Medan, Sumut - Pakar sejarah dari Universitas Negeri Medan Dr Ikhwan Azhari mengatakan, delapan situs warisan dunia yang ada di Sumatera Utara terancam musnah karena kurang mendapatkan perlindungan dari pemerintah.
Dalam pertemuan dengan jajaran Pemprov Sumut di Medan, Rabu [16/06] , Ikhwan Azhari mengatakan, delapan warisan dunia itu adalah berupa bangunan tua yang bersejarah, kilang minyak di Pangkalan Brandan, situs kota Barus, benteng Putri Hijau, Candi Portibi, kota China dan kota Rantang, jejak perang dunia dan Bukit Kerang.
Ia menjelaskan, bangunan tua yang bersejarah cukup banyak di Sumut tetapi banyak yang dibiarkan terbengkalai, dan ada juga yang diruntuhkan karena disebut sebagai warisan kolonial Belanda.
Padahal, berdasarkan studi tentang jenis bangunan di Belanda, bangunan-bangunan tua bersejarah yang ada di Sumut itu berbeda dengan model perumahan dan perkantoran di negeri kincir angin tersebut.
“Bangunan tua di Sumut bukan warisan Belanda tetapi menyerupai bangunan kebanyakan di Eropa,” kata Direktur Pusat Studi Ilmu Sejarah Unimed itu.
Kemudian, kata Ikhwan, kilang minyak di Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat yang meski tidak beroperasi lagi tetapi telah menjadi ikon dalam produksi perminyakan dunia.
Kilang di Pangkalan Brandan yang beroperasi sejak tahun 1953 itu merupakan lokasi pengeboran minyak kedua di dunia setelah di Amerika Serikat (1949).
Demikian juga dengan berbagai situs di daerah Barus di Kabupaten Tapanuli Tengah yang pernah menjadi pusat perdagangan dunia sejak masa pra sejarah.
“Salah satu hasil produksi daerah itu yang terkenal adalah kapu yang dikenal dengan sebutan ‘kapur barus’,” katanya.
Tingginya nilai sejarah di Barus itu terbukti dari banyaknya arkeolog dunia, khususnya Prancis yang melakukan penelitian dan penggalian di daerah yang berada di pantai barat Sumut tersebut. “Tapi ironisnya, kita justru menelantarkan situs itu,” kata Ikhwan.
Adapun benteng Putri Hijau yang berada di kawasan Delitua, Kabupaten Deli Serdang merupakan peninggalan sejarah yang selalu menjadi rebutan sejak zaman kerajaan hingga masa penjajahan.
Uniknya, benteng Putri Hijau tidak pernah hancur meski terus terjadinya pergantian zaman dan berbagai arkeolog Eropa mengusulkan kepada badan kebudayaan PBB (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO) untuk dimasukkan sebagai daftar warisan dunia. ”Namun benteng Putri Hijau tidak mampu menghadapi gempuran buldozer,” kata Ikhwan. Kota China dan kota Rantang di kawasan Medan Marelan memiliki nilai sejarah karena pernah menjadi pusat perdagangan di pulau Sumatera pada abad ke- XII.
Demikian juga dengan jejak perang dunia kedua di Sumut yang dikenal dengan pertempuran “Medan Area” yang berlangsung berhari-hari dan menimbulkan korban jiwa cukup banyak.
Jika dilihat dari jangka waktu pertempuran dan kerusakan yang terjadi, pertempuran Medan Area jauh lebih dahsyat dari peristiwa 10 November di Surabaya dan pembakaran kota Bandung. “Namun lokasi bekas pertempuran Medan Area justru hanya dijadikan tempat jualan kol,” katanya.
Lain lagi halnya dengan situs Bukit Kerang di Langkat yang sempat menjadi kota perdagangan internasional pada masa pra sejarah. “Mungkin karena kebodohan atau kemiskinan, tempat itu justru dirusak dan dijadikan tempat tinggal,” kata Ikhwan.
Ia sangat mengharapkan pemerintah, khususnya Pemprov Sumut dapat mempertahankan delapan situs warisan dunia yang diyakini mampu menarik perhatian turis yang peduli terhadap nilai sejarah.
