Bogor, Jabar - Pakar ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor menilai bahwa kegiatan Jambore Budaya Serumpun Indonesia-Malaysia di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat pada 8-12 Juni 2010 bisa mengobati luka sosial di antara kedua negara.
Jambore tersebut harus bisa dijadikan suatu kegiatan bersama untuk mengobati luka-sosial yang muncul pada masyarakat Indonesia atas perilaku segelintir anggota masyarakat Malaysia yang beberapa tahun belakangan ini juga bertingkah seperti kacang lupa pada kulitnya , kata Dr Ir Ricky Avenzora, MScF, pengajar Fakultas Kehutanan (Fahutan) Institut Pertanian Bogor (IPB) kepada Antara di Bogor, kemarin.
Selain itu perilaku mereka juga cenderung merendahkan dan mengingkari sejarah panjang keterkaitan negeri dan masyarakat mereka dengan Indonesia. Karena itu, Jambore Budaya Serumpun Indonesia-Malaysia di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar pada tanggal 8-12 Juni itu perlu didukung dan disukseskan bersama.
Menurut jadwal, kegiatan tersebut akan diresmikan tanggal 8 Juni di Istano Basa Pagaruyung, dan telah dikonfirmasi bahwa Gubernur Sumatra Barat Marlis Rahman, Ketua Pengakap Negara Malaysia dan Menteri Pemuda dan Olah Raga RI akan menghadiri pembukaan acara tersebut bersama-sama Ketua Kwarnas Pramuka Dr dr H Azrul Azwar, MPH serta Bupati Tanah Datar Ir M Shadiq Pasadigoe, SH.
Ricky mengatakan, kegiatan jambore tersebut juga bisa bermanfaat untuk memperkaya kegiatan pariwisata Kabupaten Tanah Datar, tetapi secara luas juga harus bisa dijadikan sebagai suatu momentum untuk mencairkan ketidakharmonisan sosial-politik antara Indonesia dan Malaysia beberapa tahun belakangan ini.
Lebih jauh, jambore tersebut juga harus dijadikan sebagai suatu titik awal dan semangat baru bagi terciptanya komunikasi yang harmonis dan jujur antara generasi muda Malaysia dan Indonesia di masa kini dan pada masa yang akan datang.
Dengan jambore tersebut, katanya, tentunya generasi muda Malaysia dapat kembali belajar banyak tentang betapa tinggi dan luhurnya tata nilai adat istiadat dan budaya Minangkabau sebagai negeri asal nenek moyang mereka yang menjadi sumber mengalirnya darah dalam diri mereka.
Generasi muda Malaysia juga bisa menjadikan jambore tersebut sebagai kesempatan untuk belajar tentang betapa luhur dan apik serta detailnya adat Minangkabau mengatur tatanan hidup berkeluarga, dan tatanan bermasyarakat secara luas, kata Ricky Avenzora, yang menyelesaikan doktornya di Universitas George August Gottingen Jerman itu.
Menurut dia, secara filosofis maupun dalam kehidupan sehari-hari, selama ratusan tahun telah teruji bahwa adat Minangkabau adalah tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Untuk itu, maka sesungguhnya tidak ada alasan bagi generasi muda Malaysia untuk mencari dan membangun artificial-values ataupun artificial-cultures --seperti yang sedang giat-giatnya mereka lakukan dalam beberapa tahun belakangan ini-- dalam rangka pencarian jati diri mereka dan untuk menunjukan identitas kelompok mereka di mata dunia.
Dikemukakannya bahwa generasi muda Malaysia, khususnya para keturunan Minangkabau, harus bangga akan keluhuran adat dan budaya nenek moyang mereka di Ranah Minang, dan mereka tidak perlu ragu untuk menggunakan dan menjadikan adat Minang dan budaya Minang sebagai akar tunggang bagi pertumbuhan budaya mereka di semenanjung dalam menumbuhkan dan menaungi berbagai kemajemukan suku dan budaya mereka di masa depan.
Dengan modal pengetahuan akan adat dan budaya Minang, maka para generasi muda Malaysia keturunan Minangkabau harus berani maju dan tampil ke depan untuk mmberikan contoh kepada generasi muda dari suku lainnya di Malaysia tentang bagaimana seharusnya bersikap dan bertindak dalam bekeluarga, bertetangga dan bermasyarakat secara luas dengan keluhuran filosofi hidup dan budi pekerti keseharian.
Sebaliknya, dari Malaysia para generasi muda Minangkabau juga harus belajar tentang bagaimana masyarakat Malaysia keturunan Minangkabau menjaga dan memperahankan serta mengembangkan nilai-nilai adat istiadat dan budaya nenek moyang mereka di Minangkabau sejalan dan selaras dengan tuntuan jaman dalam mereka menapaki jaman modern ini.
