Oleh: Restu Anna Iska Putri
SUSNO Duadji membeberkan mafia kasus di tubuh Polri, khususnya yang terkait kasus penggelapan pajak Rp 24,6 miliar yang melibatkan perwira tinggi Polri berbintang satu. Tampaknya, apa yang dipaparkan Susno bukan sekadar gosip. Ada fakta yang mulai terungkap ke publik dengan disebutnya nama Gayus Tambunan. Mabes Polri merencanakan memeriksa Gayus terkait aliran dana Rp 24,6 miliar. Bahkan, Kapolri akan membentuk tim independen untuk menyidik ulang mafia kasus pajak yang dilakukan Gayus Tambunan.
Di pihak lain, Menkeu Sri Mulyani mengatakan, dugaan markus (makelar kasus) yang menyeret nama pegawai kantor konsultan pajak Gayus Tambunan membuat pihaknya makin intensif mengawasi secara internal (Jawa Pos 25/03).
Sayang, Gayus sudah kabur ke Singapura setelah kasusnya menjadi sorotan publik. Gayus adalah orang kaya baru setelah melakukan gara kejahatan pajak. Sebagai pegawai golongan III, Gayus paling bergaji sekitar Rp 10 juta. Tapi, rumah mewahnya di kompleks Kelapa Gading, Jakarta Utara, berharga miliaran rupiah. Ketua MK Mahfud M.D. pun sampai geleng-geleng dalam sebuah talkshow di sebuah stasiun televisi.
White Colar Crime
Tulisan ini lebih membidik kejahatan pajak, yang jarang diungkap ke publik. Kejahatan itu masuk white colar crime. Memang, pada 2007, pernah heboh di media terkait penggelapan pajak yang dilakukan PT Asian Agri yang mencapai Rp 1,34 triliun.
Kebetulan, pada Februari 2010, Presiden SBY juga menginstruksikan pengusustan hingga tuntas kasus-kasus kejahatan pajak. Dan, saat ini, dengan munculnya nama Gayus itu, adalah momentum yang paling tepat untuk membeber dan menuntaskan segala bentuk kejahatan pajak.
Sebagai kejahatan kerah putih, kejahatan pajak umumnya melibatkan para birokrat pajak atau kaum berdasi dari korporasi yang menyebabkan keuangan negara dirugikan, sebagaimana diungkapkan pakar pajak dunia Jack Townsend.
Sejak zaman Romawi kuno para pemungut pajak atau cukai menjadi cibiran publik. Di negeri kita juga sudah menjadi rahasia umum, para pegawai pajak dicemburi publik dalam menjalankan pekerjaannya. Mereka seperti mendapat “cap” tega mengembat uang pajak.
Bahkan, para wajib pajak yang harus membayar pajak dalam jumlah besar sering menjadi sasaran para oknum pegawai pajak (baca penjahat pajak). Akibatnya, para wajib pajak tidak membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya, kewajiban pajak yang berjumlah sangat besar bisa diatur sedemikain rupa sehingga jumlahnya menjadi kecil. Wajib pajak pun selamat dari tuduhan menggelapkan pajak. Namun, negara dirugikan. Mengingat, jumlah pajak yang masuk ke khas negara berkurang. Sedangkan rekening oknum pegawai pajak bertambah. Maklum, dia sudah mendapat gaji dari pemerintah dan juga mendapat “gaji tidak resmi” dari para wajib pajak yang berhasil dirayu untuk berkolusi mengemplang pajak. Dalam konteks itu, wajib pajak juga sudah melakukan kejahatan pajak.
Umumnya, oknum pegawai pajak yang menjadi penjahat pajak tidak sendirian. Dia bersekongkol dengan berbagai pihak, termasuk polisi atau jaksa, seperti tampak dari cara kerja Gayus. Kejahatan pajak memang sering berantai dengan melibatkan banyak orang dan berlangsung sangat rapi. Tepat bila ada yang mengatakan bahwa di negeri kita juga ada mafia pajak.
Manipulasi SSP
Yang penting diperhatikan, para oknum pegawai pajak yang menjadi penjahat pajak tidak langsung mengambil uang dari pajak yang dibayarkan para wajib pajak. Jangan lupa, uang pembayaran pajak langsung disetor lewat bank atau kantor pos. Lewat tanda bukti pembayaran berupa surat setoran pajak (SSP) dilampirkan dalam SPT, surat pemberitahuan untuk dilaporkan di kantor pajak.
Jadi, petugas pajak hanya administrator. Kejahatan pajak terjadi ketika ada manipulasi pembayaran pajak dengan SSP palsu maupun dengan pelaporan SPT yang tidak benar. Kejahatan bisa terjadi karena ada persekongkolan antara wajib pajak (seperti pengusaha) dan pegawai pajak. Dalam hal itu, peran masyarakat untuk melakukan pengawasan sangat diperlukan.
Yang memprihatinkan, praktik kejahatan pajak rupanya sudah sangat lama berlangsung di negeri ini. Anehnya, banyak kasus terkait kejahatan pajak sering berakhir damai di pengadilan, sebagaimana nasib Gayus. Maklum, meski sudah ada gerakan reformasi sejak 1998, reformasi di sektor pajak nyaris tidak pernah dilakukan.
Karena itu, agaknya pemerintah jangan hanya membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, tapi juga mendesak dibentuk Satgas Mafia Kejahatan Pajak. Masyarakat juga bisa berperan dalam hal itu.
Pembentukan Satgas Mafia Kejahatan Pajak seperti dilakukan Jerman atau Italia penting untuk memulihkan kepercayaan publik yang kian tipis seiring terkuaknya kejahatan pajak yang dilakukan Gayus. Simak saja, kini muncul gerakan boikot bayar pajak untuk keadilan. Munculnya gerakan itu jelas merupakan bentuk ketidakpercayaan publik kepada para pegawai pajak.
Jika gerakan tersebut kian mendapat dukungan, tentu saja kampanye kesadaran membayar pajak yang digembar-gemborkan Dirjen Pajak menjadi mubazir. Padahal, pajak memang diperlukan oleh negara untuk membangun pelabuhan, jalan, jembatan, dan berbagai fasilitas umum yang lain. Sekitar 70 persen dari APBN atau APBD diambilkan dari pajak. Semua gaji PNS, termasuk pegawai pajak atau gaji TNI dan polisi, diambilkan dari APBN yang mayoritas berasal dari pajak.
Berdasar informasi, total pajak pada 2009 mencapai Rp 565,77 triliun atau 97,99 persen dari target yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2009. Pada 2010 ini, penerimaan pajak ditargetkan Rp 658,24 triliun.
Kita mengharapkan kejahatan pajak itu bisa segera dibabat habis. Bukan pemboikotan pajak, tapi dengan menegakkan hukum yang memang gampang direkayasa. (*)
Restu Anna Iska Putri, praktisi ekonomi keuangan, tinggal di Sidoarjo
Sumber : Jawa Pos, Sabtu, 27 Maret 2010