Pendidikan Berbasis Budaya Melayu

Oleh: Samsul Nizar

Keberadaan sosio kultural suatu bangsa, dalam bentuk yang hidup merupakan suatu kesatuan yang memiliki bagian-bagian yang saling terjalin antara satu dengan yang lain dan diikat oleh ikatan-ikatan internal yang merupakan pencerminan moral, cita rasa dan nilai sejarah satu bangsa.

Ikatan-ikatan tersebut pada gilirannya dapat terakumulasi dan memberi karakter khas kepada kebudayaan manusia, sekaligus mencerminkan watak khusus bagi pandangan hidup (way of life) masyarakat dan bagitu pula tingkah laku individunya. Artinya, kebudayaan yang dikembangkan mampu mendefinisikan keistimewaan individu dan komunitasnya secara dinamis yang bercorak kemanusiaan.

Untuk itu, konsep community-based education (pendidikan berdasarkan kebutuhan ma-syarakat) perlu dikembangkan dan menjadi wacana yang perlu mendapat perhatian secara serius. Di sisi lain, media pendidikan merupakan sarana yang paling baik untuk menanamkan nilai-nilai tersebut secara optimal dan efektif. Optimalisasi ini dapat dilihat dari respon peserta didik, baik dalam proses belajar-mengajar maupun dalam kehidupan sehari-hari secara aktif dan dinamis.

Di sisi lain, model kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah suatu negara, baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan faktor yang ikut mempengaruhi visi, misi dan proses serta bentuk pendidikan yang ada. Oleh karena itu, antara pendidikan dan model kebijaksanaan politik pemerintahan suatu negara saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain secara integral.

Dimensi moralitas religius yang tertanam dan menjadi pilar dalam kepribadian peserta didik. Nilai ini akan memberikan warna dan individual control pada seluruh aktivitas kehidupannya.

Salah satu fungsi pendidikan bagi manusia adalah sebagai upaya strategis melestarikan budaya pada komunitasnya. Demikian pula bagi komunitas masyarakat Melayu. Tatkala pendidikan tidak diformat sebagai media pewarisan budaya, maka otomatis budaya akan runtuh dan hilang ditelan oleh zaman. Apabila budaya telah runtuh, maka hilanglah identitas suatu bangsa.

Dalam konteks Riau sebagai negeri Melayu, upaya memformat pendidikan yang berbasis budaya Melayu mutlak perlu segera dilakukan. Format yang ditawarkan bukan hanya pada simbol dan formalitas budaya, akan tetapi lebih pada nilai yang terimplementasi dalam prilaku masyarakat Riau. Untuk itu, sudah saatnya format kurikulum lembaga pendidikan di Bumi Lancang Kuning ini diformat secara proporsional dan profesional.

Paling tidak, ada beberapa tawaran untuk memformat kurikulum lembaga pendidikan di Bumi Lancang Kuning ini, yaitu: Pertama, format simbolisasi yang terdiri atas pakaian guru dan murid, sarana dan prasarana pendidikan yang mencerminkan nilai religius masyarakat Melayu, arsitektur bangunan, bahasa pengantar, pelaksanaan peringatan hari besar Islam, dan publikasi pelaksanaan upacara-upacara adat. Memang disadari, sebagian format tersebut sudah terlaksana, namun belum maksimal.

Kedua, format substansi sistemik, antara lain merumuskan tujuan pendidikan yang menekankan pada terciptanya manusia yang religius-intelektual dan intelektual-religius yang memahami budayanya, merekonstruksi kurikulum dan materi yang menawarkan muatan budaya Melayu untuk memperkuat budaya dan adat Melayu dengan Islam sebagai ruhnya, menjadikan mata pelajaran Budaya Adat Melayu sebagai mata pelajaran wajib dan harus diajarkan sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.

Dengan pendekatan ini, diharapkan ada dua nilai yang diperoleh, yaitu: Pertama, transformasi budaya antar generasi. Kedua, memperkenalkan budaya Melayu kepada masyarakat atau komunitas di luar Melayu yang berada di Bumi Lancang Kuning ini.

Di samping itu, isi materi pelajaran yang dikembangkan di sekolah-sekolah yang ada di Bumi Lancang Kuning berupaya melakukan Islamisasi ilmu pada setiap materi yang diajarkan sebagai ruh masyarakat (budaya) Melayu, serta membangun prilaku guru dan murid mencerminkan kepribadian ma-syarakat Melayu yang religius.

