Oleh Yurnaldi
Berbagai laporan dan dokumentasi kuno menyebutkan, di perairan Indonesia yang luasnya 5,8 juta km persegi dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia (81.000 km), puluhan ribu kapal tenggelam . Kapal-kapal karam beserta muatan berharganya, dari abad ke-4 sampai dengan Perang Dunia II, tentu menjadi peninggalan budaya bawah air yang menarik dikaji.
Selain menarik dikaji, kapal tenggelam beserta muatannya telah menjadi komoditi dengan nilai jual tinggi. Buktinya, hasil pengangkatan kapal tenggelam di laut Jawa, sekitar 12 mil perairan utara Cirebon, Jawa Barat, nilai jualnya sekitar Rp900 miliar . Sayang, pada pelelangan 5 Mei 2010 lalu, belum ada calon pembeli, karena masa penawaran yang terlalu singkat dan karena adanya uang penjaminan yang terlalu besar.
Sebelum ada pengangkatan yang telah memperoleh izin dari pemerintah itu, yang dilakukan PT Paradigma Putra Sejahtera (PT PPS) bekerjasama dengan PT Cosmix (Belgia), pengangkatan illegal dari dulu sampai sekarang masih terus berlangsung . Kini, pihak kepolisian tengah melakukan penyidikan terhadap pengangkatan benda cagar budaya (BCB) di daerah Blanakan, yang diduga (kembali) melibatkan seorang arkeolog maritim Berger Michael Hatcher, kata Direktur Peninggalan Bawar Air, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Surya Helmi, menjawab Kompas, Minggu (16/5).
Kasus-kasus sebelumnya, Berger Michael Hatcher berhasil melelang tinggalan arkeologi dasar laut Indonesia secara illegal. Warga negara Australia kelahiran Inggris tahun 1940 itu menyadi miliarder setelah menemukan 225 batang emas dan 160.000 buah keramik di perairan Riau. Hasil jarahannya itu dilelang di Balai Lelang Christie, Amsterdam, tahun 1986 senilai 16 juta dollar AS.
Masih ada lagi daftar BCB jarahan dasar laut Indonesia yang berhasil dilelang akhir tahun 2000 di balai lelang Jerman. Gambaran ini sebagai bukti bahwa muatan-muatan kapal tenggelam di perairan Indonesia itu bernilai ekonomi sangat tinggi.
Kasus-kasus pencurian BCB dasar laut ini tidak saja menyebabkan rusaknya situs karena tak mengindahkan nilai kultural, tetapi Indonesia juga akan kehilangan informasi yang penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan karakter bangsa dan sejarah perjuangan bangsa. Bisa dibayangkan bila kita kehilangan data dan aset-aset budaya yang penting dapat dipastikan apresiasi masyarakat untuk m enghargai dan melestarikan karya budaya bangsa sendiri akan melemah, karena tidak memiliki tinggalan budaya yang dapat dibanggakan.
Muatan keramik
Dari kapal-kapal tenggelam, hampir selalu keramik ditemukan dalam jumlah relatif besar. Bambang Budi Utomo dari Puslit bang Arkenas yang menjadi editor buku Kapal Karam Abad ke-10 di Laut Jawa Utara Cirebon (Terbitan Panitia Nasional Peng angkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam, Jakarta 2008), mengatakan, kapal tenggelam yang artefaknya telah diangkat berasal dari kapal niaga, dengan barang dagangan sebagian besar keramik (90 persen) . Selebihnya adalah tembikar, dan barang-barang kaca yang didalamnya berisi cairan wangi-wangian. Sebagai kapal niaga yang mengakut para saudagar, dibawa juga sejumlah uang logam (timah dan perunggu) dari Tiongkok.
Pihak perusahaan pengangkat artefak dasar laut di laut Jawa utara Cirebon melaporkan, benda yang diangkat berjumlah 541.341 buah, terdiri dari 519.942 buah benda keramik dan 21.3 99 buah benda-benda dari berbagai bahan, seperti kayu, kaca, logam, dan lain-lain. Sebanyak 262.999 buah keramik telah dikembalikan ke dasar laut, karena berupa pecahan yang dianggap tidak dapat dimanfaatkan secara ekonomis, sementara sisa keramik lainnya berjumlah 256.943 buah.
Dari 256.943 buah keramik, sebanyak 221.124 buah adalah porselin dan bahan batuan, sementara sebanyak 35.819 buah adalah terbikar. Dari jumlah ratusan ribu buah keramik itu, setidaknya terdapat sembilan bentuk wadah, yaitu mangkuk, piring, cepuk, pasu, teko, guci, buli-buli, pedupaan, dan tempat tinta.
