Oleh Al Khanif
Siapa yang tidak kenal Banyuwangi. Selain terkenal dengan legenda sang raja mahasakti Prabu Minak Jinggo (sebutan lain Raja Bre Wirabumi) pada era Majapahit, kabupaten di paling ujung timur Pulau Jawa itu terkenal dengan sebutan Kota Gandrung
Penggunaan gandrung sebagai ikon Banyuwangi merupakan bukti seni tari itu dahulu sangat populer. Bahkan, ia lebih populer dari sang legenda Minak Jinggo atau Kerajaan Blambangan. Sampai era 1980-an, gandrung masih eksis di Banyuwangi meskipun ditentang di beberapa tempat.
Gandrung adalah seni tari yang rancak. Penari gandrung dituntut bisa menggerakkan tubuh mengikuti alunan musik yang kadang melambat dan cepat. Kecepatan tempo musik ditentukan gendang, bonang, dan ketukan besi berbentuk segitiga. Tempo lambat ditentukan biola.
Di Jawa Barat, gandrung bisa disejajarkan dengan tari jaipong. Tubuh penari meliuk-liuk dan harus ndengkek, yakni tubuh bagian atas agak merunduk ke depan dan pinggul ke bawah ditonjolkan ke belakang. Sangat sulit, tetapi itulah keunikan gandrung.
Selain itu, penari juga dituntut bisa menggerakkan bola mata, hampir sama dengan tari-tarian Bali. Bisa dikatakan gandrung Banyuwangi merupakan perpaduan antara seni Bali dan Jawa. Maka, ada pepatah kebudayaan Banyuwangi mewakili dua kebudayaan besar: Jawa dan Bali. Akulturasi itu termanifestasikan dalam bentuknya sendiri, yakni budaya Banyuwangi. Perspektif negatif
Seni tari dan bentuk-bentuk lain kesenian pada dasarnya merupakan sebuah manifestasi kebudayaan yang netral. Meskipun lahirnya sebuah kesenian selalu berkaitan dengan sebuah peradaban, pada dasarnya ia tidak terikat dengan ideologi mana pun. Kesenian berbeda dengan ideologi. Kesenian hanya merepresentasikan sebuah ideologi tanpa berusaha membenturkan perbedaan yang ada. Perbedaan dalam kesenian justru akan memperkaya khazanah seni. Ini berbeda dengan ideologi yang berusaha membenturkan setiap perbedaan.
Namun kenyataannya, dahulu gandrung selalu diidentikkan dengan Islam abangan. Islam abangan adalah sebuah stereotip negatif terhadap orang Islam yang tidak menjalankan syariah Islam dengan benar. Oleh karena itu, hanya orang-orang tertentu yang berani menggelar hajatan gandrung, misalnya perangkat desa atau penggede kabupaten.
Stereotip tersebut sangat berkaitan dengan islamisasi di Banyuwangi waktu itu. Oleh karena itu, sejatinya telah terjadi pertarungan identitas antara Islam dan gandrung. Meskipun islamisasi di Banyuwangi tidak puritan, beberapa kiai dan ulama melihat gandrung tidak cocok dengan nilai-nilai Islam. Oleh sebab itu, ada usaha memisahkan gandrung dari masyarakat dengan cara memberikan label "seni yang tidak islami". Lalu, mengapa dahulu gandrung identik dengan kesenian yang tidak islami?
Salah satunya, dahulu beberapa pesta gandrungan (istilah bagi pesta yang menggelar gandrung) menyediakan minuman beralkohol sejenis bir. Biasanya penonton laki-laki akan minum bir jika ingin menyawer, yakni menemani penari dan memberi tips kepada penari bersangkutan sebelum ia turun dari panggung.
