Masyarakat Betawi Harus Pertahankan Seni Budaya Tradisional

Jakarta - Masyarakat Betawi di zaman modern ini agaknya harus tampil percaya diri dalam mempertahankan seni budaya yang menjadi khas dan hasil peninggalan nenek moyangnya. Apalagi mereka hidup dan tinggal di tanah kelahirannya sendiri, tentu harus mengesampingkan rasa minder atau malu. Minimal, mereka harus berani menunjukkan etnis kebetawiannya sehingga dapat bangkit dalam menyongsong masa depan yang cemerlang.

"Kita yang punya kampung, jadi kita tidak punya alasan untuk menutup-nutupi diri lagi. Budaya yang kita miliki harus terus ditampilkan," kata Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta, saat membuka Seminar Lokakarya Kebudayaan Betawi dengan tema "Redefinisi Kebudayaan Betawi", di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Sabtu (26/6).

Pada tahun 1975 atau sekitar 35 tahun lalu, saat Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta, pernah mendorong adanya pra-lokakarya kebudayaan Betawi. Dari lokakarya yang menjadi pertemuan besar itulah, Ali Sadikin mewacanakan kebudayaan Betawi yang menuju hari depan kebudayaan Betawi. Sehingga pada saat ini, tidak bisa jadi alasan lagi bagi warga Betawi untuk minder dalam mengedepankan budaya asli yang dimiliki.

"Saat itu Bang Ali (sapan akrab Ali Sadikin-red) menyadari, kota ini perlu identitas budaya dan Bang Ali berhasil menemukannya dalam budaya Betawi," ujar Fauzi Bowo. Ketika itu, Ali Sadikin terinspirasi dari ungkapan mantan Presiden Soekarno saat melantik dirinya sebagai gubernur DKI Jakarta. Ungkapan yang dimaksud adalah berbunyi, "Manusia tidak hidup dari roti semata-mata". Kalimat itulah yang rupanya mendorong Ali Sadikin untuk memberi perhatian besar pada rohani kota, dalam hal ini kebudayaan asli kota tersebut.

Sehingga dalam waktu singkat, kalimat tersebut mampu mendorong tumbuhnya rasa kebanggaan khusunya bagi warga Betawi. Budaya budaya asli seperti musik rebana biang, ondel-ondel, gambang rancak, kembang kelapa, lenong dan lainya bermunculan, menghiasi kehidupan kota Jakarta. "Ada yang menyebut lokakarya yang digagas Ali Sadikin, menjadi titik balik kebetawiannya orang Jakarta," tuturnya.

Selanjutnya, gubernur berharap, seminar lokakarya kebudayaan Betawi seperti yang digelar saat ini, terus dijadikan kegiatan rutin setiap kali perayaan HUT DKI Jakarta. Hal ini penting, sebagai sesi ruang publik untuk membahas berbagai hal terkait kebudayaan Betawi. Berbagai stigma negatif, seperti sebutan orang Betawi itu identik dengan kemiskinan, kumuh, tersingkirkan dan sebagainya harus dibahas dan dicari jalan supaya stigma negatif itu hilang dan kembali kepada proporsi yang wajar. Hal ini perlu karena sebutan-sebutan atau konotasi-konotasi tersebut sangat tidak menguntungkan bagi warga Betawi.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Arie Budhiman menjelaskan, seminar lokakarya Kebudayaan Betawi ini akan berlangsung selama tiga hari, yakni dari tanggal 26-28 Juni 2010. Kegiatan ini digelar dalam rangka menjaga, melestarikan, dan mengembangkan budaya Betawi yang merupakan budaya asli warga Kota Jakarta. Selain itu juga merupakan rangkaian kegiatan perayaaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-483 Kota Jakarta.

Seminar Lokakarya ini bersifat ilmiah yang akan membahas perjuangan melestarikan budaya Betawi hingga perkembangannya. Bahkan semiloka ini akan menjadi cikal bakal pelaksanaan Kongres Kebudayaan Betawi untuk pertama kalinya yang akan dilaksanakan pada tahun 2011. Semiloka ini akan membahas secara ilmiah lima topik yaitu ruang publik dan orang Betawi, orang Betawi dan kemiskinan di Jakarta, orang Betawi dan eskapisme sosial, politik. Selain itu, organisasi dan identitas kebetawian serta seniman Betawi dan metropolitan Jakarta. "Seminar dan lokakarya ini bersifat ilmiah," jelasnya.

Narasumber yang menjadi pembicara dalam kegiatan ini antara lain, Marco Kusumawijaya (arsitek dan mantan Ketua Pengurus Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Wardah Hafiz (Ketua Urban Poor Consortium), Nirwono Yoga (ahli tata kota Jakarta), Yulianti Parani (Peneliti seni Betawi dan Pengajar IKJ), Thamrin Amal Tomagola (Sosiolog UI), JJ Rizal (sejarahwan), Zen Hae (penyair dan penulis sastra).

"Kita harapkan kegiatan ini bisa memberikan masukan dan pencerahan bagi masa depan budaya Betawi di Kota Jakarta," kata Arie. Kegiatan ini dihadiri oleh 100 peserta lebih. Mereka berasal dari berbagai kalangan, seperti perguruan tinggi, para pakar dan tokoh Betawi, serta lembaga kesenian Betawi. (Purwoko)

-

Arsip Blog

Recent Posts