NAMANYA nyaris berada di bawah bayang-bayang kebesaran nama kakaknya, Kartini. Padahal perjuangannya dalam meninggikan derajat perempuan dan menolong kaum lemah tak bisa dibilang sedikit. Salah satu penyebabnya, Kardinah tak seerat Kartini dalam bersahabat dengan Nyonya Abendanon atau Nyonya Ovink-Soer.
Lahir di Jepara pada 1 Maret 1881, Kardinah merupakan anak ke-7 Bupati Jepara RM Sosroningrat. Dia anak pertama dari selir (garwa ampil) bupati bernama M.A. Ngasirah.
Ayahnya selalu menularkan kepekaan sosial kepada anak-anaknya. “Setelah sudah agak besar, kami sering disuruh oleh rama (bapak) untuk ikut meninjau tempat-tempat penderitaan rakyat. Maksud rama supaya kami melihat sendiri dari dekat bencana-bencana yang menimpa rakyat itu dan mendapat kesan bagaimana susahnya hidup mereka yang melarat dan hina itu,” tulis Kardinah dalam suratnya tanggal 25 Maret 1964 kepada Sitisoemandari Soeroto, penulis Kartini Sebuah Biografi.
Selain memberikan pendidikan Formal seperti ELS (Europese Lagere School), ayahnya memanggilkan guru ke rumah. Bersama saudara-saudaranya, mereka membaca, belajar, dan berdiskusi. Mereka kemudian bercita-cita untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak perempuan.
Setelah menikah dengan Patih Soejitno, anak Bupati Tegal Ario Reksonegoro, pada 24 Januari 1902, Kardinah mulai mewujudkan cita-cita Het Klaverblad (daun semanggi) atau “Tiga Saudara” –julukan yang Nyonya Ovink-Soer, istri Asisten residen Jepara, berikan kepada Kartini, Rukmini, dan Kardinah.
“Kardinah yakin posisi sosialnya mewajibkannya untuk melakukan sesuatu bagi masyarakat –sebagai bentuk tanggung jawab itu, sebagaimana saudara perempuannya, Roekmini, dia berpikir bahwa tidak semestinya orang asing saja yang harus berbuat, meski jelas sekali mereka juga punya tanggung jawab– juga merefleksikan peran politik dalam komunitas politik Jawa secara umum,” tulis Joost Coté dalam Realizing the dream of R.A. Kartini: Her Sisters’ Letters from Colonial Java.
Kardinah menggunakan model pendidikan yang digariskan Kartini: ibu menjadi pusat kehidupan rumah tangga. “Tak ada yang lebih baik daripada pendidikan seorang ibu yang telah tercerdaskan,” tulis Ahmad Fatkhudin dalam skripsinya di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, “Kardinah Reksonegoro, Peranan dan Pemikirannya dalam Pengembangan Masyarakat Tegal Tahun 1908–1945”.
Kardinah tak puas terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang membatasi akses pendidikan kaum bumiputera. Hanya anak Bangsawan yang bisa mendapatkan pendidikan baik dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. “Berapa banyak bangsa kami, saya bertanya pada diri sendiri, yang mampu untuk belajar di sekolah-sekolah seperti itu?” tulis Kardinah dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon tanggal 15 Juli 1911. Lebih lanjut, “Apakah itu adil? Atau apakah yang seharusnya menjadi contoh bisa membantu masyarakat pribumi untuk maju?”
Banyak priyayi, termasuk bupati Pemalang, tertarik dengan model pendidikan yang Kardinah lakukan di rumahnya. Mereka menitipkan anak-anak mereka. Bersama suaminya, yang pada 8 Juli 1908 diangkat jadi bupati Tegal, Kardinah berjuang mendirikan sebuah sekolah. “Kini suami dan saya mempunyai rencana untuk mendirikan sebuah sekolah sendiri bagi anak-anak pejabat bawahan dari sumbangan-sumbangan kolektif,” tulis Kardinah kepada Abendanon dalam suratnya tanggal 15 Juli 1911, sebagaimana dimuat dalam Surat-surat Adik R.A. Kartini karya Frits G.P. Jaquet.
Untuk mewujudkannya, Kardinah mengumpulkan dana dari penjualan bukunya; dua jilid buku memasak dan dua jilid buku mengenai batik. Dia juga mendapat bantuan dana dari istri Asisten Residen Tegal HM de Stuers, istri kontrolir Tegal E. van den Bos, dan istri Patih Tegal Raden Ayu Soemodirdjo. Kardinah lalu mendirikan sekolah kepandaian putri Wismo Pranowo (WP) pada 1 Maret 1916. Biaya operasional ditanggung masyarakat yang mampu, selain dari hasil pasar amal dan sumbangan. Segala keperluan sekolah diberikan secara cuma-cuma. Tiap murid hanya dibebankan uang sekolah 50 sen.
Mata pelajaran di WP antara lain bahasa Belanda, dasar pendidikan kebangsaan dan kebudayaan Jawa, Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K), mengaji Alquran, membatik, dan pendidikan watak. Kardinah ikut mengajar. Begitu pula Ki Hajar Dewantoro. Meski menggunakan sistem pendidikan yang ditetapkan Kartini, WP bukan Sekolah Kartini karena biaya operasional tak ditanggung gubernemen.
