawa. Dalam foto itu betapa jelas tergambar perbedaan posisi antara pribumi dan Barat itu: para ilmuwan Barat yang berpakaian bersih, necis dan mahal itu berdiri di atas situs purbakala yang sedang diekskavasi, sementara para asisten pribumi yang dipekerjakan itu berada di bawah dalam posisi duduk. Karena konteks gambar ini adalah kegiatan ilmiah, perbedaan itu seolah juga merefleksikan perasaan superior Barat terhadap Timur dalam dunia ilmu.

Amin Sweeney, salah seorang ilmuwan yang cukup kritis terhadap pandangan Eropa sentris ini, menilai bahwa inti masalahnya terletak pada pemakaian tanpa evaluasi konsep ilmu pengetahuan (scholarship) Barat terhadap kesusastraan Melayu. Demikianlah umpamanya ia mengkritik para sarjana zaman kolonial yang “begitu yakin bahwa klasifikasi budayanya sendiri memiliki nilai sejagat sehingga mereka terdorong memaksakan sistem penggolongan yang disangkanya alamiah itu kepada budaya Melayu” (dikutip dari karyanya : Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Jilid 1, 2005: 9).

Inilah menurut Sweeney yang menjadi penyebab munculnya penilaian negatif para sarjana kolonial kepada hasil kesusastraan Melayu: apa yang justru dinilai penting dalam naratif kesusastraan Melayu malah dianggap mubazir dan bertele-tele oleh para sarjana Barat. Sweeney antara lain mengatakan bahwa kekeliruan para sarjana kolonial ketika membahas karya-karya Abdullah adalah merancukan konsep realisme dan realitas. Mereka memandang Hikayat Abdullah dari sudut realisme tanpa menyadari bahwa realisme hanyalah satu kaidah untuk menciptakan ilusi realitas.

Tawaran Syed Farid Alatas untuk lebih banyak merujuk pemikiran-pemikiran ilmuwan Timur sendiri dalam studi-studi sosial dan humaniora mengenai masyarakat dan kebudayaan Timur, khususnya Melayu, mungkin hanya salah satu alternatif dalam upaya melawan imperialisme cendikia Barat itu. Tapi usaha itu saja jelas tidak cukup. Sesungguhnya banyak hal dalam masyarakat Timur sendiri yang harus diubah, ditingkatkan, dibenahi dan saling diintegrasikan untuk menandingi penjajahan intelektual Barat itu.

Yang paling penting adalah memperkuat komunitas ilmuwan Melayu itu sendiri. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh masyarakat akademis sendiri, tapi terkait dengan banyak faktor di luarnya. Dalam kaitannya dengan hal ini, negara-negara modern di dunia Melayu, yang kebanyakan tidak demokratis, potensial menjadi faktor penghambat kemajuan dan kedewasaan komunitas ilmuwan Melayu. Di beberapa negara ASEAN, kebebasan berpikir menjadi terancam akibat spionase dan kecurigaan negara terhadap kaum akademis.

Produksi buku-buku maupun artikel-artikel ilmiah oleh ilmuwan dari dunia Melayu harus mampu melewati sekat-sekat negara. Bagaimana kita akan dapat menciptakan komunitas ilmuwan Melayu yang kuat jika buku-buku Malaysia, misalnya, lebih mudah diperoleh di Leiden daripada di Jakarta? Oleh sebab itu kebijakan perbukuan di negara-negara di dunia Melayu harus direformasi. Beberapa rezim penguasa yang takut kepada buku impor dengan alasan keamanan bangsa sangat berdampak kepada kehidupan akademis dan intelektual bangsa yang bersangkutan.

Tradisi keilmuan di dunia Melayu harus mampu berdiri di atas berbagai kepentingan (vested interest) di luarnya. Artinya, para ilmuwan Melayu harus terus-menerus mencoba membangun sebuah komunitas akademik yang independen dan kritis. Hanya dengan cara itu pemikiran-pemikiran yang mendalam yang melahirkan teori-teori yang tahan uji dapat dihasilkan dan rasa subjektivitas dalam menjelaskan fenomena kebudayaan dan masyarakat sendiri dapat dikontrol. Hanya dengan cara itu pula komunitas ilmuwan Melayu dapat bebas berdalam-dalam dengan bidangnya tanpa harus diganggu oleh berbagai kepentingan dan pesan-pesan politik dari pihak-pihak yang berada di luar komunitas ilmuwan itu sendiri.

