Runtuhnya Kearifan Lokal Suku Sakai...

Oleh Agnes Rita Sulistyawati dan Ahmad Arif

Suku Sakai, yang kini terancam eksistensinya itu, sebenarnya memiliki kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan ekologi selama berabad-abad, jauh melebihi manusia modern yang mengaku lebih beradab. Terbukti, sebelum kedatangan mesin-mesin industri, masyarakat Sakai mampu menjaga hutan mereka tetap lestari.

Salah satu cara yang dipakai untuk menjaga ekologi hutan adalah dengan menerapkan zonifikasi lahan yang ketat. Bathin Batuah, Abdul Karim (60), mengatakan, hutan ulayat mereka dibagi dalam beberapa kategori, yaitu hutan adat, hutan larangan, dan hutan perladangan.

Hutan adat hanya boleh diambil rotannya, damar, dan madu lebah, tetapi pohon-pohon utamanya tidak boleh ditebang. Sedangkan hutan larangan, yang biasanya berada di bantaran sungai, sama sekali tidak boleh diusik. Hutan perladangan boleh ditebang untuk ladang dengan sistem rotasi.

Selain menerapkan zonifikasi, suku Sakai juga melarang warganya menebang beberapa jenis pohon, di antaranya pohon sialang, kapur, labuai, dan buah-buahan. Pohon sialang ini merupakan tempat bersarangnya lebah. Pepohonan di sekeliling pohon sialang, hingga radius 1-2 kilometer, juga dilarang ditebang karena pepohonan ini dinilai sebagai habitat lebah madu.

"Apabila ada orang yang tertangkap merusak hutan larangan atau menebang pohon sialang, ia bisa dikenai denda berupa uang hingga diusir dari wilayah bathin," tutur Abdul Karim.

Dulu seorang bathin bernama Bathin Bumbung dicopot dari kedudukannya karena menebang pohon sialang. "Wilayah ke-bathinan-nya kemudian dihapuskan sehingga anak-keturunnya tak bisa lagi menjadi bathin," ujar Abdul Karim.

Tercerabut
Namun, semua aturan itu kemudian dihancurkan. Awalnya adalah perusahaan besar, yang mendapat izin negara untuk menembus jantung hutan larangan suku Sakai. "Pada zaman Orde Baru banyak sekali bentrokan antara warga kami dan pengusaha yang didukung penguasa. Tapi, apa daya, akhirnya kami hanya bisa melihat hutan yang kami jaga itu dihancurkan," keluh Abdul Karim.

Hingga saat ini, perselisihan yang sering diwarnai bentrokan antara masyarakat Sakai dan perusahaan masih kerap terjadi. Misalnya, pengusiran dan pembakaran rumah yang dialami sejumlah warga Sakai di Dusun Suluk Bongkal, Desa Beringin, Kecamatan Pinggir, beberapa bulan silam.

Husein (57), warga Sakai, salah seorang korban, mengatakan bahwa rumah yang dibangunnya dibakar oleh orang-orang perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI), PT Arara Abadi, yang juga anak perusahaan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Kebakaran itu merupakan puncak konflik antara masyarakat dan perusahaan.

Tidak hanya rumah yang menjadi korban, tetapi juga padi yang disimpannya di rumah ikut menjadi abu. "Tempat rumah kami itu hutan ulayat kami. Dari kecil kami sering berladang di sana," kata Husein.

Namun, Public Affairs Head PT IKPP, Nazaruriddin, membantah keras pembakaran rumah masyarakat Sakai. Bahkan, ia menolak bila dikatakan ada konflik antara masyarakat setempat dan perusahaan karena perusahaan telah mendapatkan hak pemanfaatan tanah secara legal dari negara. Justru warga Sakai yang dinilai menyerobot tanah mereka.

"Dari segi hukum, tak mungkin masyarakat Sakai menang melawan IKPP, karena perusahaan memang telah menyiapkan seperangkat izin, sementara patokan yang dimiliki masyarakat Sakai adalah konvensi. Yang jadi masalah adalah kenapa pemerintah memberi izin pengelolaan hutan tanpa mengindahkan tanah adat warga asli," kata Thamrin S, ahli hukum adat Universitas Islam Riau.

Terlepas dari konflik macam itu, ternyata perusahaan dan pemerintah tidak menyiapkan masyarakat asli dalam menghadapi perubahan yang cepat, seiring dengan datangnya perusahaan. Pemerintah seperti sengaja membenturkan masyarakat Sakai, yang tak paham dengan hukum negara, dengan para pengusaha.

Akhirnya, kehancuran hutan oleh pendatang itu diikuti runtuhnya budaya masyarakat Sakai. Melihat hutan mereka diambil semena-mena oleh pendatang, para Sakai ini pun banyak yang ikut-ikutan menghancurkan hutan mereka.

