Kraton/karaton (ke-ra-tu-an) menunjukan tempat kediaman ratu (=raja) atau biasa juga disebut kedaton (ke-datu-an) berarti istana/kerajaan. Kraton biasanya merupakan bangunan yang unik dan struktur bangunanya cenderung khusus. Fungsi pokoknya adalah tempat kediaman raja. Karena Raja sebagai (central figure) pemerintahan, maka akhirnya kraton pun menjadi pusat budaya, acuan nilai, adat/aturan, dan sumber ilmu bagi masyarakatnya dan lingkungannya baik secara fisik dan non fisik..
Secara fisik bangunan Kraton Paku Buwono Solo terdiri dari bangunan inti dan lingkungan pendukungnya seperti Gapura (pintu gerbang), alun-alun, masjid , pasar dll.
Nama bangunan nya bermakna/filosofi tertentu yang merupakan gambaran adab/tatanan yang mengandung nilai budi dan budaya tinggi serta melambangkan maksud serta fungsinya.
Misalnya tahapan menghadap raja dimaknakan dalam nama- nama gapura masuk, yaitu: Kori(gapura) mangu, Kori brojonolo, Kori kamadungan dan Kori srimanganti, yang artinya adalah sebelum menghadap raja harus berbekal: kemantapan jiwa (tidak ada keraguan/Mangu) harus tajam pandangan dan pikiranya/Brojonolo serta mawas diri/Kamandungan selanjutnya menanti dengan tertib menghadap raja/Srimanganti (Sri=Raja; menganti=menanti), demikian pula prilaku seperti memberi sembah, ngapurancang, duduk bersila, laku dodok, adalah merupakan adab/etika tertentu yang menggambarkan derajat kesusilaan.
Bahasa yang dipakai adalah bahasa kromo inggil dan kromo andap yang bertingkat menurut pangkat dan tataran yang berlaku, namun kepada raja ada pola bahasa yang baku dan khusus misalnya "sampeyan ndalem" untuk menyebut asma raja yang artinya "Sri Paduka yang Mulia"
"Karaton Surakarta Hadiningrat mono haywa kongsi dinulu wujud wewangunane kewala. Nanging sira nyumurupana, ian handadekna maknane kang sinandi, dimen dadi tuntunaning laku; wajibing urip ing donya tumekeng ndelahan"
Jalan Masuk Alun-Alun
Didepan pintu gerbang I (Gapura Gladag) menuju alun-alun, terdapat dua buah patung raksasa, yang dibuat pada tahun Jawa 1860 atau 1930 masehi. Bahannya dari pasir Pandansimping.
Jalan masuk alun-alun dibagi dua: Gladag di ssebelah utara dan Pamurakan di selatan, yang di kiri-kanan berdiri gapura yang megah dibangun pada Ehe 1860 atau 1930 M, bertepatan dengan ulang tahun ke-64 PAKU BUWANA X (Kamis legi 21 Rejeb Alip 1859 atau 3 Januari 1929). Sebelah utara digunakan untuk kandang rusa dan binatang buas lainnya dan sebelah selatan untuk “memurak” (memotong-motong) daging
Gladag artinya tombak untuk berburu binatang; juga berarti Abdi Dalem Gladag menjalankan tugasnya, dengan menyediakan tenaga dan alat-alat angkut. Sedangkan Pamurakan berarti tempat memotong-motong daging. Pamurakan (pagurakan) juga berarti tempat menyerahkan urak (Urak = surat atau tanda melaksanakan suatu kewajiban
Siti Hinggil (Lor) adalah bangunan di selatan Pagelaran yang di dalamnya terdapat bangunan kecil yang disebut Maguntur Tangkil. Makna dan fungsinya cukup mendalam dan panjang. Oleh sebab itu ada ungkapan Jawa yang berbunyi : "Sapa nyemak babad, nalar lumajad. Sing nlesih sujarah, ati jumangkah".
"Sampurno Sangkan Paraning Dumadi -
Wijiling adadi sarining pepadhang, mulih mula-mulanira, honcat dedalan padhang hatingal padhang". Sebagai bagian dari alur filosofi "Sangkan Paraning Dumadi" dari utara ke selatan, maka posisi Kori Mangu adalah posisi kadya rikma pinarasasra atau ibarat titian selembut rambut dibelah tujuh.
Turun dari Siti Hinggil, lewat Kori Mangu sebelum menyebrang ke Kori Brajanala, maka akan melewati Kori Renteng yang bermakna agar dalam proses menghadap Paraning Dumadi, harus merelakan berbagai beban komplikasi keinginan duniawi dan pribadi, untuk kesejahteraan sosial.
Kori Brajanala bermakna agar ketika mulai masuk ke dalam Keraton dalem yang dalam Site-plan-nya bermakna telah memasuki nara sumber alam keTuhanan, maka Sang Musafir Panembah (Komunitas kawula alit) harus legawa untuk menanggalkan segala ‘arogansi drajad martabat semat’ serta harus beritikad jernih, bersih dan sakral dengan mempertajam rasa, budi luhur, tatakrama, daya tanggap, dalam intuisi Panembah. (Brojo=Tajam; Nala=Rasa)
Di bagian dan dalam bangunan Kori Brajanala terdapat Stage-space yang disebut Bangsal Wisamarta, yang berarti penawar bisa/racun. Maknanya adalah kekuatan penetralisir Keraton dari berbagai kekuatan-kekuatan destruktif dari luar.
Melewati Site-Entrance Pelataran Kamandungan dan kemudian menapak pada Site Balarata menuju Main-Entrance Kamandhungan, memberikan makna bahwa laku batin sudah sampai pada bagian dalam prosesi Panembah (Andhung). Ungkapan Mulat Sarira Hangrasa Wani, yang berarti harus tanggap diri atau self corection apakah kita sudah pantas, bersih, rapi bertatakrama dalam ‘berbusana’ (agama ageming aji) untuk menghadap Sang Pencipta.