Jika dalam kelompok kecil saja mereka di Malaysia berusaha keras untuk mempertahankan dan memperbesar adat istiadat dan budaya leluhur mereka di Minangkabau, maka para generasi muda Minang harus malu hati kalau mengabaikan dan bahkan merusak serta ingin menghancurkan adat dan budaya Matrilinial Minangkabau, katanya.
Untuk itu semua, maka kegiatan jambore tersebut tidak boleh hanya berhenti di situ saja. Kegiatan tersebut harus diteruskan setiap tahun dan dikembangkan secara lebih konstruktif dan lebih bermanfaat.
Agar tujuan tersebut tercapai, maka kedua belah pihak kiranya perlu mengingat, memahami dan menerapkan beberapa pepatah tua dari Minangkabau. Dalam konteks pertalian darah, bagaimanapun kondisi dan dinamika generasi muda Malaysia keturunan Minang maka bagi masyarakat Minangkabau mereka adalah tetap akan menjadi anak-kemanakan yang akan tetap dipangku dan dibimbing.
Namun, dalam konteks bernegara maka untuk menghindari terjadinya luka-luka sosial di masa datang, kiranya para generari muda Malaysia perlu mengenal dan menerapkan pepatah Minang yang berbunyi Kok iyo lah rabuang di tabiang lah pulo tumbuah manjadi batuang nantinggi dan manjulai, namun manakua tataplah ka bawah maliek tanah nan manggadangkan.
Artinya, kalaupun rebung yang tumbuh di lereng jurang kiranya telah tumbuh menjadi betung yang tinggi dan menjulai, namun tetaplah harus melihat dan tunduk ke tanah yang menumbuhkannya.
Sebaliknya, pepatah lain di Minangkabau mengatakan Sa salah salah nan ketek, mako yang salah adolah tatap nan gadang. Arti dari pepatah tersebut adalah sesalah apapun suatu pihak yang kecil (fisikal, bodoh, miskin, atau sifat inferior lainnya), maka kesalahan adalah tetap berada pada pihak yang besar (fisikal, cerdas, kaya atau sifat superior lainnya).
Dengan menghayati dan menerapkan dua pepatah tersebut, maka generasi muda kedua negara akan bisa bahu membahu bekerja sama guna berbuat yang terbaik untuk negara masing-masing, demikian Ricky Avenzora. (djo)
Sumber: http://www.pelita.or.id
Jambore tersebut harus bisa dijadikan suatu kegiatan bersama untuk mengobati luka-sosial yang muncul pada masyarakat Indonesia atas perilaku segelintir anggota masyarakat Malaysia yang beberapa tahun belakangan ini juga bertingkah seperti kacang lupa pada kulitnya , kata Dr Ir Ricky Avenzora, MScF, pengajar Fakultas Kehutanan (Fahutan) Institut Pertanian Bogor (IPB) kepada Antara di Bogor, kemarin.
Selain itu perilaku mereka juga cenderung merendahkan dan mengingkari sejarah panjang keterkaitan negeri dan masyarakat mereka dengan Indonesia. Karena itu, Jambore Budaya Serumpun Indonesia-Malaysia di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar pada tanggal 8-12 Juni itu perlu didukung dan disukseskan bersama.
Menurut jadwal, kegiatan tersebut akan diresmikan tanggal 8 Juni di Istano Basa Pagaruyung, dan telah dikonfirmasi bahwa Gubernur Sumatra Barat Marlis Rahman, Ketua Pengakap Negara Malaysia dan Menteri Pemuda dan Olah Raga RI akan menghadiri pembukaan acara tersebut bersama-sama Ketua Kwarnas Pramuka Dr dr H Azrul Azwar, MPH serta Bupati Tanah Datar Ir M Shadiq Pasadigoe, SH.
Ricky mengatakan, kegiatan jambore tersebut juga bisa bermanfaat untuk memperkaya kegiatan pariwisata Kabupaten Tanah Datar, tetapi secara luas juga harus bisa dijadikan sebagai suatu momentum untuk mencairkan ketidakharmonisan sosial-politik antara Indonesia dan Malaysia beberapa tahun belakangan ini.
Lebih jauh, jambore tersebut juga harus dijadikan sebagai suatu titik awal dan semangat baru bagi terciptanya komunikasi yang harmonis dan jujur antara generasi muda Malaysia dan Indonesia di masa kini dan pada masa yang akan datang.
Dengan jambore tersebut, katanya, tentunya generasi muda Malaysia dapat kembali belajar banyak tentang betapa tinggi dan luhurnya tata nilai adat istiadat dan budaya Minangkabau sebagai negeri asal nenek moyang mereka yang menjadi sumber mengalirnya darah dalam diri mereka.
