Oleh: Syaefudin Simon
Teman saya, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak Golongan III, lulusan STAN, bercerita tentang nasihat bosnya.
“Saya tahu, Anda suatu ketika akan mendapat bingkisan dari wajib pajak,” kata sang bos kepada anak buahnya itu. “Agar Anda selamat, maka ada enam cara yang harus Anda lakukan,” ujarnya. Pertama, Anda jangan sekali-kali mengambil sendiri bingkisan itu. Suruhlah kurir atau pembantu untuk mengambilnya. Kedua, jangan sekali-kali menyimpan bingkisan itu dalam rekening pribadi Anda. Ketiga, uang bingkisan itu jangan untuk membeli sesuatu yang mudah dilacak, seperti properti dan mobil. Kalaupun mau beli properti, atas namakan orang lain. Keempat, jangan pakai telepon untuk transaksi nilai bingkisan. Kelima, jangan tulis apa pun sebagai bukti terima bingkisan. Keenam, bagi rata secara adil bingkisan itu kepada orang-orang yang ikut andil dalam tugas Anda. Jika enam poin itu Anda laksanakan, niscaya aman!
Saya sempat tercengang mendengar cerita sang teman itu. Betapa cerdiknya para pejabat dan pegawai pajak dalam menyembunyikan uang bingkisan itu. Gayus Tambunan, pegawai pajak yang mendapat “bingkisan” (baca: menggelapkan pajak PT Megah Jaya Citra Garmindo Rp 24,6 miliar) itu, tampaknya kurang mencermati nasihat tersebut. Gayus ketahuan karena melanggar poin kedua, ketiga, dan keenam. Laporan Susno Duadji, perihal makelar kasus di Kepolisian RI dan tingkah laku Gayus, sangat mungkin diperoleh Susno dari bawahannya (Polri) yang tidak kebagian jatah bingkisan; atau karyawan pajak kolega Gayus yang jatah bingkisannya kurang; atau pihak-pihak terkait (jaksa dan hakim) yang tidak mendapat jatah “bingkisan” secara adil. Entahlah!
Yang jelas, korupsi di Indonesia sudah demikian tertata rapi dan tersistem, sehingga sulit dilacak. Korupsi yang mengikuti sistem dan tata kelola birokrasi niscaya tidak akan terlacak. Sulit membedakan mana mafia dan mana birokrasi. Apalagi di Ditjen Pajak dan Bea-Cukai. Di kedua lembaga ini, sudah jadi pengetahuan umum, korupsi sudah merajalela dan berurat berakar. Faisal Basri, ekonom Universitas Indonesia, misalnya pernah berkata, jika korupsi diberantas di Ditjen Pajak dan Bea-Cukai, niscaya pemasukan negara dari kedua sektor itu bisa bertambah 100 persen. Sayangnya, korupsi di Ditjen Pajak dan Bea-Cukai sulit sekali terlacak. Jika pun ada masalah dalam perpajakan, masalahnya diselesaikan di dalam pengadilan pajak dengan “jaksa dan hakim” orang-orang dalam di Ditjen Pajak.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 memang menentukan adanya pengadilan pajak di Ditjen Pajak untuk menyelesaikan sengketa perpajakan. Pengadilan pajak memang sangat berbeda dengan pengadilan umum. Namun, apakah asumsi itu cukup kuat menjadi alasan dibentuknya pengadilan pajak yang khusus? Sudah sejak lama banyak pihak mempersoalkan keberadaan pengadilan pajak di internal Ditjen Pajak ini. Tapi Ditjen Pajak selalu berkilah bahwa kasus pajak berbeda dengan kasus umum yang ditangani pengadilan negeri. Ada beberapa hak wajib pajak yang harus dilindungi, sehingga kalau masalahnya masuk ke pengadilan umum, bisa menimbulkan distorsi hak asasi manusia (HAM). Itulah alasannya, kenapa di Ditjen Pajak perlu ada pengadilan internal. Meski demikian, kalau pengadilan internal itu tidak bisa menyelesaikan masalah, kasusnya bisa dimasukkan dalam pengadilan umum.
Yang jadi soal, citra dan gelagat pengadilan pajak tak beda jauh dengan pengadilan umum. Sebagaimana opini masyarakat kepada pengadilan umum, masyarakat pun telanjur tidak percaya kepada pengadilan pajak. Publik menganggap pengadilan pajak tak lebih dari sarang “manipulasi dan korupsi” dari kedua belah pihak (wajib pajak dan pemungut pajak) untuk menegosiasikan jumlah pajak yang harus dibayar. Celakanya, kasus Gayus membenarkan opini publik itu. Padahal kasus Gayus dianggap puncak gunung es di pengadilan pajak, yang tiap tahunnya menangani 5.000-an lebih sengketa pajak.
Di pengadilan umum, kalau masalahnya menyangkut pajak yang nilainya besar, hakim dan jaksa pun tak mau ketinggalan dibanding “koleganya” di pengadilan pajak. Mereka pun ramai-ramai mencari “jatah bingkisan”. Hukum pun terabaikan demi bingkisan itu. Inilah yang terjadi di Pengadilan Negeri Tangerang. Lalu Gayus pun bebas. Tuduhan penggelapan pajak, korupsi, dan pencucian uang hilang begitu saja.
Para pengguna facebook banyak yang bertanya, kenapa Gayus yang hanya golongan III A bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Seorang pengguna facebook, yang bekerja sebagai pegawai negeri berkomentar, “Sampai pensiun pun, saya tidak bermimpi punya uang Rp 24,6 miliar.” Benar apa kata para pengguna facebook itu. Tapi pegawai negeri di Ditjen Pajak mempunyai uang sebanyak Rp 24,6 miliar seperti Gayus sangatlah mudah. Jika Gayus yang golongan III A saja bisa mempunyai uang sebanyak itu, bagaimana golongan IV A dan pejabat eselon I? Wah, sulit dibayangkan.
Sebelum lari ke Singapura, ketika ditemui Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Gayus menyatakan bahwa apa yang dilakukannya tidak sendirian. Yang terlibat banyak, mulai bawahannya hingga atasannya. Uangnya dibagi-bagi ke orang-orang yang ikut andil. Permainan seperti itu, kata Gayus yang disampaikan kepada Mas Achmad Santosa dari Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, sudah biasa terjadi di Ditjen Pajak. Buktinya? Yang meminta Gayus dibebaskan juga koleganya sendiri.
Alasan Hibah
Gayus memang sial. Sebelum uang Rp 24,6 miliar itu dinikmati dengan aman sampai pensiun, kasus korupsinya terbongkar. Seandainya Gayus aman dan kariernya mulus sampai menjadi direktur jenderal di Ditjen Pajak, niscaya Gayus punya jawaban “ampuh” kalau ditanya kenapa hartanya sebanyak itu. Jawaban Gayus--seandainya terpilih jadi pejabat negara lain (anggota DPR, Ketua BPK, atau menteri), cukup meniru para pendahulunya di Ditjen Pajak: harta saya berasal dari hibah! *
Syaefudin Simon, alumnus Program Magister Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta
Sumber : Koran Tempo, Selasa, 30 Maret 2010