Bandar (29), warga Dusun Pangkalan Merbau, Desa Tasik Serai, Kecamatan Pinggir, mengaku pernah bekerja sebagai kuli angkut kayu pada pembalak liar dari Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara, yang menghancurkan hutan ulayat desanya tahun 2002-2004. "Yang dihancurkan itu memang hutan adat kami, tempat kami selama ini berburu. Tapi, tak mungkin kami, waktu itu, menghentikan penebangan. Akhirnya, kami ikut bekerja di sana, untuk mengumpulkan modal," kata Bandar. Penghasilannya Rp 500.000 per bulan selama membalak hutan itu digunakan untuk membiayai penanaman kebun sawit seluas dua hektar.

Bahkan, sebagian warga Sakai kemudian membuka hutan dan menjualnya kepada masyarakat pendatang. Penjualan tanah besar-besaran itu terjadi sekitar tahun 1990-an, berbarengan dengan upaya penempatan masyarakat Sakai oleh pemerintah yang dibantu sejumlah perusahaan, yang mendapatkan hak untuk mengelola tanah ulayat Sakai.

Saat itu setiap hektar tanah dijual rata-rata seharga Rp 150.000 atau terkadang tanah tersebut ditukar dengan barang konsumtif seperti televisi, parabola, dan sepeda motor.

Husein, menceritakan, tahun 1996 dia menukar tanahnya seluas 20 hektar kepada orang luar Sakai dengan rumah tembok tipe 36 dan televisi 21 inci.

Padahal, sesuai tradisi, warga Sakai dilarang menjual tanah mereka, karena tanah dimiliki oleh ulayat atau milik bersama seluruh anggota suku. "Televisi dan rumah ini kami dapatkan dari menjual lahan dua hektar. Kalaupun tanah ini tak kami jual, perusahaan itu akan menyerobotnya dari kami tanpa ganti rugi," tambah Husein.

Sanksi berat bagi perusak hutan pun diabaikan. Kepemimpinan batin mulai goyah, apalagi kemudian pemimpin para bathin, yaitu Bathin Batuah yang bernama Boedjang Ganti meninggal. Proses penggantiannya menyulut konflik internal.

Masyarakat Sakai memang telah kalah. "Sulit menjalankan hukum adat. Apalagi, kepala desa di perkampungan Sakai bukan lagi dari warga Sakai ," tutur Abdul Karim.

Musyawarah 13 bathin yang dulu menjadi media untuk membahas problematika masyarakat Sakai, kini sudah lenyap, demikian Abdul Karim, putra kandung Bathin Batuah, almarhum Boedjang Ganti.

Saat ini, selain Abdul Karim, ada juga M Yatim, yang juga mengaku sebagai Bathin Batuah. Keduanya sama-sama mengaku yang paling sah. Kondisi ini semakin direpotkan dengan kepemimpinan di tingkat desa atau kelurahan yang dipegang oleh para pendatang. Akibatnya, garis koordinasi maupun upaya menyatukan masyarakat Sakai semakin sulit.

"Kepala suku kami dan ketua RT telah menjual lahan atas nama masyarakat. Sebelumnya, fotokopi KTP masyarakat diminta untuk membuat surat keterangan ganti rugi (SKGR). Tapi, uang Rp 75 juta hasil penjualan hutan tidak sampai ke masyarakat," tutur Eliyadi (31), warga Sakai.

Mencoba bertahan
Sebagian warga Sakai memang tetap mencoba menggantungkan diri dari hasil hutan, walaupun sangat minim hasilnya. Misalnya, warga Sakai di Desa Petani, Kecamatan Mandau. "Dulu, kami bisa mendapatkan 20-40 kilogram ikan per hari dari Sungai Pudu. Tapi, sejak dua tahun terakhir, hasil ikan sangat merosot hingga 1-5 kilogram per hari. Pencemaran sungai membuat hasil sungai berkurang," tutur Adin (50), warga Sakai di Desa Petani, Kecamatan Mandau.

Bahkan, sebagian benar-benar terpuruk. "Sejak subuh hingga matahari tenggelam, kami tidak bisa mendapatkan satu kilogram damar. Dulu, 100 kilogram damar dengan mudah kami dapat di hutan. Sekarang, kami harus menggali tanah di bekas hutan hingga setengah meter untuk mencari sisa damar yang dulu rontok dan tertimbun tanah," tutur Uti (50), perempuan Sakai dari Pematang Pudu.

Kondisi ini bisa dihindarkan bila sejak awal pemerintah punya komitmen untuk melindungi masyarakat Sakai. Pendampingan serta pendidikan yang memadai bisa menghindari terpuruknya para Sakai.

-

Arsip Blog

Recent Posts