Turun dari space Kamandhungan di sebelah barat terdapat Bangsal Smarakata. Proses pembudayaan naluri libido asmaragama menjadi bentuk kultural yang lebih steril dari nafsu hewani sehingga lebih bermuatan saresmi yang bersifat sakral lantaran senggama adalah mekanisme natural fisikal yang sesungguhnya berbarengan dengan implementasi nukad ghoib sangkan paran muasal ‘terproduksinya’ sebuah kelahiran manusia.
Oleh sebab itu Site Smarakata sampai kini masih tetap konsisten dipergunakan bagi suatu aktivitas yang bersifat seni budaya, yakni suatu bagian kulturalisasi dan sakralisasi pengungkapan naluri libido asmaragama, dengan titik berat penghargaan dan panembah kepada Tuhan Hyang Maha Wikan.
Hubungan antar umat maupun hubungan Kawula-Gusti perlu di-aransemen dalam kaidah-kaidah adat istiadat yang menghargai nilai-nilai adiluhung.
Diseberang timur di depan Smarakata terdapat sebuah bangsal yang cukup berwibawa yang disebut Bangsal Marcukundha. Nama Marcukundha yang meminjam dari Istana Bethara Guru dalam babad pewayangan ini dimaknakan sebagai tempat peradilan bagi para sentana dan elite politik lainnya yang ketika itu masih memiliki jalur keturunan raja. Kesakralan pengadilan dan keadilan disini sangat diutamakan, lantaran pengakuan naluri kejawen bahwa letak keadilan yang sesungguhnya adalah di tangan Tuhan. Oleh sebab itu raja atau aparat pengadilan Keraton bukan hanya bertumpu pada kitab angger-angger pidana saja.
Arsitektur Keraton yang mempunyai ciri keselarasan akulturatif arsitektur kolonial dengan arsitektur tradisional Jawa sesungguhnya cukup ‘radikal’ dalam mengaransir komposisi ornamen yang cukup spesifik sebagaimana yang terpasang di atas Kori Sri Manganti. Sebuah ornamen tiga dimensi dengan kualitas pembuatan yang sangat halus serta finishing yang ‘fabricated’ serta material yang relatif tak lekang oleh waktu, disusun secara simetris menggambarkan komposisi kewibawaan, keagungan dan kekuatan pertahanan negeri yang disebut sebagai Lambang Kerajaan Jawa yaitu SRI MAKUTHA RAJA. Teknik pembuatan seni kriya yang mungkin mirip model seni kriya karya perupa masa kini Sapto Hudoyo yang disebut kolase ini, digarap secara sangat profesional dan canggih. Cara pembuatan Sri Makutha Raja ini mengkomposisikan benda-benda seni yang masing-masing telah digarap sebagai benda seni yang selesai, setelah digabung baru kemudian diawetkan dengan teknologi pengawetan tertentu.
Tampak utara wewangunan Kori Sri Manganti dibuat semacam frame sebagai penegasan garis berbentuk pilar yang menempel di tembok dan diberi hiasan stilirisasi semacam hexografismistis, yang mungkin sudah dirubah lebih streamline versi ornamennya pada jaman S.I.S.K.S. Pakoe Boewono IV sekitar tahun 1718 Jawa (1772
Masehi). Disamping kiri-kanan Kori terdapat simbol Radya Laksana versi lama. Yang menonjol adalah ekspose lambang kapas dan padi sebagai lambang sandang dan pangan atau kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Dari depan tampak empat tiang atap Joglo Semar Tinandhu yang menaungi Kori Sri Manganti. Bentuk epitel atau mahkota pilar yang sangat ornamentik juga sudah berubah dibanding dari hiasan awalnya yang agak complicated. Listplank juga berubah lebih ornamentis. Space depan kori Sri Manganti mempunyai point-entrance di sebelah baratnya yang digunakan sebagai ruang tunggu. Sedang di sebelah timur terdapat ruang Pacaosan Penemu, Mantri, dan bawahannya dari golongan keparak, serta Bupati yang bertugas sebagai Tindhih.
Space yang cukup luas di depan Kori Sri Manganti digunakan Sri Susuhunan untuk menunggu dan menyambut Tamu Agung yang berkunjung ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
"Memasuki Kori, di dalamnya masih terdapat space yang tersekat di sebelah selatan sehingga membentuk traffical space ke arah timur. Di tembok penyekat terpampang sebuah cermin besar yang bermakna untuk meingatkan kembali kepantasan diri kita baik dari segi lahir maupun batin. Jika kita berdiri di ujung space dalam Kori Sri Manganti menghadap ke selatan, akan tampak suatu hamparan halaman pasir luas yang secara teratur ditanami pohon sawo kecik. Secara jarwa dhosok, nama pohon itu dimaknakan sebagai lambang yang artinya sarwo becik atau serba baik. Di sebelah timurnya berjarak sekitar 10 m terdapat bangunan bersegi delapan yang menjulang tinggi sangat kondang, dengan model atap ‘tutup saji’, yang disebut Panggung Sangga Buwana
Sebelah timur Pamurakan di Pakapalan angka 3 (pakapalan kapatihan) adalah balai agung yang mempunyai tugas seperti badan penasihat.
2. Alun-Alun Utara
Alun-alun utara adalah suatu tanah lapang yang luas lapang yang luas di mana dilangsungkan bermacam-macam keramaian, latihan berperang, olah raga, dsb. Dulu fungsinya bermacam-macam: latihan perang dengan naik kuda dan bertombak setiap hari sabtu (watangan) diiringi gamelan (patalon, talu=mulai) atau “Gamelan Setu”, untuk upacara Maleman (21 Puasa) dan Gerebeg 1 Syawal, 10 Dulhijah, dan 12 Maulud. Di samping itu, alun-alun juga dipergunakan untuk “rampongan” harimau sebagai latihan kemahiran mempergunakan tombak. Juga untuk mengadili orang yang salah menurut pengadilan Pradata (negeri). Setelah hukuman mati dijatuhkan, tubuhnya dibiarkan di sebelah utara Ringin kurung agar diketahui umum sebagai pelajarannya.
