Yogyakarta - Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra menilai Sabda Raja mengenai penggantian gelar Sultan Kraton Yogyakarta bisa berdampak luas. Menurut Heddy, penghapusan istilah "Sayidin Panatagama" dan "Khalifatullah" melenyapkan dasar konsep manunggaling kawulo gusti. "Ini menghilangkan sebagian keistimewaan Yogyakarta," kata dia saat dihubungi Tempo, Senin, 4 Mei 2015.
Dia menjelaskan konsep Manunggaling Kawula Gusti, atau menyatunya raja dengan rakyat, selama ini muncul karena figur Sultan merupakan wakil tuhan yang menjadi pemimpin di bumi. Konsep ini memunculkan keterikatan spiritual yang menyatukan antara rakyat dengan Raja. "Kalau hilang, kewibawaan raja hilang, dan Sultan sendiri yang mencopotnya," kata Heddy.
Karena itu, dia mengimbuhkan, perubahan gelar Sultan itu bisa memunculkan perubahan drastis di tradisi ageng atau bangunan budaya di Keraton Yogyakarta. Banyak ritual dan simbol kebudayaan keraton bisa ikut berubah. "Hubungan Sultan dengan Masjid Agung Kauman akan tidak memiliki landasan lagi," kata Heddy mencontohkan.
Makanya, Heddy berpendapat wacana penggantian gelar ini berpeluang memunculkan friksi idelogis dan nilai di internal Keraton Yogyakarta. Dia mengaku tidak bisa memprediksi bentuk friksi paling nyata akibat perdebatan soal nilai tradisi ini. Tapi, dia beranggapan, penggantian nama gelar Sultan akan menjadi fase perubahan penting dalam sejarah Kraton Yogyakarta.
Heddy menduga Sultan sedang mendorong adanya perubahan baru di tradisi Kraton dengan meninggalkan sebagian nilai-nilai tradisi Mataram Islam. Namun, menurut Heddy, implikasi dari perubahan ini sungguh rumit mengingat menyangkut perubahan bangunan keseluruhan budaya Kraton Yogyakarta dalam jangka panjang. "Bisa jadi, Sultan memang menganggap Kraton sudah waktunya berubah," kata dia.
Dia membenarkan perubahan nama gelar ini mudah memunculkan anggapan bahwa pemicunya ialah isu seksesi. Selama ini ada perdebatan mengenai wacana Sultan Yogyakarta harus figur laki-laki atau bisa juga perempuan.
Kalau ini memang benar menjadi pemicunya, Heddy menyimpulkan perubahan besar kali ini merupakan imbas dari pertentangan antara nilai-nilai modern sistem politik dan tradisi yang selama ini mempengaruhi perkembangan Keraton Yogyakarta.
Sumber: http://www.tempo.co