Oleh: Dr Andi Irawan
BAGAIMANA mungkin pegawai negeri sipil golongan rendah bisa memiliki kekayaan puluhan miliar rupiah hanya dalam waktu 5 tahun? Mungkin ini adalah pertanyaan sentral dalam diskusi hangat masyarakat hari-hari ini. Gayus adalah seorang pegawai Pajak golongan III-A dengan masa kerja 5 tahun yang memiliki kekayaan yang sulit dipercaya oleh siapa pun. Kekayaan laki-laki muda berusia 30 tahun ini bernilai puluhan miliar rupiah, yang diduga diperoleh dari profesinya sebagai makelar kasus di pengadilan Pajak.
Pertanyaan yang menarik untuk kita ajukan, mengapa fenomena ini bisa terjadi? Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya saya mulai terlebih dulu dengan menjelaskan perilaku ekonomi manusia yang tergolong sebagai masyarakat leisure class. Adalah Thorstein Veblein (1857-1929), seorang founding father ilmu ekonomi kelembagaan, yang mengenalkan dan mendeskripsikan pertama kali perilaku kelompok manusia tersebut. Leisure class adalah kelompok masyarakat yang perilaku kehidupannya sangat berorientasi pada leisure (kenyamanan, bersenang-senang, prestise, dan status sosial).
Tanda yang paling tampak dari kelompok ini adalah pola konsumsi yang sangat "wah" dan mencolok. Kelompok ini mengkonsumsi bukan semata-mata karena nilai intrinsik dan fungsi komoditas yang dikonsumsinya, tapi, lebih dari itu, karena prestise, status, dan derajat sosial yang diberikan oleh komoditas yang dikonsumsi tersebut. Maka tujuan utama konsumsi komoditas lebih karena ingin menempatkan diri pada posisi sosial yang paling tinggi.
Leisure class tentulah kelompok orang kaya atau superkaya. Itulah yang menyebabkan mereka bisa dengan mudah mengeluarkan uang yang sangat besar untuk konsumsi dengan tujuan kepentingan bersenang-senang, prestise, dan status sosial.
Di samping itu, ada kelompok manusia lain yang dikategorikan Veblein sebagai kelas pekerja. Perilaku manusia dalam kelas ini tentulah tidak sama dengan perilaku para leisure class. Konsumsi pada kelompok ini bertujuan mendapatkan utilitas yang setinggi-tingginya dari pilihan-pilihan yang ada, tapi pilihan-pilihan itu dibatasi oleh pendapatan sang pekerja. Mereka hampir dapat dikatakan tidak punya kebebasan pilihan untuk bisa melakukan konsumsi yang mencolok demi kepentingan bersenang-senang, prestise, dan status sosial.
Semua kelompok pekerja yang menggeluti berbagai bidang kehidupan ekonomi masuk dalam kelas pekerja, termasuk sektor publik, seperti PNS atau birokrat di mana Gayus menekuni profesinya. Berdasarkan karakter pekerjaannya dan pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut, seorang yang masuk kelas pekerja tidak mungkin bisa berperilaku seperti orang yang masuk dalam leisure class.
Tetapi daya tarik perilaku manusia di leisure class akan menimbulkan hasrat dari orang yang ada di kelas pekerja untuk mengikuti gaya hidup yang sedemikian. Sebab, kembali merujuk pada Veblein, kepuasan konsumsi manusia selalu merujuk pada apa yang dikonsumsi orang lain. Ketika ada orang lain yang lebih baik konsumsinya, ia merasa tidak mendapatkan kepuasan dari apa yang sedang ia konsumsi, dan berusaha agar konsumsinya menyamai, bahkan melebihi, konsumsi orang yang ia jadikan pembanding.
Ketika godaan untuk masuk ke leisure class sangat tinggi, seorang yang berstatus kelas pekerja akan mencoba melakukan tindakan short-cut untuk mencari aktivitas ekonomi dengan penghasilan tertinggi. Fenomena inilah sesungguhnya yang saya duga terjadi pada Gayus. Seorang Gayus yang ada dalam kelas pekerja mencari jalan singkat untuk bisa menikmati kehidupan leisure class. Yang perlu kita sadari, bahwa gejala-gejala mencari solusi short-cut dan miopik tersebut bisa terjadi pada setiap orang di masyarakat pekerja kita. Fenomena ini bisa kita namakan sebagai Gayus syndrome.
Pilihan-pilihan pengambilan keputusan yang miopik dan short-cut agar bisa menikmati hidup ala leisure class mengharuskan seseorang berani menjadi petualang. Pekerjaan yang dikejar oleh seorang petualang adalah pekerjaan yang bisa mendatangkan kekayaan berlimpah dalam jangka waktu singkat. Maka ia bisa menjadi petualang di sektor finansial sebagai spekulator pasar modal dan saham, petualang politik sebagai broker-broker jabatan politik, petualang hukum sebagai aktor mafia keadilan-hukum atau markus, atau petualang birokrasi sebagai birokrat-birokrat pemburu rente melalui pasar gelap kebijakan birokrasi.
Daya tarik para petualang ini akan semakin tinggi ketika risiko yang mereka genggam dari pekerjaan sebagai petualang tersebut menjadi semakin kecil. Risiko ini semakin rendah ketika kondisi sosial-ekonomi kelembagaan yang ada mendukung perilaku para petualang ini, seperti government failure terjadi dalam pasar, moral hazard menjadi suatu hal yang dimaklumi dalam pasar politik dan pengambilan kebijakan publik, serta minimnya efek cegah karena ketiadaan law enforcement yang memadai.
Mereduksi menyebarnya penularan Gayus syndrome ini dalam masyarakat setidaknya identik dengan dua hal: pertama, solusi jangka pendek yang meningkatkan biaya atau risiko dari perilaku petualang ini, yaitu berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan hukuman yang berat untuk memberikan pelajaran bahwa perilaku petualang tidaklah menguntungkan. Kedua, dalam jangka panjang, kita perlu menanamkan kepada publik pentingnya paradigma penghargaan terhadap proses dalam mendapatkan kekayaan, bukan semata-mata pada hasilnya. Bagaimana agar paradigma ini bisa tertanam dalam perilaku mayoritas masyarakat adalah tugas peradaban kita semua, khususnya para orang tua, pendidik, rohaniwan-ulama, tokoh masyarakat, dan pemerintah melalui pendidikan, keteladanan, penegakan hokum, disiplin, dan lain-lain.
Dr Andi Irawan, peminat kajian masalah ekonomi-politik
Sumber : Koran Tempo, Sabtu, 3 April 2010