Beberapa bangunan di sekitar alun-alun utar
a.Sebelah barat, utara, dan timur terdapat beberapa rumah yang disebut Pakapalan (Kapal = kuda, pakapalan = tempat kuda). Tempat itu digunakan untuk menambatkan kuda-kuda para Abdi Dalem dari berbagai daerah yang
akan menghadap Raja di hari Raya. Bila raja mengadakan perayaan istimewa, di situ dilangsungkan perayaan sendiri-sendiri yang disebut “pakajang”.
b. Di sebelah tenggara, terdapat bangsal patalon, tempat Gamelan Sabtu dibunyikan dalam latihan keprajuritan (watangan).
c. Di tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin putih (waringin kurung). Sebelah barat bernama Dewandaru (keluhuran), sebelah timur bernama Jayandaru (kemenangan). Beringin ini dibawa dari alun-alun Kartasura. Di sinilah tempat “pepe” (hak petisi) bagi seseorang/rakyat yang tidak puas terhadap raja. Dengan berpakaian serba putih ia duduk di bawah pohon beringin kurung.
d. Sebelah barat alun-alun adalah Masjid Agung. Di podium masjid terdapat tulisan “rukuning Islam iku limang prakara”, di sebelahnya lagi ada ukiran kayu dengan kaligrafi yang dibuat pada jaman PAKU BUWANA III (tahun Wawu 1869). Kemudian ada menara masjid (33 meter), dibuat oleh PAKU BUWANA X saat ultah ke-40. Jadi Masjid Agung ( saka guru ) dibuat jaman PAKU BUWANA III tahun 1869 atau “ Trusing sarira winayang ratu “ atau 1177 H (hangraras temen pangandikaning Nabi) atau 1204 H ( dadi luhur menembah ing Allah ). Dahulu masjid ini diurusi Kawedanan Yogaswara. Dalam acara Sekaten ( Muludan ) dibunyikan, di bangsal selatan bernama Kyai Gunturmadu, dibuat PAKU BUWANA IV tahun 1718 ( Naga Raja Nitih Tunggal ). Dibangsal sebelah utara bernama Kyai Guntursari, dibuat zaman Mataram tahun 1566 ( Rerenggan wowohan tinata ing wadah ). Rambu atau gending permulaan dalam sekaten dengan gending Rangkung.
e. Memba’ul ‘Ulum terletak di selatan masjid, dibangun Paku Buwana X.,diperintahkan patih KRA Sasradiningrat
IV
agar Abdi Dalem Yogaswara (mutihan) diberi kursus agama Islam agar dapat mengajar kepada rakyat. Sekolah itu
didirikan pada 20 Jumadilawal Alip 1833 (1950 M). Kepala sekolah yang pertama adalah Kyai Bagus Arfah, seorang
ulama besar. Saat itu menggunakan ruang pawestren Masjid sebelah utara dan selatan untuk ruang kelas. Tahun 1915
PAKU BUWANA X mendirikan gedung di halaman masjid. Pelajarannya meniru seperti pesatren tetapi dengan cara
klasikal.
f. Sebelah selatan alun-alun terdapat 3 pucuk meriam, dari barat ke timur: Kyai Pancawara, K. Swuhbrasta, Kyai
Sagarawana. Sekarang dipindah di sebelah timur Sasana Sumewa dan kanan-kiri jalan masuk Sitihinggil. Barat Sasana
Sumewa ada meriam Kyai Santri. Meriam bukan alat perang tetapi tanda kerajaan, yaitu menandai peristiwa penting:
menghormati tamu agung, kelahiran putra-putri PAKU BUWANA dari permaisuri, dan tiap pesowanan agung.
g. Sebelah Utara alun-alun terdapat 2 pohon beringin yang di sebelah barat bernama jenggot = laki-laki, timur
bernama wok = perempuan.
h. Sebelah selatan alun-alun berdiri pohon waringin Gung = besar/tinggi dan waringin Binatur = rendah/hina.
Disebelah
baratnya berdiri tugu peringatan 200 tahun Karaton Surakarta (dibuka 1939).
i. Di tengah tempat meriam yang masing-masing kosong, ada bangsal Pamandangan, tempat kuda yang siap dinaiki
oleh Sunan atau putranya pada saat upacara besar.
j. Bagian barat dan timur dulu berdiri bangsal Paretan, tempat menyediakan kereta kebesaran (kencana) untuk
Sunan
dan Putranya pada upacara besar.
k. Di barat daya da timur laut berdiri pintu gerbang Slompretan dan Batangan, dibuka pada hari Rabu Pahing Sura
Je 1870 (8 Maret 1939)
3. Sasana Sumewa
Di tepi jalan sebelah selatan alun-alun terdapat bangsal besar yang menghadap ke utara, bernama Sasana Sumewa ( sasana = tempat, sumewa = menghadap/sowan ) Bangsal ini dibangun pada tahun jawa 1843 ( 1913 ) dan selesai pada hari Kamis 9 Mulud Ehe 1844. Semula lantainya masih tanah/pasir dan atapnya dari bambu. Maka dinamakan “tratag”. Dahulu tempat itu namanya Pagelaran (gelar = benteng, Pagelaran berarti tempat membentangkan kehendak Sunan tentang berbagai hal di kerajaan)
Di tengah-tengah ada sebuah bangsal kecil bernama Bangsal Pangrawit (pindahan dari Kartasura). Tempat itu digunakan untuk duduk/berdiri Sunan untuk menyampaikan pesan atau perintah kepadabawahannya atau pelantikan pejabat. (Ngrawit = asri, indah permai; Pangrawit berarti mempermaikan, memperindah)
Bangsal Pacekotan di kanan Sasana Sumewa adalah tempat menghadap orang yang akan menerima anugerah dari Sunan; Tiap hari tepat iniuntuk peristirahatan Abdi Dalem prajurit keamanan. Bangsal Pacikeran di kiri Sasana Sumewa adalah tempat orang yang akan dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Di timur undak-undakan ke Sitihinggil dulu ada bangsal Mertalulut, tempat Abdi Dalem mertolulut membawa hadiah kepada mereka yang berjasa. Sekarang ditampati Abdi Dalem Meriam Kyai Pancawara. Di barat undak-undakan adalah bangsal Singanegara, tempat Abdi Dalem Singanegara melaksanakan putusan pengadilan. Sekarang ditempati meriam Kyai segarawana.
