Oleh: Triyono Lukmantoro
KOMISARIS Jenderal Susno Duadji bisa dikatakan sebagai seorang whistleblower atau bukan? Susno menyampaikan informasi keberadaan mafia hukum dalam tubuh Polri kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Menurut Susno, ada empat perwira Polri dan seorang di luar Polri yang diduga menjadi makelar kasus pencairan dana sebesar Rp 25 miliar pada rekening milik terdakwa Gayus Tambunan, anggota staf Direktorat Jenderal Pajak.
Susno menegaskan, ia hendak membantu Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri mereformasi Polri dan membasmi pengkhianat yang merusak citra Polri (Kompas, 19 dan 21 Maret).
Pihak Satgas Pemberantasan Mafia Hukum akan menindaklanjuti laporan itu. Reaksi yang bertentangan muncul dari para perwira yang mendapat tudingan sebagai makelar kasus. “Markus itu sarangnya di tempat Susno. Itu namanya maling teriak maling,” kata Brigjen (Pol) Radja Erizman, Direktur Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri.
“Pak Susno harusnya sampaikan fakta atas apa yang dia katakan. Kata-katanya harus dikoreksi,” kata Brigjen (Pol) Edmon Ilyas, bekas Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, yang kini menjabat Kepala Polda Lampung. Respons lain muncul pada rubrik Pojok: “Peniup peluit, dalam lomba lari, biasanya bukan pemain!” (Kompas, 20 Maret 2010).
Rangkaian kata pada rubrik Pojok boleh saja dipandang sebagai seloroh. Namun, seloroh itu berisi sindiran yang memperlihatkan kelucuan sekaligus kebenaran. Dalam seloroh itu juga menyajikan gugatan.
Benarkah dalam pembongkaran mafia hukum itu ada seseorang yang pantas disebut sebagai peniup peluit (whistleblower)? Seorang whistleblower yang bermaksud mengungkap skandal adalah pihak yang tidak terlibat pada kasus yang dilaporkannya. Intensi (maksud yang disengaja) dan integritas moral (kesatuan ucapan dan perbuatan) adalah taruhannya.
Seseorang tidak bisa dianggap sebagai whistleblower jika motif yang menjadi kalkulasinya adalah keuntungan pribadi. Dalam wikipedia ditegaskan, whistleblower dipandang sebagai martir yang tidak mementingkan diri sendiri. Kepentingan publik dan akuntabilitas organisasional adalah tujuan yang hendak dicapai. Whistleblower bukanlah sosok yang ingin mendapatkan kemenangan dan popularitas pribadi dengan strategi menggulirkan sensasi.
Pengungkapan skandal yang didasari balas dendam untuk menunjukkan egoistis bukan pula sifat dasar whistleblower sejati.
Tindakan Komunikatif
Tidak mudah mendefinisikan tindakan meniup peluit (whistleblowing). Sejauh ini, urai Peter B Jubb (Whistleblowing: A Restrictive Definition and Interpretation, 1999), whistleblowing dicirikan oleh tindakan yang melawan kesepakatan terhadap organisasi. Tindakan itu memerlukan sikap tidak loyal bagi organisasi.
Ada enam elemen dalam tindakan ini. Pertama, aksi dalam bentuk pengungkapan suatu masalah. Kedua, hasil berupa catatan publik. Ketiga, aktor yang memiliki akses terhadap data atau informasi organisasi. Keempat, subyek yang memuat ilegalitas dan tindakan keliru. Kelima, target yang berimplikasi pada organisasi. Keenam, penerima laporan yang terdiri atas entitas eksternal.
Dalam enam elemen itu memang tidak secara eksplisit ditunjukkan mengenai motivasi yang mendorong tindakan whistleblower. Namun, merujuk gagasan Jurgen Habermas, whistleblowing pada prinsipnya merupakan tindakan komunikatif. Artinya adalah whistleblowing harus didasarkan pada kejujuran. Informasi yang disampaikan harus benar-benar sesuai dengan fakta yang terjadi. Ketulusan menjadi faktor yang penting dalam tindakan itu. Tanpa ketulusan, whistleblowing bukan diarahkan untuk kepentingan publik, melainkan mewujudkan ambisi pribadi yang sarat intrik. Kejelasan merupakan faktor determinan berikutnya. Tindakan itu disampaikan dengan bahasa yang jelas dan bukan dimaksudkan untuk menantang pertikaian.
