Kuningan, Jabar - Budaya merupakan identitas sebuah bangsa. Sedangkan melestarikan dan memeliharanya menjadi tanggung jawab setiap generasi. Belakangan, budaya tradisional menjadi barang langka. Selain karena kurang lestari, menyaksikan acara yang sarat akan budaya hanya dapat ditemui apabila ada pagelaran khusus atau acara-acara tertentu saja.
Tetapi tidak dengan Kabupaten Kuningan di Jawa Barat. Budaya di sini masih dipelihara dengan baik. Bahkan tak hanya itu, masih ada rutinitas untuk menyelenggarakan kegiatan budaya tersebut. Warisan ini rupanya dijaga baik oleh masyarakat.
“Di Kuningan ada banyak budaya tradisi yang maish dilakukan hingga sekarang. Biasanya tradisi melambangkan perayaan suatu hal,” ungkap Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Kuningan, Teddy Suminar saat ditemui di Kuningan pekan lalu.
Teddy menjelaskan beberapa budaya di sana yang masih terus dilakukan. Yang pertama adalah Cingcowong. “Cingcowong merupakan acara ritual untuk meminta hujan. Ini sudah menjadi kepercayaan masyarakat. Adat istiadat kami di sini memang kuat,” tambahnya.
Dalam penjelasannya ada yang menarik pada tradisi satu ini. Cingcowong diperkirakan sudah ada sejak kurang lebih 632 tahun yang lalu. Saat itu masyarakat yang berada di Dusun Wage Desa Luragunglandeuh, Kecamatan Luragung mengalami kemarau panjang. Saat itu masyarakat sudah berupaya mencari solusi dimulai dari mencari mata air. Sayangnya hal tersebut masih terkendala, sehingga pada akhirnya masyarakat sepakat untuk memanjatkan doa bersama-sama.
Untuk mengumpulkan masyarakat dengan membunyikan ceneng yang dipukul berkali-kali. Pada saat berdoa, selama tiga hari tiga malam, mereka tidak makan, minum ataupun tidur. Ritual ini dipercaya berhasil dengan bantuan kekuatan goib. Mereka menggunakan boneka sebagai medianya.
Dalam perkembangannya, upacara Cingcowong dikembangkan menjadi pertunjukan seni yang berguna untuk melestarikan kebudayaan lokal. “Disparbud Kuningan menjadikan tradisi ini menjadi suatu tarian agar seni ini tidak punah,” kata Teddy lagi.
Tradisi kedua yang juga masih sering terdengan ialah Saptonan, yaitu tradisi yang sengaja diciptakan untuk para Lurah (Kepala Desa). “Tradisi ini melambangkan heroisme, ketangkasan berkuda dan juga panah,” kata Teddy. Tetapi dalam perkembangannya, siapa pun dapat mengikuti tradisi ini. Pada waktu tertentu, tradisi ini bahkan dijadikan menjadi ajang lomba.
Tradisi ketiga, ialah Kawin Cai. Cai dalam bahasa Sunda berarti air. Yaitu tradisi meminta hujan. Tujuannya mirip dengan Cingcowong, hanya saja pada tradisi ini selain berdoa juga dilakukan pencampuran air yang dilakukan oleh sesepuh desa. Pencampuran air dilakukan dari dua mata air yang telah didoakan kemudian dibawa dan diarak, lalu dialirkan kembali di titik mata air Cikandaga.
Sumber: http://www.antaranews.com