4. Sitihinggil Utara
Di selatan Sasana Sumewa terdapat sebidang tanah tinggi dengan pagar batu dan terali besi, dinamakan Sitihingil, dibangun pada tahun Alip 1691 (Siti = tanah, inggil = tinggi). Utara dengan pintu besi diberi nama Kori Wijil (pintu ke III), dimana berada 8 pucuk meriam, yaitu dari barat ke timur namanya: Kyai Brising, Kyai Bagus, Kyai Nakula, Kyai Kumbarawa, Kyai Kumbarawi, Kyai Sadewa, Kyai Alus, dan Kyai Kadhalbutung/Mahesa Kumali/Pamecut.
Di depan Kori Wijil terdapat batu Pamecat untuk memenggal leher mereka yang dihukum mati.
Di tengah Sitihinggil ada bangsal yang nama-namanya urut dari sebelah ke utara adalah:
a. Bangsal Witana, di dalamnya ada balai Manguneng tempat bersemayam meriam Nyai Setomi. Manguneng (mengun-neng) artinya menggerakkan (in beweging brengen). Nyai Setomi yang berada di dalamnya selain memberi selamat juga dapat menggerakkan jiwa dalam suasana kegembiraan dan kemeriahan dengan penuh kesopanan seperti tiap hari Grebeg. “Grebeg” berarti galau, artinya di hari itu Sunan keluar dari Karaton ke Sitihinggil digalau oleh putra-putra dan pejabat lainnya.
b. Bangsal Mangunturtangkil (berada di dalam bangsal Sewayana), tempat duduk Sunan pada hari Grebeg Mulud 12 Rabiulawal, Grebeg Puasa 1 Syawal, dan Grebeg Besar 10 besar. Manguntur = Sitihinggil/panunggal, tangkil=luhur/mulia. Mangunturtangkil berarti bangsal di Sitihinggil yang mulia atau panunggul, (kahinggahaken) pada hari Senin tanggal 24 Besar Alip 1835. Sedangkan Sewayana, tempat duduk para Putra Senata dan Abdi Dalem berpangkat tinggi, yang menghadap pada hari Grebeg tersebut. Sewa = menghadap, yana = orang. Jadi tempat orang menghadap. Lantainyaa ditinggikan pada Senin 24 Besar Alip 1835.
Adapun bangsal di tepi sebelah timur, dari selatan adalah:
a. Bangsal Angun-angun, tempat ii biasanya untuk pacaosan Abdi Dalem Sarageni Kiwa-tengen.
b. Sebelah utaranya adalah bangsal Gandhek Tengen, tepat memukul gamelan Kodhok Ngorek; hari-hari biasa tempat ini untuk pacaosan Abdi Dalem Gandhek Tengen.
c. Di tepi barat sebelah selatan berdiri bale Bang, untuk menyimpan gamelan tersebut
d. Sebelah utaranya bernama Gandhek Kiwa, tempat menyiapkan pesta; tiap hari untuk pacaosan Abdi Dalem Gandhek Kiwa.
Pintu Sitihinggil yang ke selatan bernama Kori Renteng/Mangu (pintu ke-IV) (renteng = pertentangan dalam hati, mangu = ragu-ragu). Sitihinggil dan Sasana Sumewa dikelilingi jalan yang bernama supit urang.
5. Daerah Dalem Baluwarti Karaton Surakarta
Baluwarti yang berarti benteng, adalah pagar batu yang kuat dan tinggi yang mengelilingi Karaton. Semula tebal bentang itu sekitar 2 meter, namun setelah rusak diganti pagar bata biasa setinggi 5 M seperti sekarang.
Untuk masuk Baluwarti dibuat empat pintu:
a. Di sebelah utara bernama Kori Brajanala Utara (pintu ke-V) (braja=senjata tajam, nala=hati). Di atas pintu diberi sengkalan memet berupa kulit sapi persegi: “Lulang sapi siji = wolu ilang sapi siji” (1708 atau 1782 M), yaitu jaman Paku Buwana III. Di luar pintu ada dua bangsal Pacaosan Abdi Dalem Brajanala Kiwa dan Tengen. Di dalam pintu ada dua bangsal pacaosan Abdi Dalem Wisamarta Kiwa dan Tengen.
b. Di sebelah selatan juga ada pintu gerbang bernama Kori Brajanala Selatan, dengan bangsal untuk Abdi Dalem Nyutra dan Mangunudara
c. Di sebelah timur dan barat masing-masing diberi nama Kori Batulan Wetan dan Kori Butulan-Kulon, didirikan pada hari Senin 30 Rejeb Jimawal 1837 dan Kamis 24 Sapar Ehe 1836.
6. Dhatulaya Karaton Surakarta (Inti Karaton)
Cepuri atau halaman Karaton dikelilingi pagar batu agak tinggi. Untuk masuk ke dalam Cepuri Kadhaton harus melewati 2 buah pintu utara dan selatan serta butulan.