Kebijakan Pendukung
Upaya yang dilakukan dan dirintis oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning Riau pada tanggal 16 Januari 2010 lalu dengan menggelar workshop “Pengembangan Sastra Daerah se-Sumatera” perlu diberikan apresiasi dan dukungan.

Upaya tersebut merupakan langkah awal untuk melestarikan salah satu unsur budaya daerah yang semakin hilang. Langkah ini merupakan bagian dari bentuk kepedulian insan akademis terhadap persoalan budaya yang semakin kurang mengkristal.

Melihat visi Riau 2020 dan apa yang telah dilakukan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning, maka model pendidikan berbasis budaya Melayu perlu diformat dalam dua bentuk, yaitu: Pertama, format formal yang termuat dalam kurikulum Budaya dan Adat Melayu (BAM) secara terstruktur di lembaga pendidikan.

Kedua, format non formal yang terimplementasi pada seluruh aktivitas seluruh elemen di negeri ini di luar lembaga pendidikan yang mencerminkan nilai budaya Melayu yang sesungguhnya.

Untuk mewujudkan upaya ideal di atas, perlu didukung oleh kebijakan-kebijakan secara politis dan strategis dari dinas terkait dan penentu kebijakan. Paling tidak, ada beberapa kebijakan yang harus dilakukan, antara lain:

Pertama, membuat Perda wajib belajar Budaya dan Adat Melayu melalui kurikulum yang terstruktur sejak SD sampai perguruan tinggi. Sayangnya, kebijakan ini belum mampu terimplementasi secara akurat dan ideal pada setiap jenjang pendidikan yang ada. Bahkan, materi yang ditawarkan masih belum mampu membongkar esensi utama budaya Melayu.

Kedua, mempersiapkan buku rujukan Budaya dan Adat Melayu yang dirasakan sangat langka di Bumi Lancang Kuning ini. Ketiga, menstimulir munculnya gairah membangun dan menyelamatkan aset budaya melalui berbagai perlombaan. Keempat, melaksanakan iven pergelaran budaya Melayu Riau secara terprogram.

Upaya ini akan menjadi media untuk menarik perhatian turis melihat keunikan budaya Melayu di tanah Lancang Kuning. Bagaimana tidak, tatkala tarian Kecak ditarikan oleh pemuda Bali mampu menyedot perhatian dunia, maka tidak mustahil demikian pula dengan budaya Melayu Riau yang unik dan memiliki ketinggian nilai filosofinya.

Kelima, memberikan apresiasi dalam bentuk pemberian beasiswa bagi terjadinya upaya transformasi dan transinternalisasi budaya Melayu di Bumi Lancang Kuning. Keenam, mensinergikan LAM dengan budayawan dan akademisi yang concern terhadap budaya Melayu guna membangun budaya di Tanah Lancang Kuning. Ketika komponen ini bersinergi dalam hubungan yang ideal, maka budaya Melayu akan mampu menjadi tuan rumah di Negeri Bertuah ini.

Bayangkan, alangkah indahnya tatkala syair yang ditulis di gedung LAM Riau, umpamanya —ditulis dengan bahasa Arab Melayu, maka akan memberikan makna sinkronnya LAM dengan kurikulum mata pelajaran Baca Tulis Budaya Melayu di SD. Demikian seterusnya. Namun, syair yang ditulis ternyata masih menggunakan bahasa Indonesia, sehingga nilai historis dan koneksitas dengan kurikulum yang ditawarkan menjadi tidak kelihatan.

Ketujuh, melakukan penyelamatan dan berupaya mencetak ulang karya-karya budaya Melayu klasik agar bisa menjadi bukti historis dan ditransformasi pada generasi muda Melayu. Sayangnya, buku-buku klasik yang pernah ditulis oleh budayawan Melayu tempo dulu masih sangat sulit diperoleh dan langka, bahkan di Perpustakaan Daerah sekalipun.

Pertanyaannya adalah, bagaimana hal ini sesungguhnya? Apakah visi Riau 2020 untuk menjadikan Riau sebagai Pusat Budaya Melayu di Kawasan Asia Tenggara bisa tercapai tatkala langkah dan model yang belum terkonstruksi secara utuh dan sistematis? Kita semua pasti bisa menjawabnya. Semoga bukan hanya mimpi. Wa Allahu a’lam bi al-Shawwab.***

Prof Dr Samsul Nizar MA, Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan/ Dosen PPs UIN Suska Riau.

-

Arsip Blog

Recent Posts