Cara memberi tipsnya cukup unik, yakni menyelipkan uang ke sela- sela bra sang penari. Memang penari gandrung pada umumnya perempuan dengan pakaian yang sedikit terbuka di dada bagian atas. Itulah yang menjadi pemicu untuk melarang pertunjukan gandrung. Saweran dinilai bertentangan dengan norma agama karena mengandung unsur pornografi. Sementara minuman beralkohol jelas dilarang di dalam Islam. Jika menggelar gandrungan, orang awam harus bersiap menerima sanksi sosial berupa pengucilan sosial dari masyarakat. Akankah musnah?
Lain dahulu lain sekarang. Kini gandrung yang telanjur menjadi ikon Banyuwangi terancam hilang. Tidak ada lagi gandrungan di masyarakat. Hanya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang masih eksis menggelar gandrungan. Namun, jumlah pementasannya pun tidak banyak.
Sebenarnya ada beberapa sanggar tari gandrung di Banyuwangi, tetapi kelangsungannya terancam punah. Selain minimnya minat kawula muda untuk mempelajarinya, stereotip gandrung sebagai seni yang tidak islami telanjur membuatnya mati suri. Padahal, seharusnya gandrung bisa dijadikan salah satu obyek wisata andalan di Banyuwangi. Ia layak disejajarkan dengan tari-tarian Bali yang eksotis atau jaipong Sunda.
Akankah Gandrung mengalami nasib yang sama dengan kebudayaan daerah lain? Ludruk di Surabaya dan tayub di Nganjuk sudah kembang kempis dimakan zaman. Adapun beberapa kesenian daerah lain akan dilarang pemerintah setempat karena dianggap melanggar undang-undang.
Saya hanya berharap gandrung tidak punah seperti macan kumbang (Javanese tiger). Salah satu cara melestarikannya adalah kearifan dari semua pihak untuk memahami bahwa gandrung adalah warisan budaya yang harus dipertahankan. Ia tidak harus dibenturkan dengan ideologi atau paham lain karena tidak ada ideologi yang bertentangan dengan kesenian. Al Khanif Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Ibrahimy, Banyuwangi
Sumber: http://travel.kompas.com
Siapa yang tidak kenal Banyuwangi. Selain terkenal dengan legenda sang raja mahasakti Prabu Minak Jinggo (sebutan lain Raja Bre Wirabumi) pada era Majapahit, kabupaten di paling ujung timur Pulau Jawa itu terkenal dengan sebutan Kota Gandrung
Penggunaan gandrung sebagai ikon Banyuwangi merupakan bukti seni tari itu dahulu sangat populer. Bahkan, ia lebih populer dari sang legenda Minak Jinggo atau Kerajaan Blambangan. Sampai era 1980-an, gandrung masih eksis di Banyuwangi meskipun ditentang di beberapa tempat.
Gandrung adalah seni tari yang rancak. Penari gandrung dituntut bisa menggerakkan tubuh mengikuti alunan musik yang kadang melambat dan cepat. Kecepatan tempo musik ditentukan gendang, bonang, dan ketukan besi berbentuk segitiga. Tempo lambat ditentukan biola.
Di Jawa Barat, gandrung bisa disejajarkan dengan tari jaipong. Tubuh penari meliuk-liuk dan harus ndengkek, yakni tubuh bagian atas agak merunduk ke depan dan pinggul ke bawah ditonjolkan ke belakang. Sangat sulit, tetapi itulah keunikan gandrung.
Selain itu, penari juga dituntut bisa menggerakkan bola mata, hampir sama dengan tari-tarian Bali. Bisa dikatakan gandrung Banyuwangi merupakan perpaduan antara seni Bali dan Jawa. Maka, ada pepatah kebudayaan Banyuwangi mewakili dua kebudayaan besar: Jawa dan Bali. Akulturasi itu termanifestasikan dalam bentuknya sendiri, yakni budaya Banyuwangi. Perspektif negatif
Seni tari dan bentuk-bentuk lain kesenian pada dasarnya merupakan sebuah manifestasi kebudayaan yang netral. Meskipun lahirnya sebuah kesenian selalu berkaitan dengan sebuah peradaban, pada dasarnya ia tidak terikat dengan ideologi mana pun. Kesenian berbeda dengan ideologi. Kesenian hanya merepresentasikan sebuah ideologi tanpa berusaha membenturkan perbedaan yang ada. Perbedaan dalam kesenian justru akan memperkaya khazanah seni. Ini berbeda dengan ideologi yang berusaha membenturkan setiap perbedaan.