Sebelah utara: Kori kamandungan, dibangunpada hari sabtu 21 Besar Jimakir 1746 atau 16 Oktober 1819. Ruang tanah antara Kori Brajanala dan Kori Kamandungan disebut “kamandhungan”, tempat prajurit beristirahat tanpa senjata. Sebelah timur ada tempat penjagaan prajurit Karataon, sebelah barat tempat penjagaan tentara Belanda (KNIL).
Dari Kori Kamandungan lalu masuk Kori Sri Manganti Utara (tempat menunggu raja keluar istana) didirikan pada tahun Je 1718 atau 1742 M. Di beranda luar ada pusat penjagaan Abdi Dalem Keparak, di dalam Kori tempat pacaosan Nyai Regol, lalu masuk halaman karaton. Antara Sri Manganti dan Kamandungan ada halaman dan di sebelah barat ada bangsal Smarakarta dan sebelah timur bangsal marcukunda yang dibangun pada 13 Rabiungalakir Jimawal 1761 (4 April 1814). Kedua bangsal itu digunakan sebagai tempat pesowanan para Abdi Dalem Sipil dan prajurit yang akan masuk kedaton menghadap Sunan.
Di sebelah selatan terdapat Kori Pamagangan (Korti Saraseja), terletak di sebelah utara Kori Brajanala Selatan. Lalu masuk pintu Gadungmlati dan Kori Sri Manganti Selatan. Diantara kedua bangunan/kori ini adalah Magangan. Di tengah-tengahnya ada bangsal untuk pisowanan Abdi Dalem wanita (keputren). Bagian luar Sri Manganti Selatan terdapat pacaosan Keparak, dalam pintu sebelah barat adalah pengjagaan Nyai Regol, dan di tepi pelataran Magangan adalah gedong prajurit Karaton. Setelah Sri Manganti adalah masuk Dalem Ageng (Datulaya) bernama Prabasuyasa, menghadap ke selatan. Sedangkan pendapanya bernama Sasana Sewaka di sebelah timur menghadap ke timur. Prabasuyasa artinya rumah yang bercahaya (praba = cahaya/sinar, suyasa = rumah). Bila ada perayaan, yang menghadap di situ haya para putri dan wanita di lingkungan Karaton. Sedangkan Sasana Sewaka artinya tempat menghadap (sasana = tempat, sewaka = menghadap) para putera raja dan Abdi Dalem yang berpangkat tinggi. Dahulu Sunan berkenan duduk sewaka di tempat itu setiap hari senin dan kamis. Duduk sewaka artinya duduk mengheningkan cipta (semedi). Di tengah Prabasuyasa dan Sunan duduk melihat pertunjukan wayang kulit. Oleh Paku Buwana X tempat ini untuk kantor pribadi dan menerima tamu tidak resmi. Sebelah selatan Sasana Sewaka adalah Sasana Handrawina, tempat makan para kerabat Karaton dan tamu.
Selain itu, masih terdapat beberapa bangunan yang berada di Cepuri Palataran, yaitu:
a.Ruang yang mengelilingi Sasana Sewaka disebut Paningrat, berarti selasar (emper), didirikan pada Jumat Pon 17 Rejeb Wawu 1809 (25 Juni 1880 M)
b Ruang muka sebelah timur Paningrat dinamakan Maligi, tempat mengkhitan putera Sunan dari permaisuri. Didirikan pada Jumat 19 Rabi’ulakir 1811 (10 maret 1882)
c. Sebelah selatan Sasana Sewaka terdapat dua rangkaian gamelan: Kyai Kadukmanis dan Manisrengga. Dibunyikan tiap keperluan dan hari Senin, Rabu, Kamis, Sabtu, untuk latihan.
d. Sebelah timur halaman ada 3 bangsal, dari utara ke selatan: (1) Bangsal Bujana (tempat menjamu pengikut tamu agung), (2) Bangsal Pradonggo, tempat memukul gamelan, (3) Bangsal Musik, untuk musik atau orkes.
e. Gedung sebelah selatan Parasedya adalah kantor Sunan, bernama Sasanaprabu.
f. Gedung-gedung di halaman sebelah utara dan selatan adalah kantor pemerintah Karaton. Sebelah timur palataran Karaton ada gedung Museum.
g. Sebelah utara pelataran terdapat menara besar dan tingginya 35 M garis tengah 6 M, dan bertingkat. Menara itu bernama Panggung Sanggabuawana (1709) J atau 1782 M). Di puncaknya terdapat sengkalan memet: “Naga muluk tinitihan janma” (1709). Fungsinya untuk Semedi, sesaji di tingkat atas, untuk menetapkan tanggal bulan Jawa dengan melihat bulan, dan untuk melihat tamu atau musuh dari jauh. Panggung ini pernah terbakar pada 19 Nopember 1954 dan dipugar selesai tanggal 15 Mei 1978.
h. Kori Wiwaraprya, terletak di sebelah utara menghadap ke timur.
i. Kori Wiwarakenya, di sebelah selatan menghadap ke timur.
7. Bangunan Sebelah Selatan Kori Brajanala Selatan
Di sebelah kiri-kanan Kori terdapat bangsal Nyutra dan bangsal Mangundara. Di sebelah selatan Kori Brajanala Selatan terdapat :
a. Sitihinggil selatan, didirikan 2 Rabiulakir Wawu 1721, dan dahulu ada 4 meriam, 2 diantaranya diambil ke AMN Magelang.
b. Di luar Sitihinggil bagian barat dan timur adalah Lumbung Silayur.
c. Selatan Sitihinggil adalah alun-alun Selatan dan terdapat waringin kurung sakembaran. Alun-alun ini fungsinya untuk latihan keprajuritan.
d. Sebelah barat alun-alun adalah kandang gajah. Untuk lambang kebesaran raja, ia memelihara binatang-binatang buas. Dahulu ditempatkan di pintu-pintu gerbang dan sejak 1913 M dipindahkan ke Sriwedari.
e. Pintu gerbang alun-alun selatan bernama Gapurendra, dibangun pada Rabu 23 Rabiulakir Jimawal 1869 atau 23 Juni 1939.
f. Sekitar 150 M sebelah Timur Gapura Gading adalah kandang mahesa (kerbau).
