Merangkai Pulau, Menghapus Batas

Oleh Jarir Amrun
jariramrun@riaupos.com

‘’Jauh hari sebelum dicanangkan sebagai Desa Informasi oleh Pak Menteri, Telkomsel sudah kami rasakan, melalui handphone ini,’’ papar Kades Tanjung Medang, Muhammad Nur (60).

Nama Tanjung Medang mungkin tidak nampak di peta dunia, sebab posisinya jauh di ujung utara Pulau Rupat, sebab pulau ini kecil menjorok ke Selat Malaka, makanya sebagian warga lebih mengenal informasi negeri tetangga daripada negeri sendiri, Indonesia.

Walau mereka bermukim nun di ujung pulau, tetapi sejak delapan tahun lalu mereka sudah berkomunikasi dengan dunia luar, yakni sejak adanya sinyal Telkomsel. ‘’Dengan modal beli handphone Rp500 ribu, kami dah bisa bercakap ke semua orang, ke Bengkalis, Pekanbaru, Jakarta, bahkan sampai ke Makkah,’’ ujar M Nur, sambil tertawa bangga.

Rupat merupakan pulau terluar di wilayah Indonesia dengan luas 1.524 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 49 ribu jiwa. Luas Rupat tiga kali lebih besar dari Singapura. Masyarakatnya cenderung lebih dekat dengan Malaysia, sebak jarak Rupat ke Malaysia hanya 35 Km, sementara Rupat ke Bengkalis sekitar 90 Km dan jarak Rupat Utara (Tanjung Medang) ke Kota Dumai sekitar 52 Km lebih.

Wajar saja ketergantungan warga Rupat pada Malaysia sangat tinggi. Misalnya warga menjual ikan pun ke Malayisa karena harganya lebih mahal dibanding dijual ke Kota Dumai. Sepeda motor yang beredar pun banyak yang berasal dari Malaysia, hal ini dapat ditandai dengan lampunya yang terus menyala di siang hari dan motor tersebut tanpa plat nomor polisi.
Dan jangan heran, jika saat menyaksikan Piala Dunia, warga Tanjung Medang yang tidak memiliki antena parabola, mereka menyaksikan melalui channel televisi Malaysia, yakni Tv1 atau Tv2.

Camat Rupat Utara Radius Akima menambahkan, bahwa Telkomsel sejak tahun 2003 sudah ada di Tanjung Medang. Keberadaan Telkomsel cukup banyak manfaatnya. Misalnya perintah dari bupati atau sejumlah kejadian lainnya di luar Rupat, ekses tercepat hanya melalui handphone.

Bagi Radius Akima, sebagai camat, informasi sangat penting baginya. Jarak antara Rupat Utara dan Bengkalis sangat jauh, jika menggunakan speed boat diperlukan waktu tiga jam.
Diakui Radius, akhir Mei lalu Desa Tanjung Medang ditetapkan sebagai Desa Informasi, warga mendapatkan bantuan dari Menteri Kominfo Tifatul Sembiring, yakni fasilitas tambahan, seperti bantuan radio, televisi dan internet. Namun, keberadaan Telkomsel yang sudah lama eksis di wilayah ini jauh berperang lebih dari itu.

‘’Kalau saja sinyal handphone hilang, maka mampuslah kami yang tinggal di pulau ini. Seperti orang bingung di tengah pulau,’’ tukasnya.

Berbatasan dengan Jambi, Kini Lebih Dekat ke Pekanbaru

Berbeda dengan pengalaman M Nur di Tanjung Medang Rupat. M Rusdi sebagai Kades Limau Manis, Kecamatan Kemuning, Indragiri Hilir yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jambi, menjelaskan walau mereka bermukim di ujung Inhil, yakni berbatasan dengan Jambi, namun sinyal handphone sudah ada sejak delapan tahun lalu.

‘’Kira-kira sejak delapan tahun lalu, sinyal Telkomsel sudah ada di sini. Walau kami di ujung Riau, namun komunikasi tetap lancar, tapi baru sebatas Telkomsel, sinyal lainnya belum ada, kami harap segera hadir biar banyak pilihan,’’ paparnya Rusdi namun dia tidak ingat pasti tahun berapa Telkomsel eksis di desanya.

Jarak Kemuning ke Pekanbaru sekitar 335 Km, lebih dekat dengan Jambi sekitar 210 Km, sebab Kecamatan Kemuning berbatasan langsung dengan Provinsi Jambi. Dengan adanya Telkomsel, warga Kemuning lebih mudah berkomunikasi dengan keluarga di Tembilahan dan Pekanbaru, ini membuat hubungan sosial, administrasi tetap dekat dengan Riau.

‘’Kami ini walaupun tinggal di Riau, tetapi secara geografis lebih dekat dengan Kota Jambi, sebab memang berbatasan langsung dengan provinsi tetangga itu,’’ papar Rusdi menjelaskan kenyataan yang ada.