Awalnya sekolah itu hanya menempati bekas gedung kantor kabupaten, dengan murid 150 orang. Tapi tahun 1924 sudah terdapat 200 murid dan enam ruang belajar. Banyak pihak tertarik dengan model pendidikan WP. Dewi Sartika, tokoh pendidikan Priangan, salah satunya. Bersama adiknya, Sari Pamerat, dia berkunjung ke Tegal untuk mempelajari sistem pendidikan WP. Mereka juga ikut mengajar selama empat bulan. Pemerintah akhirnya mengambil-alih sekolah itu dan mengubahnya jadi Kopschool (sekolah kejuruan bagi kaum perempuan) dan Onderbouwschool (sekolah rendah)– pada 24 Oktober 1924 dengan kompensasi f 16.000.
“Saya merasa ini sebagai tugas saya, tugas suci saya kepada saudari kami, yang dengannya kami pernah memimpikan mimpi itu, yang dengannya kami membangun cita-cita itu, dan menawarkan diri saya sekarang untuk tujuan yang kami selalu tuju, demi kebaikan kita semua,” tulis Kardinah dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon.
Bersama kakaknya, Sosro Kartono, Kardinah juga mendirikan sebuah perpustakaan yang diberi nama Panti Sastra. Dananya didapat secara swadaya.
Kardinah juga prihatin dengan kondisi kesehatan rakyat di Tegal, terutama ketika tahu murid-muridnya melahirkan tanpa dukungan tenaga dan fasilitas memadai. “Orang sakit kok ditidurkan di tikar, bagaimana itu?” ujar Kardinah tak puas. Dia mencurahkan perhatiannya pada dunia kesehatan, dengan membangun fasilitas kesehatan dan memperbaiki pengetahuan medis masyarakat yang kala itu lebih percaya pada klenik.
Pada 1927 Kardinah mendirikan Kardinah Ziekenhuis atau Rumah Sakit Kardinah. Dana dari kompensasi WP dan hasil penjualan buku-bukunya serta keuntungan penjualan kerajinan tangan buatan murid-murid WP. Residen Pekalongan Schilling termasuk orang yang mendukung niatnya dengan membantu pendanaan. Schilling pula yang minta rumah sakit itu dinamai Kardinah. Pemerintah pusat dan daerah ikut mensubsidi. Rumah Sakit Kardinah, “merupakan lambang pengabdian yang nyata dari Tiga Saudara kepada kemanusiaan, seperti yang mereka idam-idamkan bersama,” tulis Fatkhudin.
Tak lama kemudian Kardinah juga membangun sebuah rumah penampungan bagi orang-orang miskin di sekitar Kardinah Ziekenhuis.
Pemerintah Hindia Belanda mengapresiasi jasa-jasa Kardinah dengan menganugerahkan bintang Ridder van Oranje Nassau –pemerintah Indonesia sendiri pada 21 Desember 1969 menganugerahkan Lencana Kebaktian Sosial Republik Indonesia.
Tak lama setelah Indonesia merdeka, diikuti revolusi sosial di berbagai daerah, Kardinah dan keluarganya ditangkap Gerombolan Kutil. Kardinah dan keluarganya dianggap lambang feodalisme. Selain diancam akan dibunuh, mereka dipakaikan baju dari goni lalu diarak keliling kota. Sejak itu keberadaan Kardinah tak diketahui.
Menurut Anton Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah, setelah ditangkap dan diarak keliling kota, Arak-arakan berhenti di depan RS Kardinah. Mereka lalu dibawa dengan sebuah truk ke Talang dan ditahan di rumah Wedana Adiwerna selama seminggu. Para priyayi Pekalongan dan perwira Tentara Keamanan Rakyat, yang menganggap tindakan Adiwerna tak sesuai norma-norma budaya Jawa, menyelamatkan Kardinah pada 13 November 1945. Kardinah lalu dibawa ke Salatiga.
Namun menurut Kardinah kepada Sumiati Sardjoe, istri walikota Tegal Sardjoe, kisahnya lain. Waktu dirinya diarak keliling kota, arak-arakan berhenti di depan Rumah Sakit Kardinah. Dia lalu pura-pura sakit dan dirawat. Malamnya dia diselamatkan orang-orang yang simpatik. Mereka membawanya ke Salatiga.
Titik terang datang pada 1970. Sumiati, yang gigih mencari keberadaan Kardinah, mendapat informasi ketika menghadiri pertemuan Gabungan Organisasi Wanita di Semarang: Kardinah tinggal di Salatiga. Awalnya dia tak bisa menemuinya karena Kardinah trauma setiapkali mendengar kata Tegal. Tapi akhirnya, setahun kemudian, Kardinah berkunjung ke Tegal atas undangan Sumiati. “Kedatangannya di Tegal disambut Haru warga Tegal,” tulis Fatkhudin. Kardinah memanfaatkan kunjungannya itu untuk berziarah ke makam suaminya.
Tak lama berselang, setelah kunjungannya itu, pada 5 Juli 1971 Kardinah wafat. Dia dimakamkan di samping makam suaminya.
***
(Sumber: MF Mukthi, Majalah Historia)