Jakarta - Sebagian besar warga keturunan Tionghoa di Indonesia tidak menggunakan nama Tionghoa yang diberikan oleh orang tua mereka. Hal ini memperlihatkan adanya pergeseran identitas diri pada individu keturunan Tionghoa di Indonesia dalam konteks keterikatan kebudayaan dan kebangsaan.
Salah satu pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Dr Herminda Sutami mencoba menguak pergeseran identitas warga keturunan itu dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Penelitian itu dipaparkan dalam sebuah diskusi "Identitas Hibrida: Studi tentang Etnis Tionghoa di Indonesia" yang diselenggarakan di Universitas Atmajaya, awal pekan ini.
Penelitian awal yang mencoba menguak identitas warga keturunan dengan menggunakan bahasa itu dilakukan kepada sejumlah perserta kursus bahasa Mandarin di tempatnya mengajar.
Hasil yang diperoleh, dari 92 responden menunjukkan 55 persen tidak berbahasa Mandarin di rumahnya, walaupun lebih dari 75 persen memiliki nama Tionghoa yang belum tentu digunakan.
Namun ternyata, dari 61 responden yang tergolong murni keturunan Tionghoa, lebih dari 80 persen menyatakan "merasa Cina", hanya lima persen saja yang "tidak merasa Cina".
Hermina mengatakan perlu ada kajian lebih lanjut apakah pergeseran itu terjadi akibat munculnya reformasi di tahun 1998, karena sejak masa itu warga keturunan Tionghoa tidak malu-malu lagi mengakui dirinya orang Indonesia keturunan Tionghoa.
Hermina sendiri menyatakan hasil penelitian tersebut belum bisa digeneralisasikan pada populasi, apalagi pada warga keturunan secara keseluruhan.
Namun menurutnya, penelitian itu merupakan salah satu terobosan baru untuk mengungkap identitas diri warga keturunan melalui bahasa yang digunakan sehari-hari.
"Mudah-mudahan dengan adanya "penelitian kecil-kecilan" ini bisa memancing para peneliti lainnya untuk mengembangkan metode dan tema yang lebih mendalam tentang kajian warga keturunan di Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, menurut Thung Ju Lan, salah satu peneliti Kajian Asia Timur Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang identitas diri dan hubungannya dengan studi masalah Cina (Chinese studies) perlu dijawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendasar.
Pertama, yang manakah centre bagi warga keturunan Tionghoa di Indonesia, apakah geopolitik dan kebudayaan Tionghoa, atau geopolitik dan kebudayaan Indonesia.
Kedua, bagaimana "identitas ke-Cina-an" itu didefinisikan, sebagai bagian budaya leluhur atau dikonstruksikan secara lokal.
Ketiga, bagaimana warga keturunan Tionghoa menempatkan dirinya di antara dua centre, ketika kedua-duanya berusaha menjadi centre bagi warga keturunan.
Keempat, apakah studi tentang "identitas ke-Cinaan" bisa membantu proses pembentukan identitas (identity building) warga keturunan Tionghoa di Indonesia.
Hal yang sama juga disampaikan Melly G Tan, sosiolog yang hadir dalam diskusi tersebut. Menurutnya untuk mengkaji tentang identitas diri perlu dijawab keempat pertanyaan tersebut. Jika pertanyaan tersebut belum mampu dijawab, maka penelitian tentang keturunan Tionghoa di Indonesia hanya akan berputar pada masalah yang diulang-ulang saja, tanpa ada terobosan baru. (K-11)
Sumber: http://www.suarapembaruan.com