Jakarta - Meski sempat menjadi kiblat kebudayaan, dalam bidang tari, satra, teater, seni rupa, dan musik, pada era 1960-1970-an, Kota Medan, Sumatera Utara, belum memiliki gedung kesenian.
"Cukup memprihantinkan melihat nasib kesenian di kota Medan. Menyedihkan memang bila seniman di kota Medan tidak mempunyai 'rumah' tepat mereka berkarya. Bagaimana bisa melahirkan karya berkualitas jika tidak memiliki gedung kesenian? Itu mustahil!" kata Ketua Lembaga Kajian Kebudayaan Indonesia (LKKI), Rizal Siregar, di Jakarta, Jumat (25/1).
Rizal berharap, Pemerintah Kota Medan dan Pemerinta Provinsi Sumatera Utara segera menyiapkan dan menyediakan gedung kesenian di kota yang melahirkan banyak karya sastra Melayu itu. Saat ini Medan hanya memiliki satu Gedung Pertunjukan, yakni Taman Budaya Sumatera Utara, di Jalan Perintis Kemerdekaan.
"Itu pun sudah tidak terurus dan sudah tidak layak untuk dikatakan sebagai sebuah Gedung Pertujukan. Baik Teater, Tari, Musik maupun Pameran Kebudayan lainnya, sebab bangunannya sudah seperti gudang," ujarnya.
Bahkan, di Taman Budaya Sumatara Utara, kursi penontonnya seperti kursi di bus metro mini yang terbuat dari plastik keras. Lantas bagaimana mungkin penonton bisa betah menikmati pertunjukan teater berjam-jam di bangku palstik yang sakit bila lama diduduki?
Menurut Rizal, dalam sejarah kesenian Indonesia, kota Medan khususnya atau Sumatera Utara pada umumnya, pernah mencatat posisi penting dan strategis. Sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia dan kota terbesar di luar Jawa, Medan merupakan kota tempat banyak seniman terkemuka Indonesia ditempa dan dilahirkan sehingga perannya dalam khasanah kesenian negeri ini senantiasa diperhitungkan.
"Sejarah telah mencatatnya. Dalam dua hingga tiga dekade terakhir, posisi yang penting dan strategis itu secara perlahan telah memudar. Bahkan, sementara kota-kota lain yang jauh lebih kecil dan sebelumnya tak pernah diperhitungkan dalam percaturan kehidupan kesenian Indonesia, memperlihatkan geliat kebangkitan yang luar biasa. Kota Medan tidak lagi menjadi kota budaya," bebernya.
Rizal mengatakan, LKKI mengajak masyarat dan seniman di Kota Medan khususnya, dan umumnya di Sumatara Utara untuk tidak memilih para calon Gubernur Sumatera Utara yang tidak punya komitmen dengan kebudayan dan kesenian di Sumatara Utara.
"LKKI menghimbau kepada para seniman dan masyarakat untuk tidak memilih Cagub yang tidak peduli dan tidak ada komitmennya kepada kesenian di Sumatara Utara, terutama di kota Medan. Sebab, tidak akan sebuah kota atau provinsi berbudaya jika kesenian dan kebudayaan lokal di terlantarkan, seperti ilalang di padang," katanya.
Meski begitu, Rizal tetap berharap kota Medan bisa mendapatkan gedung kesenian seperti gedung kesenian di Jalan Bali, Medan, pada 1960-an.
"LKKI banyak mendapatkan laporan dari seniman Medan yang meminta Pekot Medan dan Pemprov Sumatera Utara untuk mendirikan gedung kesenian standar. Para seniman Medan terus berjuang, tapi usaha mereka akan sia-sia jika Pemkot Medan dan Pemda Sumut 'menutup kupingnya' rapat-rapat," pungkasnya.
Sumber: http://www.gatra.com
Foto: http://www.medantalk.com