Kejujuran, ketulusan, dan kejelasan menjadi parameter yang dapat digunakan untuk menilai motif tindakan whistleblower. Kejujuran tanpa dilandasi oleh ketulusan mudah mendatangkan kecurigaan. Namun, ketulusan yang tidak diungkapkan dengan kejelasan melahirkan berbagai prasangka yang tidak diperlukan.
Kejelasan tanpa memiliki basis kejujuran menghasilkan rangkaian tudingan tidak berkesudahan. Bukan fenomena yang janggal jika di sejumlah negara yang sudah maju, karena sifat jujur, tulus, dan jelas dalam mengungkapkan suatu skandal sedemikian dihargai, whistleblower dilindungi peraturan hukum yang pasti.
Lebih dari itu, organisasi-organisasi yang bertujuan menerima pengaduan dari kalangan whistleblower menerapkan kode etik yang baku. Organisasi-organisasi itu bahkan mengajak siapa pun yang menemukan skandal dalam birokrasi atau korporasi untuk berani memberikan kesaksian.
Seattle Ethics and Elections Commision (SEEC), misalnya, membuat pengumuman bertajuk Calling All Heroes yang bertujuan untuk mendorong masyarakat melaporkan ketidakberesan.
Sebab, dengan cara itulah aneka perbaikan untuk kepentingan bersama dapat dijalankan. Hanya saja, SEEC memberi ketegasan jika whistleblower melaporkan kekeliruan yang dilakukannya sendiri atau membuat laporan palsu, SEEC tidak memberi perlindungan. Terlebih lagi jika laporan whistleblower didasari kepentingan promosi jabatan, organisasi yang bertugas melakukan investigasi itu tidak akan menindaklanjuti.
Dilema Moral
Persoalan besar yang dihadapi whistleblower biasanya ada dua. Pertama, rasa takut yang terus membayangi kalau pihak organisasi yang menjadi tempatnya bekerja melakukan aksi balasan (retaliation).
Pencemaran nama baik, pembocoran rahasia, menjalankan pengkhianatan, bahkan ancaman pembunuhan merupakan konsekuensi yang harus diterima. Masalah ini bisa diatasi kalau lembaga perlindungan saksi dan kepastian hukum bisa beroperasi secara maksimal. Bukankah memberikan testimoni dengan tujuan memperbaiki kemaslahatan bersama adalah perilaku yang amat mulia?
Kedua, dilema moral. Whistleblower menghadapi problematik etis yang tidak gampang dipecahkan. Kesetiaan pada lembaga atau memihak kepada kebenaran hati nurani adalah dilema yang harus diselesaikan.
Persoalan ini bisa mendapatkan solusi jika perspektif moral yang digunakan oleh whistleblower tidak bersandar pada prinsip tindakan semata. Tindakan yang berdasarkan konsekuensi (teleologis) dan kewajiban (deontologis) hanya menuntun pada keputusan untuk berperilaku pada situasi tertentu.
Whistleblower selayaknya melandaskan diri pada etika keutamaan yang bertumpu pada karakter personal. Bukan lagi tindakan baik (good action) yang harus dipilih, melainkan menjadi orang baik (good person) yang lebih pantas diambil whistleblower.
Tindakan baik boleh jadi mendatangkan sanjungan dari sejumlah pihak karena dianggap menciptakan gebrakan. Sekalipun begitu, potensi kepentingan pribadi tetap terselip di dalamnya. Jujur, berani, santun, dan bijaksana adalah sejumlah karakter moral yang dapat dirujuk whistleblower. Dengan mengedepankan ciri-ciri moral itu, whistleblower tidak dianggap melakukan aksi yang keliru, ngawur, apalagi keblinger.
Triyono Lukmantoro, Dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang
Sumber : Kompas, Senin, 5 April 2010