A. Karaton Surakarta Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya
Sebuah peninggalan bersejarah tidak secara otomatis menjadi daya tarik bagi orang/masyarakat lain. Oleh sebab itu, agar menjadi sebuah daya tarik harus disampaikan, diperkenalkan, dimasyarakatkan, dipromosikan kepada semua pihak, khususnya orang/masyarakat di manca negara lebih-lebih masyarakat Indonesia yang merasa ikut memeilikinya.
Warisan budaya Karaton Surakarta kaya akan makna dan ajaran hidup dan kehidupan bagi manusia. Oleh sebeb itu warisan budaya Karataon bisa merupakan salah satu alternatif bagi orientasi perjalan hidup manusia.
Nilai instriksik dari warisan budaya Karaton Surakarta merupakan salah satu kekayaan dan memeberikan ciri khusus bagi masyarakat Jawa (paling tidak masyarakat Surakarta dan sekitarnya). Sehingga penggalian unsur-unsur yang membentuknya merupakan usaha kearah pengkajian segi positif dan yang memiliki daya manfaat bagi upaya mencari jati diri masyarakat yang mendukung, merasakan kehadirannya setelah mendalami isi, jiwa dan semangat dari ajaran yang tersirat dan tersurat.
Proses menemukan likasi Karaton Surakarta telah mengajarkan kepada semua orang bahwa kebahagiaan di dalam hidup ini tidak bisa diperoleh dengan berpangku tangan, tetapi harus diperjuangkan dengan semangat, jiwa raga yang tangguh, ulet dan tekun. Dan kebahagiaaan hidup manusia harus mencerminkan dimensi kehidupan baik duniawi maupun surgawi atau akherat.
Jiwa dan semangat pemindahan Pusat Karaton dari Kartasura ke Surakarta adalah kesadaran dan pemahaman secara mendalam akan kelemahan dan kekurangan dari penguasa dan kerabat pada masanya. Sehingga situasi itu melahirkan keputusan dan tekad untuk membangun hidup baru dan semangat baru di tempat baru yang diusahakan dengan modal spirit, keyakinan, harta benda serta didukung oleh kesatuan dan persatuan antara penguasa dan rakyat.
Prosesi ritual pemindahan Karaton dari Kartasura ke Surakarta adalah wujud fisik dari semangat tersebut. Rasa hormat dan memiliki atas harta, pusaka warisan budaya Karaton dari generasi pendahulu diwujudkan dalam peristiwa tersebut.
Peristiwa tersebut menjadi sangat manarik jika dikemas dan disajikan sebagai atraksi wisata budaya, baik bagi masyarakat pengunjung Nusantara maupun mancanegara. Penyelenggara harus siap dengan skenario yang benar dan asli menurut sumber dokumen yang terpercaya. Laporan ini juga menyajikan deskripsi data dan informasi tentang peristiwa tersebut. Pelaku, berbagai macam perangkat ritual, alat transportasi, busana, rute prosesi yang dilalui dari Kartasura ke Surakarta ; semuanya harus diatur dipersiapkan secara lengkap dan dapat dilaksanakan. Pemandu wisata dalam berbagai bahasa harus dipersiapkan untuk benar-benar menguasai profesi dan substansinya sehingga mudah dimengerti karena jelas disampaikan padapengunjung yang berprtisipasi dalam peristiwa tersebut.
Sinarning Resi Rasa Tunggal 1670, hari Rabu Pahing Jam 10.00 pagi, tanggal 14 bulan Sura Tahun Je, Wuku Landhep, Masa Kawolu, Windu Sancaya (Tahun Jawa) atau tanggal 17 Februari 1745; jadilah pusat Karaton Surakarta dipindahkan dari Kartasura ke Surakarta. Bumi baru, harapan baru, semangat baru dan kehidupan baru telah dimulai lagi oleh generasi penerus Dinasti Mataram di bawah pemerintahan Paku Buwana II di Surakarta Hadiningrat (Bratadiningrat, 1978).
RADYA LAKSANA INTI KEBUDAYAAN KARATON SURAKARTA
Inti kebudayaan Karaton Surakarta berupa gagasan, hasil olah (kerja) pikir dan batin manusia berupa perilaku hidup menyembah kepada tuhan YME dan perilaku hidup sosial budaya (hubungan dengan sesama): Nilai yang terkandung di dalamnya diwariskan pelestariannya dari generasi ke generasi, melalui proses seleksi nilai tersebut menurut lintasan perjalanan sejarah. Sri Radya Laksana adalah wujud dan gambaran inti kebudayaan Karaton Surakarta. Arti harafiahnya adalah perilaku lahir dan batin untuk menjunjung tinggi negara. Unsurnya terdiri dari ratu (raja), putra sentana, abdi dalem (punggawa), kawula (rakyat) fisik bangunan karaton, pemerintahan, wilayah dan kelompok tetua (pendahulu) yang dihormati.
Lambang Karaton Surakarta menggambarkan isi dan makna Sri Radya Laksana – inti kebudayaan karaton. Inti nilai ajaran budaya karaton dapat dipelajari dan dipahami dari sini, karena Budaya Karaton Surakarta merupakan sumber Budaya Jawa yang besar. Deskripsi simbol dan sumber budaya ini secara menyeluruh dan singkat dapat memungkinkan masyarakat pengunjung memahami makna budaya karaton dan orientasi nilai budaya yang dianut dan dikembangkannya.
Dalam Bab V ini akan dibicarakan 2 hal yaitu (1) wujud dan makna konsep Radya Laksana, (2) simbol dan filosofi Radya Laksana.