Sinyal Telkomsel bukan hanya membuat komunikasi yang jauh terasa dekat, namun bagi mereka yang bermukin di perbatasan, sinyal itu merajut hubungan psikologis mereka yang selama ini terasa jauh jarak dengan keluarga di Pekanbaru.

‘’Terus terang, banyak manfaatnya handphone ini. Kalau tak ada handphone, kacaulah,’’ ujarnya.

Mereka yang Bermukim di Pulau Padang

Lautan dan darat bukan lagi menjadi penghalang Pak Atan yang bermukin di Pulau Padang, dengan keluarganya di Bengkalis dan Pekanbaru. ‘’Kalau dulu hendak berjumpa keluarga harus menyebrang pakai pompong ke Desa Ketamputih, Pulau Bengkalis, tapi sekarang cukup teken handphone ini, dah jumpa semuanya,’’ ujar Atan yang bermukim di Desa Sungai Iyu, Pulau Padang, Kabupaten Meranti, mengisahkah pengalamannya.

Kaluarga Pak Atan paling banyak di Bengkalis sebab dia lahir di Bengkalis, dan satu anaknya bekerja di Pekanbaru. Bagaimanapun, hubungan melalui udaralah solusinya. Kalau harus menyeberangi Selat Bengkalis, terpaksa mengeluarkan uang minimal Rp100 ribu, namun sekarang dengan cara menekan handphone saja seluruh keluarganya dapat dikunjungi.

Pak Atan yang menggunakan kartu As ini pun sudah pintar menggunakan fasilitas gratis yang ditawarkan Telkomsel, dengan modal Rp5.000 dia sudah dapat bicara 100 menit. ‘’Aku tak begitu paham do, anakku ini yang sering mengutak-atiknya,’’ tukasnya dengan rendah hati.

Suku Sakai di Pinggir pun Tak Terpinggirkan

Sakai yang bermukin di pinggiran rimba Kecamatan Pinggir pun tak lagi terpinggirkan. Komunikasi sudah menjangkau pemukiman mereka. Wilayah Kecamatan Pinggir di posisi setrategis, yakni antara Pekanbaru-Duri, makanya sejumlah perusahaan komunikasi, menilai wilayah ini sangat potensial. Selain di wilayah ini terdapat sejumlah perusahaan besar, seperti PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), perkebunan karet PT ADI dan sejumlah perkebunan sawit lainnya, Kecamatan Pinggir juga berpenduduk cukup banyak.

‘’Kami ini orang Sakai. Kalau handphone bagi kami tak asing lagi, walau dalam bercakap dengan bahasa kami (bahasa Sakai, red),’’ ujar Ketah, warga Muara Basung, Kecamatan Pinggir, Sabtu (12/6).

Ketah dan sejumlah warga Sakai lainnya, secara ekonomis memang hidup pas-pasan, tetapi komunikasi lebih penting daripada sepeda motor. Mengapa demikian? Dengan handphone, cuma dengan Rp5.000 sudah dapat berkomunikasi, sementara sepeda motor terpaksa harus mengeluarkan uang untuk beli bensin lebih dari itu.

‘’Biarlah, kami tak punya honda (warga setempat sering menyebut sepeda motor dengan honda, red), tapi handphone jangan sampai terjual,’’ harap Ketah dengan lugu.

Nelayan Pulau Jemur, Masih Berharap Sinyal

Berbeda dengan wilayah lain di Riau yang sudah terjangkau sinyal, khusus Pulau Jemur (Kepulawan Aruah), ternyata Telkomsel belum dapat diekses. Nelayan dari Penipahan, Bagansiapi-api dan ada juga dari Sumatera Utara (Sumut) biasanya bersandar di pulau yang berbatasan dengan negeri jiran Malaysia ini pun merasa kecewa.

Walau Pulau Jemur tak berpenghuni, namun nelayan yang singgah di pulau ini tidak sedikit jumlahnya. Biasanya nelayan singgah untuk memperbaiki jaring yang rusak, mengecek bagian dok kapal yang rusak, atau sekadar untuk istirahat. Umumnya nelayan yang singgah di pulau ini sudah mengumpulkan ikan, sebab para nelayan sebelum sampai di Pulau Jemur sudah menjaring ikan terlebih dahulu.

‘’Umumnya nelayan yang melintasi Selat Melaka, mereka memilih beristirahat di Pulau Jemur, sebab pulau ini aman dari gelombang dan kapal-kapal bisa disandarkan, tanpa harus membayar jasa melabuh,’’ papar Kadiskanlut Rohil, Rujito Susiswo pada Riau Pos, Sabtu (12/6).

Pantuan Riau Pos saat mengunjungi Pulau Jemur beberapa waktu lalu, bukan hanya nelayan dari Riau yang singgah di pulau ini tetapi juga nelayan dari Sumut, yakni dari Tanjungbalai Asahan, Tanjung Tiram, Batubara dan sejumlah pesisir Sumut yang berdekatan dengan pesisir Rohil.

