Oleh: Darussalam
MUNCULNYA kasus mafia pajak yang hari-hari ini terus dibicarakan tentunya sangat melukai perasaan para wajib pajak. Perasaan luka ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus. Pemerintah harus mengambil tindakan tegas kalau tidak ingin kepercayaan para wajib pajak turun ke titik paling bawah. Namun, tidak boleh berhenti di tindakan tegas saja, pemerintah harus segera menindaklanjutinya dengan melakukan reformasi pajak secara menyeluruh agar kasus serupa tidak terulang pada masa yang akan datang.
Reformasi pajak, seperti yang dikatakan oleh Benjamin Franklin, salah seorang pemimpin revolusi Amerika Serikat, adalah sesuatu yang pasti kita alami dalam kehidupan ini, di samping kematian dan pajak itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam rangka menyelamatkan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara dan ketergantungan kepada utang luar negeri, reformasi pajak harus segera dilakukan. Namun, reformasi pajak tidak boleh dilakukan sepotong-sepotong. Reformasi pajak harus dilakukan secara menyeluruh terhadap semua institusi yang terkait dengan perpajakan.
Reformasi pajak harus dimulai dari konstitusi negara kita, yaitu UUD 1945. Pasal 23A UUD 1945 menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.
Hak Wajib Pajak
Tidak seperti di Indonesia, di banyak negara, demokratis kekuasaan untuk mengenakan pajak tidak boleh bersifat tidak terbatas. Dasar pemikiran yang dikembangkan adalah pajak tidak semata-mata dipandang sebagai bentuk kewajiban kenegaraan, tetapi juga dipandang sebagai bentuk pengambilan sebagian harta kekayaan warga negara oleh negara.
Oleh karena itu, harus terdapat norma-norma yang diperhatikan dalam memungut pajak. Secara umum, norma-norma tersebut, misalnya, pajak yang dipungut harus berdasarkan kemampuan untuk membayar pajak, adanya kepastian hukum, dan biaya pemungutan pajak harus serendah mungkin.
Dengan demikian, apabila tidak terdapat pengaturan pembatasan kekuasaan mengenakan pajak dalam konstitusi, tentunya pemerintah, dengan kekuasaan yang dimilikinya, akan berusaha untuk memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak. Hal ini bertitik tolak dari dasar pemikiran bahwa pemerintah sebagai penentu kebijakan publik tentu akan berusaha memaksimalkan penerimaan negara yang dapat dipungut dari masyarakat.
Inilah yang terjadi di Indonesia, pendekatan pajak sebagai bentuk kewajiban kenegaraan yang sering ditonjolkan. Akibatnya, hak-hak wajib pajak, yang diambil sebagian hartanya oleh negara, kurang begitu diperhatikan. Apalagi, masalah penggunaan uang pajak, yang seharusnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, masih sering bocor atau dipergunakan secara tidak tepat, seperti untuk fasilitas mobil atau rumah mewah para pejabat.
Lebih memprihatikan, DPR sebagai wakil wajib pajak malahan justru memberikan pendelegasian wewenang yang luas kepada pemerintah untuk dapat mengatur pengenaan pajak, termasuk untuk mengatur obyek dan tarif efektif pajak. Padahal, siapa yang harus dikenakan pajak, objek apa yang harus dikenakan pajak, berapa besar tarif pajak, dan dasar pengenaan pajak harus diatur dengan undang-undang. Tidak ada pajak yang dapat dipungut tanpa adanya persetujuan wajib pajak melalui wakilnya di parlemen (no taxation without representation).
Akibat pendelegasian wewenang yang tidak mempunyai rambu-rambu ini, hak para pembayar pajak untuk dapat terlibat, melalui wakil mereka yang ada di DPR dalam menyepakati pajak yang akan dibebankan kepada mereka, diabaikan. Padahal, hak wajib pajak sama pentingnya dengan hak asasi manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Duncan Bentley dalam bukunya yang berjudul Taxpayer’s Rights (1998:1).
Pendelegasian wewenang pada peraturan yang tingkatnya di bawah undang-undang hanya diperbolehkan dalam penyelenggaraan administrasi pajak.
Sehubungan dengan besarnya wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak, seharusnya pemerintah dalam merumuskan kebijakan perpajakan melibatkan wajib pajak yang terkena dampak dari kebijakan tersebut dapat dimintai pendapat dan persetujuannya.
Kalau ini dilakukan, tingkat resistensi dari wajib pajak dapat diperkecil. Dampaknya, upaya judicial review ke Mahkamah Agung tidak akan sering terjadi dan tentu juga akan mengurangi konflik sengketa pajak antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak
Publikasi Putusan
Terkait dengan menumpuknya perkara sengketa pajak yang ada saat ini di Pengadilan Pajak, yaitu sebesar 9.700-an kasus, bisa jadi disebabkan karena faktor di atas. Selain itu, perlu dicari jawaban, mengapa kasus sengketa pajak yang masuk ke Pengadilan Pajak mencapai angka sebesar tersebut? Pertanyaan lain, mengapa pula sebagian besar sengketa pajak pada tingkat keberatan di Direktorat Jenderal Pajak ditolak, tetapi ketika diputuskan di tingkat banding sebagian besar diterima oleh Pengadilan Pajak.
Untuk mendapatkan jawaban yang terbaik dari pertanyaan tersebut adalah dengan cara membuka putusan pengadilan pajak kepada publik. Dengan demikian, masyarakat dapat menilai fakta dan argumentasi hukum setiap pihak yang bersengketa. Di samping itu, dengan membuka putusan pengadilan pajak, masyarakat dapat mengawasi sengketa pajak tersebut sehingga akan menutup peluang oknum untuk “bermain.” Keterbukaan putusan pengadilan pajak ini telah dilakukan di banyak negara, seperti Belanda, Inggris, Jerman, dan Singapura.
Ke depan, dalam mengukur kinerja Direktorat Jenderal Pajak, hendaknya pencapaian target penerimaan pajak bukan menjadi ukuran utama. Dalam praktik, beban target penerimaan pajak menjadi beban psikologis bagi aparat pajak untuk dapat merealisasikannya. Ini diperparah lagi apabila target penerimaan pajak tersebut kurang realistis.
Oleh karena itu, kinerja Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya diukur dari kualitas pelayanan yang diberikan kepada wajib pajak. Pelayanan yang baik diyakini akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Kepatuhan wajib pajak yang tinggi dengan sendirinya akan meningkatkan penerimaan pajak.
Darussalam, Dosen Program Pascasarjana Ilmu Administrasi dan Kebijakan Perpajakan FISIP UI
Sumber : Kompas, Senin, 5 April 2010