Ikhwan mencontohkan keberhasilan Malaysia sejak kepemimpinan Mahathir Mohammad yang mampu menghasilkan devisa hingga miliaran dolar AS dari wisata bangunan bersejarah. “Yang mereka jual bukan keindahan alam, tetapi nilai sejarah karena sangat banyak yang ingin menyaksikannya,” kata Ikhwan. (ant)
Sumber: http://beritasore.com
Dalam pertemuan dengan jajaran Pemprov Sumut di Medan, Rabu [16/06] , Ikhwan Azhari mengatakan, delapan warisan dunia itu adalah berupa bangunan tua yang bersejarah, kilang minyak di Pangkalan Brandan, situs kota Barus, benteng Putri Hijau, Candi Portibi, kota China dan kota Rantang, jejak perang dunia dan Bukit Kerang.
Ia menjelaskan, bangunan tua yang bersejarah cukup banyak di Sumut tetapi banyak yang dibiarkan terbengkalai, dan ada juga yang diruntuhkan karena disebut sebagai warisan kolonial Belanda.
Padahal, berdasarkan studi tentang jenis bangunan di Belanda, bangunan-bangunan tua bersejarah yang ada di Sumut itu berbeda dengan model perumahan dan perkantoran di negeri kincir angin tersebut.
“Bangunan tua di Sumut bukan warisan Belanda tetapi menyerupai bangunan kebanyakan di Eropa,” kata Direktur Pusat Studi Ilmu Sejarah Unimed itu.
Kemudian, kata Ikhwan, kilang minyak di Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat yang meski tidak beroperasi lagi tetapi telah menjadi ikon dalam produksi perminyakan dunia.
Kilang di Pangkalan Brandan yang beroperasi sejak tahun 1953 itu merupakan lokasi pengeboran minyak kedua di dunia setelah di Amerika Serikat (1949).
Demikian juga dengan berbagai situs di daerah Barus di Kabupaten Tapanuli Tengah yang pernah menjadi pusat perdagangan dunia sejak masa pra sejarah.
“Salah satu hasil produksi daerah itu yang terkenal adalah kapu yang dikenal dengan sebutan ‘kapur barus’,” katanya.
Tingginya nilai sejarah di Barus itu terbukti dari banyaknya arkeolog dunia, khususnya Prancis yang melakukan penelitian dan penggalian di daerah yang berada di pantai barat Sumut tersebut. “Tapi ironisnya, kita justru menelantarkan situs itu,” kata Ikhwan.
Adapun benteng Putri Hijau yang berada di kawasan Delitua, Kabupaten Deli Serdang merupakan peninggalan sejarah yang selalu menjadi rebutan sejak zaman kerajaan hingga masa penjajahan.
Uniknya, benteng Putri Hijau tidak pernah hancur meski terus terjadinya pergantian zaman dan berbagai arkeolog Eropa mengusulkan kepada badan kebudayaan PBB (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO) untuk dimasukkan sebagai daftar warisan dunia. ”Namun benteng Putri Hijau tidak mampu menghadapi gempuran buldozer,” kata Ikhwan. Kota China dan kota Rantang di kawasan Medan Marelan memiliki nilai sejarah karena pernah menjadi pusat perdagangan di pulau Sumatera pada abad ke- XII.
Demikian juga dengan jejak perang dunia kedua di Sumut yang dikenal dengan pertempuran “Medan Area” yang berlangsung berhari-hari dan menimbulkan korban jiwa cukup banyak.
Jika dilihat dari jangka waktu pertempuran dan kerusakan yang terjadi, pertempuran Medan Area jauh lebih dahsyat dari peristiwa 10 November di Surabaya dan pembakaran kota Bandung. “Namun lokasi bekas pertempuran Medan Area justru hanya dijadikan tempat jualan kol,” katanya.
Lain lagi halnya dengan situs Bukit Kerang di Langkat yang sempat menjadi kota perdagangan internasional pada masa pra sejarah. “Mungkin karena kebodohan atau kemiskinan, tempat itu justru dirusak dan dijadikan tempat tinggal,” kata Ikhwan.
Ia sangat mengharapkan pemerintah, khususnya Pemprov Sumut dapat mempertahankan delapan situs warisan dunia yang diyakini mampu menarik perhatian turis yang peduli terhadap nilai sejarah.
Ikhwan mencontohkan keberhasilan Malaysia sejak kepemimpinan Mahathir Mohammad yang mampu menghasilkan devisa hingga miliaran dolar AS dari wisata bangunan bersejarah. “Yang mereka jual bukan keindahan alam, tetapi nilai sejarah karena sangat banyak yang ingin menyaksikannya,” kata Ikhwan. (ant)
Sumber: http://beritasore.com