Oleh: Anton Sanjoyo
Hari Selasa lalu, selusinan polisi China mendobrak sebuah vila milik Nan Yong, mantan Ketua Umum Chinese Football Association atau PSSI-nya China yang ditahan akibat skandal korupsi dan suap. Di vila mewah itu, polisi menemukan lebih dari 100 jenis benda berharga, termasuk berlian, jam tangan mewah, dan emas lantakan. Barang-barang hasil suap pada Nan selama menjabat ketua CFA itu bisa menambah hukumannya lebih dari 10 tahun.
Nan, dan dua sekondannya paling setia yang juga anggota komite eksekutif di Chinese Football Association (CFA), ditahan sejak Januari 2010 terkait skandal suap dan pengaturan hasil pertandingan. Meskipun sering digoyang kasus suap sepak bola, skandal Nan kali ini sangat mengguncang sepak bola China karena secara brutal melibatkan pejabat-pejabat tinggi CFA.
Sebagai kader Partai Komunis yang berkuasa, Nan memang punya akses yang sangat bagus pada CFA, federasi sepak bola yang juga banyak dihuni oleh kader Partai Komunis. Nan mulai aktif menjadi pengurus CFA tahun 1999. Sejalan dengan kariernya yang melesat di partai sebagai sekretaris Partai Komunis pada 2005, Nan menapak mulus ke jenjang ketua umum CFA pada Januari 2009.
Menurut harian Shanghai Oriental Sports, Nan diduga menerima suap dari wasit dan pengurus klub sejak aktif di CFA pada 1999. Kedudukannya yang sangat strategis di partai, ditambah jabatannya sebagai ketua umum CFA—meski hanya setahun —sanggup melipatgandakan kekayaannya hingga ratusan kali. Mencium gelagat tak beres dari kekayaan Nan yang sangat mencolok mata, polisi yang sudah lama bertekad memberantas segala bentuk korupsi lalu menciduk Nan dan sejumlah pelaku sepak bola lain.
Judi, suap, dan pengaturan hasil pertandingan memang bukan monopoli China. Malaysia pada awal 1990-an pernah diguncang skandal suap sepak bola. Namun, respons FAM—PSSI-nya Malaysia— sangat gemilang. Lebih dari 100 orang, mencakup pemain, wasit, manajer klub, dan pejabat FAM sendiri, diseret ke meja hijau. Sejak itu, sepak bola Malaysia kembali ke titik nol. Namun, FAM bertekad membangun kembali sepak bola Malaysia dengan manusia-manusia yang jujur, dan mereka melakukannya dengan serius. Setelah satu dasawarsa dengan generasi baru yang relatif jujur, sepak bola Malaysia kembali bangkit.
Indonesia setali tiga uang. Judi, suap dan pengaturan hasil barangkali usianya setua sepak bola itu sendiri, terutama saat kita masuk era profesional ketika liga sepak bola utama (Galatama) dibentuk pada 1979. Era Galatama memang menjadi tonggak pembangunan sepak bola di negeri ini, sekaligus juga “landmark” bagi maraknya judi dan suap. Klub-klub yang termasuk pendiri Galatama, seperti Warna Agung, Niac Mitra, atau Pardedetex, kemudian gulung tikar karena pemiliknya tak tahan lagi pada hantu suap yang merusak mental dan moral pemainnya.
Benny Mulyono, pemilik Warna Agung, pernah bertutur tentang pembubaran klubnya. Dengan suara parau dan mata berkaca-kaca, industriawan cat itu mengatakan, sejak Warna Agung ikut Galatama, dia sebenarnya tahu pemainnya sudah dikangkangi bandar judi dan penyuap. Namun, karena cintanya pada sepak bola, Benny coba bertahan dan tetap mengucurkan uang untuk klub kecintaannya itu. “Musim pertama miliaran uang saya dicuri penjudi dan penyuap, saya merem (pejam mata) saja. Musim kedua saya masih merem. Lama-lama saya enggak rela juga uang saya terus dicuri. Saya bubarkan Warna Agung,” ujar Benny.
Tahun 1994, kompetisi Galatama dan Perserikatan dilebur menjadi Liga Indonesia tanpa ada respons yang cukup dari PSSI untuk memberantas judi dan suap. Seperti api dalam sekam, Liga Indonesia pun sebenarnya sudah terjangkit penyakit suap kronis. Namun, baru setelah Endang Sobarna “bernyanyi” pada Raparnas PSSI, Februari 1998, masalah suap ditangani serius. Manajer Persikab Kabupaten Bandung itu mengungkap upaya sejumlah wasit mengatur hasil pertandingan. Ketua Umum PSSI Azwar Anas kontan membentuk tim pencari fakta. PSSI lantas menghukum Wakil Ketua Komisi Wasit Jafar Umar seumur hidup. Puluhan wasit juga diberi sanksi keras dan dipecat.
Meski PSSI bertindak keras, kasus ini tak pernah sampai ke ranah hukum. Tangan-tangan kekuasaan di lingkaran dalam PSSI tampaknya berperan mencegah kasus ini ditangani polisi secara tuntas. Walhasil, suap terus merajalela di lingkungan sepak bola Indonesia sampai sekarang.
Baru-baru ini, Ketua Umum Persebaya Surabaya Saleh Ismail Mukadar secara terang-terangan dalam sebuah siaran langsung di Metro TV mengatakan, sepak bola di lingkungan PSSI, termasuk Liga Super Indonesia, sarat dengan suap dan pengaturan hasil. Nyaris semua manajer dan wasit pernah melakukan suap dan disuap. “Saya ibaratkan PSSI itu sebagai kolam yang kotor,” ujar Saleh.
Tidak seperti Endang Sobarna yang langsung diinterogasi tim pencari fakta, Saleh Mukadar dan informasinya yang sangat berharga untuk membongkar lagi kasus suap “digratiskan” saja oleh PSSI. Ketua Umum PSSI Nurdin Halid—juga di Metro TV—sempat berdebat dengan pengamat M Kusnaeni dan Hengky Widodo, Manajer Persipro Probolinggo, tentang maraknya suap-menyuap di lingkungan PSSI. Nurdin Halid mengelak tudingan itu dengan mengatakan, “Itu hanya asumsi.”
Padahal, dalam debat tentang ada tidaknya suap di PSSI, Hengky dengan tegas menyebut nama Haruna Sumitro, Ketua Pengprov Jatim. Saleh Mukadar pun terang-terangan soal ini. Aneh bin ajaibnya, Nurdin dan para sekondannya seperti tak punya niat mengungkap masalah ini.
Di tengah ambruknya prestasi sepak bola dalam tujuh tahun kepengurusan Nurdin, respons terhadap masalah suap di lingkungan PSSI semakin membuat keruh wajah organisasi itu.
Anton Sanjoyo, Wartawan Olah Raga
Sumber : Kompas, Kamis, 25 Maret 2010