A. Wujud dan Makna Konsep Radya Laksana
Radya Laksana atau juga disebut Sri Radya Laksana merupakan lambang Karaton Surakarta hadiningrat. Sehubungan dengan pembahasan mengenai wujud dan makna konsep Radya Laksana maka ada 3 hal yang perlu dibicarakan. Ketiga hal tersebut yaitu (1) Konsep budaya karaton, (2) wujud Radya Laksana, dan (3) makna konsep Radya Laksana.
1. Konsep Budaya Karaton
Konsep budaya karaton ini maksudnya pengertian budaya menurut Karaton Surakarta Hadiningrat. Bukan pengertian budaya menurut orang lain, bukan pengertian budaya menurut pandangan di luar Karaton Surakarta. Hal ini perlu ditegaskan, sebab dapat membantu pemahaman kita mengenai pembahasan Radya Laksana sebagai inti Kebudayaan Karaton Surakarta.
Budaya Karaton atau juga dapat disebut kabudayan karaton. Kata budaya berarti “woh pangolahing budi” ‘hasil olah budi’. Makna tersebut mengandung dua pengertian yaitu (1) produk, tercermin dalam kata woh ‘buah’, dan (2) proses, tercermin dalam perkataan pangolahing budi olah budi’. Kata Karaton berasal dari kata Ratu ‘raja’, dan karaton itu bearti: pedalemaning ratu ‘kediaman raja’, dan ratu ‘raja’ menjadi “Pangembaning budaya Jawi”. Pangemban budaya Jawa yang didukung bersama-sama oleh Putra Sentana, Abdi Dalem,dan kawula tresna. Oleh karena itu, karaton juga sebagai tempat Manunggaling Ratu, Sentana, Abdi sarta kawula. ‘Bersatunya Raja, Sentana, Abdi serta Rakyat’. (KRMH. Yosodipura:1990;1).
Pernyataan budaya adalah woh pangolahing budi terdapat makna bahwa ngolah budi ‘mengolah budi’, itu merupakan karya manusia yang didasari lahir dan batin bersama-sama. Mengolah batin itu umpamanya : bertapa, bersemedi, dan sebangsanya yang pada pokoknya mendekat kepada Yang Maha Agung. Adapun mengolah lahir itu adalah tindak-tanduk berdasarkan keluhuran budi. Mengolah budi secara lahiriah dan batiniah inilah kemudian ada buahnya atau hasilnya, misalnya bangunan karaton, gamelan, gendhing, beksan, pusaka, tatacara, upacara dan sejenisnya, disebut Budaya.
Berdasarkan keterangan di atas jelaslah bahwa budaya karaton sebagai suatu produk yang melalui proses penciptaan secara lahir dan batin yang disertai permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar dapat memancarkan perbawa dan wibawa. Perbawa yaitu daya kekuatan yang tidak tampak, sedangkan wibawa adalah kekuatan yang tampak (Suseno Priyo Suseno, 1992:1). Dengan demikian budaya merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan
Sehubungan dengan arti pentingnya budaya dalam kehidupan, termasuk karaton, maka ada satu ungkapan yang terkenal dari karaton. Ungkapan tersebut berbunyi : kuncara ruming bangsa dumunung aneng luhuring budaya ‘kemasyuran keharuman suatu bangsa terletak pada keluhuran budaya. Ungkapan tersebut merupakan Sabda Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana X, yang menunjukkan fungsi betapa pentingnya budaya Karaton dalam kehidupan, khususnya kehidupan di lingkungan Karaton Surakarta. Betapa arti pentingnya Budaya Karaton dalam lingkungan kehidupan karaton melahirkan suatu anggapan bahwa karaton sebagai Sumber Budaya dan bukan sebagai Pusat Budaya.
Karaton sebagai sumber budaya maksudnya karaton memiliki fungsi sebagai asal budaya. Dalam arti karaton sedagai sumber budaya Jawa. Hal ini perlu ditegaskan sebab ada istilah karaton sebagai pusat budaya. Disini ada dua pengertian yang berbeda. Karaton sebagai sumber budaya mengandung makna bahwa karaton sebagai tempat asal budaya, sedangkan karaton sebagai pusat budaya mengandung maksud bahwa karaton sebagai tempat berkumpulnya budaya. Sumber budaya juga mengandung makna tempat asal inspirasi, dan pusat budaya mengandung makna tempat koordinasi dari beberapa inspirasi.
Karaton Surakarta dengan segala isinya merupakan budaya peninggalan para Leluhur Hingkang Jumeneng Nata yang sampai sekarang masih dapat disaksikan. Pada umumnya masyarakat mengakui bahwa Karaton sebagai sumber kabudayan Jawi ‘sumber kebudayaan Jawa’. Cabang-cabang kebudayaan Jawa, khususnya di Surakarta, dapat dirunut kembali ke sumbernya yaitu Karaton Surakarta, sebagai contoh misalnya tatacara perkawinan Jawa.
Masarakat surarakarta pada umumnya ,mencontoh tatacara perkawinan yang dilaksanakan di karaton. Pada umumnya masyarakat masih percaya bahwa karaton sebagai sumber budaya Jawa. Disengaja atau tidak, masyarakat masih mencontoh tata cara perkawinan menurut adat Karaton meskipun tidak persisi sama. Hal yang demikian mengisyaratkan bahwa karaton sebagai sumber budaya Jawa menjadi panutan masyarakat yang ingin melestarikan kebudayaan Jawa.
Karaton adalah tempat tinggal raja (Ratu) dengan keluarganya atau merupakan pusat pemerintahan, ibu kota negara. Karaton sama dengan “’negara” (dalam bahasa Jawa nagari), yang memiliki pemerintahan sendiri (pamarentah), daerah tertentu (wewengkon), dan rakyat (kawula). Oleh karena itu, tempat tinggal atau bangunan atau rumah yang bukan kediaman raja bukanlah karaton. Karaton Surakarta Hadingingrat adalah peninggalan kenegaraan Indonesia asli dari kebudayaan Jawa, yang memiliki pemerintahan sendiri (otonom), daerah dan rakyat (kawula). Dengan kata lain, Karaton Surakarta adalah sebuah negara (Surjandjari Puspaningrat, 1996:36).
