Gayus dan Problem Transparansi Publik

Oleh: Ahmad Nyarwi

CITRA Kementerian Keuangan dan pemerintah kembali tercoreng. Kali ini disebabkan oleh ulah sejumlah oknum yang ada di lingkaran Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Kementerian Keuangan. Gayus Tambunan, pegawai golongan III A Ditjen Pajak, memiliki dana di rekening perbankan hingga Rp 25 miliar dan aset yang nilainya juga miliaran rupiah.

Aksi patgulipat sebenarnya bukanlah barang baru di negeri ini. Modus ini sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun sejak republik ini berdiri. Dampak dari aksi patgulipat ini, aset ekonomi dan politik di negeri ini terus mengalami pembusukan. Pada level elite, aksi ini melahirkan politik konspirasi ekonomi dan politik di berbagai aset publik dan sumber-sumber kekuasaan. Pada level terendah, aksi ini mewujud dalam bentuk penyelewengan peran dan otoritas kewenangan serta fungsi dalam berbagai lembaga birokrasi di negeri ini.

Kasus Gayus tampaknya hanyalah salah satu retakan dari ratusan gunung es perilaku korup di negeri ini. Kasus-kasus yang lain, tidak tertutup kemungkinan, masih berserakan di berbagai lembaga birokrasi. Lagi-lagi, perang melawan konspirasi dan ketertutupan kelembagaan birokrasi terus menjadi persoalan terberat.

Rimba Raya Korupsi

Sebagai negara tropis, Indonesia tidak lagi menjadi sumber-sumber utama plasma nutfah dan keanekaragaman hayati. Aksi illegal logging yang berlangsung selama puluhan tahun menjadikan gundulnya hutan. Hutan di negeri ini kian hancur. Rimba raya tropis yang ratusan lalu sempat menjadi kebanggaan bumi Nusantara pun hanya menyisakan puing-puingnya.

Yang lebih memilukan, rimba raya hutan ini telah digantikan oleh rimba raya korupsi dan koruptor. Selama beberapa tahun pascareformasi hingga saat ini, Indonesia terus dinobatkan sebagai negara terkorup di Asia. Itu sebuah predikat yang sering kali dianggap aib dan cenderung diingkari oleh para elite di negeri ini. Namun, dalam kenyataannya selalu meledak dan terbukti di berbagai arena transaksi kekuasaan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) layaknya buldoser yang ada di tengah rimba raya korupsi. Tentu saja masih jauh dari seimbang antara tingkat potensi dan tindakan korupsi di ribuan lembaga birokrasi publik di pusat hingga di daerah, dengan daya jangkau yang dimiliki oleh KPK. Belum lagi, dalam kenyataannya di lapangan, sejumlah lembaga penegak hukum (seperti kejaksaan dan kepolisian) justru sering berbenturan dengan langkah KPK. Konflik cara pandang dan kepentingan dalam pemberantasan korupsi itu bahkan ikut menyebabkan Bibit-Chandra (pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah) menjadi korban kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Tak mampu melawan korupsi? Apa kata dunia? Kira-kira persoalan itulah yang ke depan masih menjadi persoalan kita. Selama beberapa tahun KPK memang terus memberantas korupsi di negeri ini. Tindakan KPK memang sering kali dianggap tebang pilih. Kendati demikian, apa yang dilakukan KPK merupakan langkah nyata dalam menghambat pertumbuhan rimba raya korupsi di negeri ini.

Skandal Bank Century terus melahirkan sejumlah kasus korupsi yang lain. Kasus terakhir, Ditjen Pajak yang merupakan salah satu mesin keuangan negara pun tergerus oleh tindakan korup yang diduga di dalamnya dilakukan oleh sejumlah oknum pejabat dan stafnya. Institusi kepolisian pun terkena imbasnya. Tak tanggung-tanggung, Kapolri sudah memerintahkan para perwira tinggi yang diduga terlibat untuk segera diperiksa.

Mengawal Transparansi

Pertanyaannya, sampai kapan kita akan menghadapi kasus-kasus skandal korupsi di berbagai lembaga birokrasi dan pemerintahan serta di lembaga penegakan hukum di Indonesia? Pada level penindakan dan pencegahan korupsi di Indonesia, keberadaan KPK memang sangat vital dan dapat kita andalkan.

Namun, ibarat pemadam kebakaran, adalah mustahil KPK mampu mencegah seluruh tindakan yang berpotensi korupsi di berbagai lembaga publik di negeri ini. Salah satu jalan masuk untuk mengurangi potensi korupsi di negeri ini adalah dengan mengawal transparansi dan keterbukaan terhadap informasi publik di berbagai lembaga birokrasi dan pemerintahan di negeri ini.

Di sini Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah dirumuskan berdasarkan pemikiran bahwa informasi adalah hak dasar semua warga negara. UU KIP ini juga sejalan dengan rumusan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

UU KIP memberikan kewajiban kepada setiap badan publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu. Pentingnya keterbukaan informasi publik karena besarnya potensi konspirasi dan skandal korupsi di berbagai badan publik dan institusi pemerintahan di negeri yang sangat besar serta memiliki spektrum yang sangat luas ini.

Untuk menghilangkan tindakan korupsi di negeri ini memang tidak mudah. Kendati demikian, dengan mengawal pelaksanaan UU KIP secara lebih maksimal, saya yakin karut-marut korupsi sistemik dan korupsi subversif yang dilakukan oleh para aktor politik dan para pejabat publik di negeri ini lebih dapat diminimalkan.

Ahmad Nyarwi, adalah pengamat politik dari Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol, UGM Yogyakarta

Sumber : Suara Karya, Selasa, 6 April 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts