Denpasar, Bali - Kontingen Kabupaten Gianyar mampu menakjubkan ribuan hadirin di Panggung Terbuka Ardha Chandra, Pusat Kesenian Bali, dalam Parade Lagu Daerah Bali Pesta Kesenian Bali (PKB) Ke-32, Rabu malam, sementara kontingen Kabupaten Buleleng mempperkaya khazanah dengan nuansa "fussion"-nya.
Cressendo, nama kontingen Kabupaten Gianyar itu, membuka panggung dengan perkenalan para pendukungnya yang terdiri dari enam penyanyi dewasa, enam penyanyi anak-anak, sekelompok penabuh "kebyar", dan satu grup band musik modern.
Mereka didominasi pakaian tradisional berwarna jingga, yang senada dengan sorotan lampu panggung sehingga memperkuat kesan yang ingin diusung ke gelaran seni terakbar se-Bali sepanjanng tahun itu.
Hadirin, di antaranya Nyonya Bintang Puspayoga, isteri dari Wakil Gubernur Bali, Puspayoga, tidak bisa menyembunyikan kesenangannya pada Cressendo yang tampil diurutan terakhir Parade Lagu Daerah Bali, setelah kontingen Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng, Rabu malam itu.
Kekayaan seni budaya Bali dibawakan hampir lengkap oleh Cressendo yang berasal dari Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar itu. Lenggak-lenggok tarian tradisional dengan latar musik modern bisa dibawakan mereka secara baik, terlebih koreografi yang dibawakan sangat berbeda ketimbang kontingen-kontingen sejawat dari Bali.
Lagu kanak-kanak tempo dulu, "Cening Puteri Ayu", satu lagu berkisah nasehat dan kasih sayang seorang ibu kepada perempuan cilik anaknya bisa membawa kenangan hadirin pada masa kecil mereka. Lagu itu dibuka dengan nasehat dalam bahasa Bali yang bermakna agar anak perempuan itu tetap rajin membantu-bantu membersihkan rumah sementara si ibu berada di luar rumah.
Gelak tawa dan senyum hadirin langsung mengemuka saat tiga perempuan penyanyi tampil bersama tiga anak-anak yang membawa baki berukuran sedang. Komposisi dan aransemen lagu lama itu dibungkus secara apik sekalipun tidak memberi porsi kepada kelompok penabuh "kebyar" untuk memperlihatkan kebolehannya.
Seni tabuh "kebyar" dari Ubud, Kabupaten Gianyar, sangat terkenal bukan cuma di Bali namun ke banyak tempat di Indonesia dan dunia. Banyak sekali seniman mancanegara yang sengaja mempelajari "kebyar" Gianyar dan mengeksplorasinya demi banyak kepentingan.
Panggung dari Kabupaten Gianyar itu ditutup dengan satu koreografi unik, berupa formasi mirip bunga lotus dimana seorang perempuan penyanyinya diusung ke atas oleh tiga rekan lelaki penyanyinya.
Sebelumnya, ribuan hadirin seolah dibawa ke dalam alam internasional saat kelompok Semaradhana dari Kabupaten Buleleng mendapat giliran. Tampil dengan balutan busana tradisional minimalis hitam dan biru, kelompok gamelan "terompong" lebih mendapat porsi yang memadai untuk mengimbangi lantunan nada-nada modern dari kelompok band pengiringnya.
Semaradhana merupakan satu hasil perpaduan dan kerja sama unik dalam nuansa "fusssion" antara ranah musik tradisional berbasis nada pentatonik dengan rekannya dari masa kini, berbasis diatonik. Biasanya, memadukan kedua jenis birama lagu ini, yaitu lagu tradisional dalam bungkusan atmosfer modern, cukup sukar dilakukan secara mulus.
Namun Semaradhana mampu melakukannya secara lebih baik ketimbang dua rekannya dari Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Jembrana yang tampil perdana. Keberanian Semaradhana mengeksplorasi dan berolahnada dengan lagu-lagu tradisional Bali yang didominasi nada-nada rendah dalam jangkauan sempit, bisa mereka lakukan.
Nuansa internasional dalam langgam "fussion" itu, seolah mengingatkan bahwa Bali sejak lama telah menjadi bagian komunitas internasional sehingga tidak lagi bisa melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh global itu. Musik memang universal dan sejak lama pula, ratusan kafe yang mampu menghadirkan aliran musik dari mana saja di dunia ini telah menjadi satu entitas andalan pariwisata provinsi pulau itu.
Suara gebukan dram dengan gamelan "terompong" yang berada di lain wilayah nada bisa terjadi dengan kombinasi yang pas dengan suara betotan gitar bass. Berulang kali terdengar keras tepukan ribuan hadirin itu, ditingkahi suara suitan yang nyaring.
Semua persembahan Kontingen Buleleng itu semakin diperkaya dengan lantunan nada-nada lagu berbahasa Bali dari trio perempuan penyanyinya. "Jagatnitha" karya Satriya Naradha yang berisi pesan agar terus melestarikan warisan budaya Bali mendapat tenaga yang kuat dari aransemen khas.
Bergantian, bunyi-bunyian reproduksi dari seperangkat dram, gitar elektrik yang dimainkan laksana petikan dan kunci-kunci gitaris Dewa Budjana, dan gitar bass, saling mengisi dan melengkapi ketukan pentatonik "terompong" itu.
Kalaupun ada yang dianggap kurang, hal itu bukan terletak pada kualitas musikalitas dan teknik vokal para penyanyinya, yang bisa dianggap di atas kedua rekan dari Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Gianyar. Itu terletak pada "keberanian" kontingen Buleleng untuk tidak membawakan seni tari Bali ke dalam panggungnya, tidak seperti dua kontingen lain.
Hadirin bisa mengerti dan menangkap maksud nada-nada yang dikomunikasikan para musisi tradisional dan modern Kontingen Buleleng itu, sekalipun sambil mengobrol. Tidak harus dengan memelototi panggung untuk menangkap maknanya karena mereka menyodorkan sesuatu yang ringan namun penuh makna. (JY)
Sumber: http://oase.kompas.com