Dalam kenyataannya masyarakat Melayu masih dipecah-pecah oleh negara warisan kolonial. Lihat saja apa yang terjadi dalam hubungan kebangsaan antara Malaysia dan Indonesia, misalnya. Kesan umum yang terlihat adalah bahwa para ilmuwan dari dunia Melayu masih belum mampu membebaskan diri mereka sepenuhnya dari sentimen-sentimen kenegaraan itu. Mereka masih cenderung terkotak-kotak dalam bingkai negara-bangsa itu yang menyebabkan antara sesama ilmuwan belum mampu menumbuhkembangkan sepenuhnya wacana keilmuan bersama yang dapat menyingkirkan sentimen kebangsaan.

Teori-teori mengenai dunia Melayu atau Timur pada umumnya yang telah dikembangkan oleh beberapa pemikir atau sarjana Timur sendiri harus terus-menerus disosialisasikan dan sekaligus terus-menerus diuji. Sebuah thesis harus selalu diuji dan dikritisi dengan anti thesis, dan anti thesis itu harus diuji lagi dengan anti thesis yang lain. Tradisi itu harus berkelanjutan dalam suasanya terbuka. Tapi kebanyakan ilmuwan kita belum terbiasa dengan kritik terbuka. Ini antara lain terefleksi dalam tradisi junal-jurnal ilmiah kita: banyak jurnal ilmiah belum menerapkan secara ketat tradisi mitra bestari (peer).

Menggalakkan kajian-kajian mengenai peradaban Barat di kalangan sarjana Melayu, seperti yang dilakukan oleh Institute of Occidental Studies di Universiti Kebangsaan Malaysia, bagus dilakukan, tetapi hal itu tidaklah otomatis akan langsung memberi dampak positif terhadap upaya melawan imperialisme cendikia Barat di dunia Melayu. Apalagi jika motivasinya didasarkan atas dorongan subjektivitas bahwa bukan orang Barat saja yang bisa meneliti masyarakat Timur, tapi orang Timur juga bisa meneliti masyarakat Barat.

Singkat kata, upaya melawan penjajahan intelektual Barat itu mesti dilakukan dengan memperkuat komunitas ilmuwan Melayu sendiri. Dan hal itu akan dapat dicapai dengan melakukan transformasi, bahkan jika mungkin reformasi, berbagai aspek yang terkait dengan negara-bangsa di dunia Melayu seperti sudah saya uraikan di atas. Dalam kaitannya dengan hal ini tradisi mengumpulkan apa saja dalam perpustakaan perlu dibudayakan. Hanya dalam jiwa pada akademisi yang merdekalah akan lahir pemikiran-pemikiran yang jernih dan dalam. Hanya dalam komunitas akademis yang merdeka pulalah sebuah dialog keilmuan yang kritis dan terbuka dapat dilakukan. Jika taraf seperti itu dapat dicapai oleh komunitas ilmuwan Melayu, maka pada saatnya akan muncul kritisisme yang jernih dan dalam terhadap teori-teori Barat tentang masyarakat dan kebudayaan Melayu sendiri dan pada saat yang sama akan lahir teori-teori yang tahan uji dari ilmuwan Melayu sendiri. Pada saatnya nanti akan muncul pula dalam komunitas ilmuwan Melayu para akademisi sekaliber Homy K. Babha atau Arjun Appadurai—keduanya dari India—yang refleksi-refleksi teoretis mereka mengenai kebudayaaan tak kurang dikagumi dan sering dirujuk oleh komunitas ilmuwan Barat.

Suryadi, Dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesië, Universiteit Leiden, Belanda

-

Arsip Blog

Recent Posts