Namun kenyataannya, dahulu gandrung selalu diidentikkan dengan Islam abangan. Islam abangan adalah sebuah stereotip negatif terhadap orang Islam yang tidak menjalankan syariah Islam dengan benar. Oleh karena itu, hanya orang-orang tertentu yang berani menggelar hajatan gandrung, misalnya perangkat desa atau penggede kabupaten.
Stereotip tersebut sangat berkaitan dengan islamisasi di Banyuwangi waktu itu. Oleh karena itu, sejatinya telah terjadi pertarungan identitas antara Islam dan gandrung. Meskipun islamisasi di Banyuwangi tidak puritan, beberapa kiai dan ulama melihat gandrung tidak cocok dengan nilai-nilai Islam. Oleh sebab itu, ada usaha memisahkan gandrung dari masyarakat dengan cara memberikan label "seni yang tidak islami". Lalu, mengapa dahulu gandrung identik dengan kesenian yang tidak islami?
Salah satunya, dahulu beberapa pesta gandrungan (istilah bagi pesta yang menggelar gandrung) menyediakan minuman beralkohol sejenis bir. Biasanya penonton laki-laki akan minum bir jika ingin menyawer, yakni menemani penari dan memberi tips kepada penari bersangkutan sebelum ia turun dari panggung.
Cara memberi tipsnya cukup unik, yakni menyelipkan uang ke sela- sela bra sang penari. Memang penari gandrung pada umumnya perempuan dengan pakaian yang sedikit terbuka di dada bagian atas. Itulah yang menjadi pemicu untuk melarang pertunjukan gandrung. Saweran dinilai bertentangan dengan norma agama karena mengandung unsur pornografi. Sementara minuman beralkohol jelas dilarang di dalam Islam. Jika menggelar gandrungan, orang awam harus bersiap menerima sanksi sosial berupa pengucilan sosial dari masyarakat. Akankah musnah?
Lain dahulu lain sekarang. Kini gandrung yang telanjur menjadi ikon Banyuwangi terancam hilang. Tidak ada lagi gandrungan di masyarakat. Hanya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang masih eksis menggelar gandrungan. Namun, jumlah pementasannya pun tidak banyak.
Sebenarnya ada beberapa sanggar tari gandrung di Banyuwangi, tetapi kelangsungannya terancam punah. Selain minimnya minat kawula muda untuk mempelajarinya, stereotip gandrung sebagai seni yang tidak islami telanjur membuatnya mati suri. Padahal, seharusnya gandrung bisa dijadikan salah satu obyek wisata andalan di Banyuwangi. Ia layak disejajarkan dengan tari-tarian Bali yang eksotis atau jaipong Sunda.
Akankah Gandrung mengalami nasib yang sama dengan kebudayaan daerah lain? Ludruk di Surabaya dan tayub di Nganjuk sudah kembang kempis dimakan zaman. Adapun beberapa kesenian daerah lain akan dilarang pemerintah setempat karena dianggap melanggar undang-undang.
Saya hanya berharap gandrung tidak punah seperti macan kumbang (Javanese tiger). Salah satu cara melestarikannya adalah kearifan dari semua pihak untuk memahami bahwa gandrung adalah warisan budaya yang harus dipertahankan. Ia tidak harus dibenturkan dengan ideologi atau paham lain karena tidak ada ideologi yang bertentangan dengan kesenian. Al Khanif Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Ibrahimy, Banyuwangi
Sumber: http://travel.kompas.com