Generasi muda Malaysia juga bisa menjadikan jambore tersebut sebagai kesempatan untuk belajar tentang betapa luhur dan apik serta detailnya adat Minangkabau mengatur tatanan hidup berkeluarga, dan tatanan bermasyarakat secara luas, kata Ricky Avenzora, yang menyelesaikan doktornya di Universitas George August Gottingen Jerman itu.
Menurut dia, secara filosofis maupun dalam kehidupan sehari-hari, selama ratusan tahun telah teruji bahwa adat Minangkabau adalah tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Untuk itu, maka sesungguhnya tidak ada alasan bagi generasi muda Malaysia untuk mencari dan membangun artificial-values ataupun artificial-cultures --seperti yang sedang giat-giatnya mereka lakukan dalam beberapa tahun belakangan ini-- dalam rangka pencarian jati diri mereka dan untuk menunjukan identitas kelompok mereka di mata dunia.
Dikemukakannya bahwa generasi muda Malaysia, khususnya para keturunan Minangkabau, harus bangga akan keluhuran adat dan budaya nenek moyang mereka di Ranah Minang, dan mereka tidak perlu ragu untuk menggunakan dan menjadikan adat Minang dan budaya Minang sebagai akar tunggang bagi pertumbuhan budaya mereka di semenanjung dalam menumbuhkan dan menaungi berbagai kemajemukan suku dan budaya mereka di masa depan.
Dengan modal pengetahuan akan adat dan budaya Minang, maka para generasi muda Malaysia keturunan Minangkabau harus berani maju dan tampil ke depan untuk mmberikan contoh kepada generasi muda dari suku lainnya di Malaysia tentang bagaimana seharusnya bersikap dan bertindak dalam bekeluarga, bertetangga dan bermasyarakat secara luas dengan keluhuran filosofi hidup dan budi pekerti keseharian.
Sebaliknya, dari Malaysia para generasi muda Minangkabau juga harus belajar tentang bagaimana masyarakat Malaysia keturunan Minangkabau menjaga dan memperahankan serta mengembangkan nilai-nilai adat istiadat dan budaya nenek moyang mereka di Minangkabau sejalan dan selaras dengan tuntuan jaman dalam mereka menapaki jaman modern ini.
Jika dalam kelompok kecil saja mereka di Malaysia berusaha keras untuk mempertahankan dan memperbesar adat istiadat dan budaya leluhur mereka di Minangkabau, maka para generasi muda Minang harus malu hati kalau mengabaikan dan bahkan merusak serta ingin menghancurkan adat dan budaya Matrilinial Minangkabau, katanya.
Untuk itu semua, maka kegiatan jambore tersebut tidak boleh hanya berhenti di situ saja. Kegiatan tersebut harus diteruskan setiap tahun dan dikembangkan secara lebih konstruktif dan lebih bermanfaat.
Agar tujuan tersebut tercapai, maka kedua belah pihak kiranya perlu mengingat, memahami dan menerapkan beberapa pepatah tua dari Minangkabau. Dalam konteks pertalian darah, bagaimanapun kondisi dan dinamika generasi muda Malaysia keturunan Minang maka bagi masyarakat Minangkabau mereka adalah tetap akan menjadi anak-kemanakan yang akan tetap dipangku dan dibimbing.
Namun, dalam konteks bernegara maka untuk menghindari terjadinya luka-luka sosial di masa datang, kiranya para generari muda Malaysia perlu mengenal dan menerapkan pepatah Minang yang berbunyi Kok iyo lah rabuang di tabiang lah pulo tumbuah manjadi batuang nantinggi dan manjulai, namun manakua tataplah ka bawah maliek tanah nan manggadangkan.
Artinya, kalaupun rebung yang tumbuh di lereng jurang kiranya telah tumbuh menjadi betung yang tinggi dan menjulai, namun tetaplah harus melihat dan tunduk ke tanah yang menumbuhkannya.
Sebaliknya, pepatah lain di Minangkabau mengatakan Sa salah salah nan ketek, mako yang salah adolah tatap nan gadang. Arti dari pepatah tersebut adalah sesalah apapun suatu pihak yang kecil (fisikal, bodoh, miskin, atau sifat inferior lainnya), maka kesalahan adalah tetap berada pada pihak yang besar (fisikal, cerdas, kaya atau sifat superior lainnya).
Dengan menghayati dan menerapkan dua pepatah tersebut, maka generasi muda kedua negara akan bisa bahu membahu bekerja sama guna berbuat yang terbaik untuk negara masing-masing, demikian Ricky Avenzora. (djo)
Sumber: http://www.pelita.or.id