Selain itu, masih terdapat bentuk berbagai tutup yang belum diketahui padanan wadahnya, serta keramik yang berbentuk bukan wadah. Di antara sembilan wadah tersebut, tiga bentuk yait u mangkuk, piring, dan guci ditemukan dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan bentuk lain. Namun di antara ketiganya, jenis mangkuk yang paling banyak (186.185 buah) .
Identifikasi Keramik
Porselin dan bahan batuan sangat jelas bukan buatan lokal . Selama ini barang-barang seperti itu telah ditemukan di berbagai situs di Indonesia, dan diketahui berasal dari berbagai negara seperti Tiongkok, Asia Tenggara (Thailand, Vietnam, dan Kamboja), Timur Tengah, Jepang, dan Eropa (seperti Belanda dan Jerman ).
Dia antara negara-negara penghasil keramik tersebut, keramik Tiongkok merupakan temuan yang paling banyak. Keramik jenis ini telah diproduksi di tempat asalnya lalu dipasarkan di berbagai belahan dunia, menggunakan angkutan tertentu melintasi daratan a tau lautan, kata ahli identifikasi keramik, Widiati, yang kini Kepala Subdit Pengendalian Pemanfaatan pada Direktorat Bawah Air, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Menurut Widiati, teori kedatangan keramik ada yang sebagai barang dagang/kargo, barang bawaan, barang hadiah, dan juga sebagai barang pesanan.
Keramik yang sering ditemukan di Indonesia berasal dari Cina (abad II XX Masehi), Thailand (abad XIII XVIII Masehi), Vietnam (abad XIII XVIII Masehi), Eropa (abad XVII XX Masehi), Jepang (abad XVII XX Masehi), dan Timur Tengah (abad VII XIV Masehi).
Bagaimana mengidentifikasi keramik, sehingga diketahui masa pembuatan keramik tersebut? Widiati yang sudah berpengalaman puluhan tahun sebagai peneliti , dengan skripsi dan tesis khusus penelitian keramik menjelaskan, dalam mengidentifikasi temuan keramik, pihaknya lebih dulu mencermati unsur bentuk utuh dari keramik tersebut.
Setelah itu dicermati unsur ruang, yaitu tempat di mana benda itu ditemukan (situs), dan atau tempat asal benda itu dibuat (negara, provinsi, distrik, dan tungku). Setelah itu juga dicermati unsur waktu , pertarikhan, yaitu pertanggalan relatif dari masa pembuatan keramik porselin atau bahan-bahan tersebut. Biasanya berdasarkan masa pemerintahan di Cina yang sudah diketahui, paparnya.
Widiati berpendapat, untuk menentukan kapan keramik tersebut dibuat, antara lain dapat diketahui berdasarkan warna glasir atau pola hias. Misalnya keramik-keramik Vietnam yang berglasir warna tunggal seperti putih, hijau atau hitam, diketahu i berasal dari sekitar abad 13-14. Atau keramik Thailand yang mempunyai hiasan berupa ikan yang diletakkan pada bagian permukaan dalam dari dasar wadah diketahui berasal dari abad ke-14.
Setidaknya ada 10 ciri yang dapat digunakan untuk keperluan analisis keramik yang bertujuan untuk mengetahui asal daerah pembuatan, bentuk asal dan pertanggalan. Kesepuluh ciri itu adalah bentuk pecahan, besaran, orientasi pecahan, jenis bahan dasar, warna bahan dasar, pola hias, teknis hias, warna glasir, teknik glasir, dan sisa pengerjaan.
U ntuk menentukan asal daerah pembuatan, digunakan ciri yang meliputi bentuk pecahan, besaran pecahan, ketebalan, orientasi, jenis bahan dasar, pola hias, warna glasir, dan teknik glasir. Sedangkan untuk penentuan masa pembuatan kerami k diperlukan pengamatan terhadap bentuk, jenis bahan dasar, warna bahan dasar, pola hias, teknik hias, dan warna glasir, papar Widiati.
Jejak pembuatan, lanjutnya, kalau kita jeli bisa ditemukan suatu tanda yang sengaja atau tidak sengajatampak pada permukaan porselin/bahan batuan setelah terjadi proses pembakaran.
Tentang temuan keramik di perairan utara Cirebon, berdasarkan identifikasi dan tipologi benda-benda keramik itu, merupakan keramik abad ke-10 Masehi dari masa Dinasti Lima.
Sudah tentu, melalui hasil identifikasi keramik ini, ada sedikit-banyaknya tambahan data untuk merangkai sejarah kebudayan masa lampau Indonesia.