Pedagang yang membeli ikan berasal dari Panipahan, Rohil, mereka membeli dengan harga sedikit miring. Bagi nelayan harga miring lebih baik daripada harus menjualnya ke Bagansiapi-api atau Panipahan, karena memerlukan modal minyak pompong.

Di sebagian Pulau jemur tumbuh pohon waru yang rindang, di bawah pohon ini nelayan istirahat dan berteduh, bahkan tidur di malam hari pun mereka di bawah pohon ini, kalau terasa dingin baru mereka masuk ke kapalnya. Sebagian nelayan membakar ikan hasil tangkapan untuk lauk. Umumnya nelayan akan pulang ke rumah setelah satu bulan perjalanan, bahkan nelayan asal Sumut mereka akan pulang ke kampung halaman mereka setelah dua bulan lebih di laut.

Hal ini mendapat perhatian Wakil Gubernur Riau HR Mambang Mit, saat berjumpa dengan Menkoinfo Tiffatul Sembiring di Rupat beberapa waktu lalu. Mambang berharap agar sinyal pun ada di Pulau Jemur.

‘’Jangan hanya di Rupat, saya harap Pulau Jemur bisa dijadikan Pulau Informasi, sebab selama ini yang ada hanya Desa Informasi,’’ ujar Mambang beberapa waktu lalu, saat meresmikan Desa Informasi bersama Tifatul Sembiring di Pulau Rupat.

Jarak Pulau Jemur ke Kota Bagansiapi-api sekitar 85 Km, sementara jarak Pulau Jemur dengan Pelabuhan Port Klang, Malaysia hanya 68 Km. Kedekatan jarak Pulau Jemur dengan Malaysia ini rawan disintegrasi bangsa. Bahkan beberapa waktu lalu muncul isu bahwa Pulau Jemur masuk wilayah Malaysia. Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, sudah sewajarnya pemerintah mempermudah ekses komunikasi di pulau ini. Di sinilah tantangan Telkomsel.
Selain mendekatkan jarak komunikasi, dan memudahkan pemantauan ancaman dis-integrasi, keberadaan sinyal telepon seluler di pulau ini akan membantu nelayan yang singgah di pulau ini. Minimal mereka dapat memberikan kabar pada keluarga mereka di daratan, selain mengetahui harga ikan di pasaran.

Titik Tonggak Kemajuan Komunikasi

Telkomsel sudah banyak berperan di negeri ini, membuka isolasi daerah dan mengembangkan beragam produk unggulan yang dinilai sangat membantu konsumen.

Hal ini terbukti dengan deretan penghargaan yang diterima Telkomsel. Terakhir penghargaan yang diterima Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno dari Frost & Sullivan 2010, yakni penghargaan sebagai Wireless Service Provider of the Year. Sebelumnya Telkomsel memperoleh penghargaan Indonesia Telecoms Award sebagai Mobile Data Service Provider of the Year pada 2008 dan Mobile Service Provider of the Year pada 2009.

Yang paling diharapkan warga, khususnya yang bermukim di ceruk pulau-pulau di negeri ini, selain membuka isolasi dan kemapanan sinyal, harga pun lebih murah lagi.

‘’Kalau bisa berpesan ke Telkomsel, saya sebagai orang di ceruk negeri ini ingin berperan, tolong sinyal jangan hilang-hilang muncul. Dan kalau bisa, kami-kami yang di daerah ini pun mendapatkan hadiah, jangan orang kota saja. Yang kami alami, malah cuma hadiah palsu, oknum-oknum yang tak bertanggung jawab menipu kami dengan tawaran hadiah besar,’’ ujar Pak Atan yang sehari-hari mengembala kambing dan menoreh pohon karet di Pulau Padang.

Penduduk di negeri ini tak banyak permintaan, cukup bisa berbicara dan ber-SMS saja sudah senang. Sebab, mereka hanya ingin mengetahui kabar sanak saudara dan usaha mereka dengan menggunakan alat komunikasi handphone yang sederhana.

Inilah yang menjadi harapan Atan, juga M Nur di Tanjung Medang Rupat Utara, Rusdi M di Desa Limau Manis, Kecamatan Kemuning, Indragiri Hilir, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jambi, dan sejumlah nelayan di Pulau Jemur berbatasan dengan Malaysia.

Keberhasilan Telkomsel mendapat penghragaan, karena melayani dan menyatukan pulau-pulau di negeri ini melalui jaringan terluas dan kualitas terbaik hingga wilayah terpencil, bahkan menjangkau 95 persen populasi di tanah air sudah seharusnya dijadikan titik tonggak kemajuan komunikasi di negeri ini kepada yang lebih baik.***

-

Arsip Blog

Recent Posts