Oleh: Febri Diansyah
HARI gini tidak bayar pajak! “Apa kata dunia?” Slogan resmi imbauan membayar pajak ini mungkin akan dibaca secara sinis pascakasus dugaan mafia pajak terungkap.
Seorang pegawai biasa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak diduga memiliki rekening mencurigakan hingga Rp 25 miliar, tinggal di rumah mentereng, gonta-ganti mobil mewah, dan bahkan “kabur” ke luar negeri.
Masih di Ditjen Pajak, beberapa waktu sebelumnya, mantan pejabat eselon I institusi ini juga tercatat punya kekayaan luar biasa. Sekitar 97,6 persen kekayaannya ditengarai berasal dari hibah. Satu-satunya kemiripan yang bisa diamati publik adalah kepemilikan kekayaan yang rasa-rasanya tidak masuk akal dengan penghasilan sebagai pegawai ataupun pejabat publik di Ditjen Pajak.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengklasifikasi kekayaan tersebut berdasarkan tahun dan jabatan pada saat hibah diterima. Muncul data yang menakjubkan. Hibah tertinggi diperoleh ketika menjabat sebagai Pemeriksa Pajak (hampir Rp 15,2 miliar) dan Kepala Seksi Keberatan Kantor Pajak (Rp 8,69 miliar). Apakah semua pejabat dan pegawai institusi ini memiliki kekayaan luar biasa?
Memang tidak fair jika kontroversi beberapa orang di Ditjen Pajak digeneralisasi. Akan tetapi, akan lebih melukai rasa keadilan publik jika tidak dilakukan reformasi yang lebih konkret di Ditjen Pajak. Terutama karena lembaga ini merupakan fondasi penting pembiayaan penyelenggaraan negara dan pelayanan masyarakat.
Terapi Kejut
Reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan (dulu: Departemen Keuangan) yang hanya ditekankan pada “kenaikan penghasilan” atau remunerasi ternyata gagal jika tidak diikuti dengan pengawasan, penjatuhan sanksi yang berat, dan penegakan hukum. Karena pascareformasi birokrasi dicanangkan, potret buram penyimpangan bukan hanya terjadi kali ini. Sebelumnya, di Ditjen Bea dan Cukai, bahkan KPK menemukan langsung praktik korupsi dan pungutan liar.
Dua catatan ini setidaknya semakin meyakinkan kita bahwa reformasi dengan simplifikasi remunerasi hanyalah menghasilkan imajinasi perbaikan. Karena pada kenyataannya, praktik penyimpangan dan korupsi tetap terjadi. Di Minangkabau, istilah yang tepat untuk menggambarkan realitas ini adalah adagium “rancak di labuah”. Sesuatu yang terlihat baik dan elok dari luar, tetapi meruyak dan busuk di dalam. Karena itulah, kita butuh sesuatu yang lebih konkret. Apa?
Konvensi internasional mengenal norma memperkaya diri secara tidak sah. Pasal 20, UN Convention Against Corruption, 2003 (UNCAC), menyebutkan, “illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.” Konvensi PBB yang sudah diratifikasi Indonesia tahun 2006 ini mewajibkan negara pihak untuk mengatur illicit enrichment sebagai tindak pidana. Karena peningkatan kekayaan yang tidak masuk akal jika dibandingkan dengan penghasilan yang sah biasanya diperoleh dari penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum.
Apakah norma ini ada di hukum positif Indonesia? Belum. Karena undang-undang baru mengatur sebatas kewajiban pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), itu pun masih terbatas pada pejabat tertentu dan cenderung terjebak pada sekadar kegiatan mengelola arsip atau dokumentasi. Tidak masuk lebih dalam pada kemungkinan memidanakan pegawai atau pejabat publik yang memperoleh kekayaan tak masuk akal.
Di titik inilah perang terhadap mafioso, baik itu di Ditjen Pajak ataupun lembaga penegak hukum, haruslah dimulai dari pintu illicit enrichment. Tidak cukup hanya Dirjen Pajak, Menteri Keuangan, Kapolri, Jaksa Agung, Satgas Mafia Hukum atau bahkan KPK yang memperbaikinya. Karena yang dibutuhkan adalah sebuah regulasi “luar biasa” dan terapi kejut yang hanya bisa diterbitkan oleh Presiden.
Akan tetapi, kira-kira, berkomitmenkah Presiden menerbitkan aturan yang akan menjadi dasar hukum audit kekayaan pejabat publik di Ditjen Pajak dan penegak hukum itu? Belum tentu.
Jika Presiden sadar bahwa pemberantasan mafioso ini adalah tanggung jawabnya sebagai kepala negara, terbitkanlah sebuah dasar hukum yang setidaknya mengatur tiga hal. Pertama, audit kekayaan pejabat dan mengadopsi klausul Pasal 20 UNCAC (illicit enrichment) sebagai tindak pidana; kedua, membuka kemungkinan norma pembuktian terbalik; dan, ketiga, memberi kewenangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit Ditjen Pajak.
Khusus poin ketiga, kita perlu membaca ulang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VI/2008 dengan pokok perkara kewenangan BPK memeriksa informasi pajak dan harta benda wajib pajak. Saat itu MK memutuskan “tidak diterima” karena alasan legal standing pemohon. Akan tetapi, secara substansial, MK membuka kemungkinan agar BPK bisa masuk pada data-data wajib pajak. Sebagai bagian upaya memerangi mafia pajak, sepertinya penegasan kewenangan BPK tersebut adalah kebutuhan riil. Hal ini sangat penting untuk mencegah kemungkinan manipulasi laporan pajak, baik sebagai kejahatan tunggal ataupun melibatkan kerja sama wajib pajak dengan “konsultan siluman” dari instansi negara. Pada akhirnya, potensi pendapatan negara berkurang drastis dan hanya dinikmati oleh mafioso pajak tanpa takut tersentuh hukum.
Dalam jangka panjang, jika masalah ini tidak dibenahi, bukan tidak mungkin pandangan sinis masyarakat berubah menjadi anarkis, seperti gerakan menolak bayar pajak. Beberapa akun facebook telah memulainya, dengan membalik slogan Ditjen Pajak menjadi, “Hari gini bayar pajak? Apa Kata Dunia?”
Febri Diansyah, Koordinator Divisi Hukum danMonitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch
Sumber : Kompas, Senin, 29 Maret 2010