Karaton Surakarta sebagai suatu negara memiliki lambang yang disebut Radya Laksana. Dalam lambang tersebut mengandung makna yang dalam mengenai budaya karaton. Oleh karena itu, untuk mengetahui inti kebudayaan karaton dapat diketahui lewat Radya Laksana. Disamping karaton sebagai suatu negara, memiliki lambang atau simbol, karaton sendiri dapat dianggap sebagai lambang
Karaton Surakarta sebagai lambang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Lambang kemanunggalan tiga unsur yaitu Raja, Sentana Dalem, dan Abdi Dalem/siapapun yang mengkeblat karaton.
b. Lambang anugerah/wahyu Tuhan.
c. Lambang tempat kedudukan wahyu Tuhan (Surjandjari Puspaningrat 1996:37).
Karaton Surakarta sebagai suatu lambang termasuk juga bangunannya. Hal yang demikian tercermin dalam Sabda Dalem Ingkang Minulya Saha Wicaksana Suhandap Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana X sebagai berikut:
“Karaton Surakarta Hadiningrat, haywa kongsi dinulu wujude wewangunan kewala, nanging sira padha nyumurupana sarta hanindakna maknane kang sinandi, dimen dadya tuntunan laku wajibing urip hing dunya tumekeng delahan”.
Janganlah Karaton Surakarta Hadingingrat hanya dilihat dari wujud/bentuk bangunannya saja, tetapi hendaknya diketahui, dimengerti serta dijalankan makna pesan-pesan yang tersirat dan tersurat, agar dapat menjadi tuntunan menjalankan kewajiban hidup di dunia dan akherat.
Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa bangunan karaton memiliki makna tersirat. Makna tersirat ini sama dengan lambang atau simbol. Oleh karena itu, dengan kata lain perkataan dapat dinyatakan bahwa karaton dapat dianggap sebagai lambang. Sebagai suatu lambang,karaton memiliki makna simbolis, dalam hal ini adalah bangunan karaton
Karaton Surakarta adalah asset wisata budaya, yang menjadi salah satu atraksi dan objek wisata budaya di Indonesia, khususnya Propinsi Jawa Tengah. Kekayaan budaya yang dikandungnya ibarat tambang emas yang belum secara optimal dimanfaatkan. Oleh sebab iu, agar supaya masyarakat pengunjung dan calon pengunjung baik nusantara maupun mancanegara secara lebih awal memiliki dan dapat dibangun persepsi serta imaginasinya tentang budaya karaton; mereka perlu mendapatkan penjelasan/deskripsi singkat yang mendalam tentang Sri Radya Laksana. Pemahaman tentang kebudayaan Karaton Surakarta harus berawal dari sini.
Suguhan atraksi ini merupakan satu kunci pintu gerbang yang bisa membuka wawasan, memotivasi, serta mengajak pengunjung menyaksikan, merasakan dan menghayati isi kebudayaan berupa atraksi dan objek wisata budaya karaton yang disajikan. Dampak yang dapat diharapkan dari usaha ini adalah membangun persepsi dan imaginasi pengunjung dan sekembalinya dari karaton membawa kenangan yang bisa diceritakan, ditularkan kepada sanak saudara, teman dan kolega di tempat asalnya.
WARISAN BUDAYA KARATON SURAKARTA
Kebudayaan Karaton Surakarta sebagai sebuah warisan budaya yang besar meliputi segi fisik dan non fisik. Keduanya merupakan kesatuan dwi tunggal yang tidak bisa dipisahkan, sebab segi fisiknya menjadi wadah dari segi fisiknya menjadi wadah dari segi budaya non fisiknya. Sebuah fisik bangunan karaton berkaitan secara fungsional dengan fisik bangunan lainnya, dan masing-masing memiliki makna simbolik berupa nilai sosial budaya yang melekat.
Kesatuan seluruh fisik bangunan karaton meliputi dari Gapura Gladag sampai ke Gapura gading termasuk Mesjid Agung. Struktur kompleks fisik bangunan karaton melambangkan perjalanan hidup dan kehidupan manusia dari dimensi keduniaan ke arah penyatuan hidup dengan Tuhan Yang Maha Pencipta. Oleh kaena itu secara garis besar struktur kompleks bangunan karaton dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu kelompok fisik bangunan yang sifatnya melambangkan kehidupan profan dan yang sakral. Secara rinci fisik bangunan karaton dikelompokkan ke dalam yang fungsinya profan, semi sakral dan sakral. Gambaran sifat dan fungsi bangunan tersebut terlihat sejak dari utara, yaitu; Gapura Gladag sampai ke inti bangunan sakral Dalem Prabasuyasa.
Budaya nonfisik karaton yang diwariskan sampai sekarang berupa berbagai bentuk seni budaya, misalnya; tari, musik, busana, pusaka, sastra dan sebagainya. Bentuk warisan lainnya adalah adat tata cara karaton yang sampai saat ini sebagian besar dijalankan, dilestarikan, misalnya ; upacara jumenengan (penobatan raja) dalem PB XII, Upacara Grebeg Sura, Mulud, dan Besar, pemeliharaan pusaka, Upacara sesaji Mahesa Lawung, Perkawinan Agung dan sebaginya.
Deskripsi warisan budaya Karaton Surakarta merupakan usaha untuk mengungkapkan secara menyeluruh dan lengkap semua unsur dan segi warisan budaya karaton. Dengan demikian, budaya Karaton Surakarta dapat disajikan secara urut, menyuruh dan menggamparkan kesatuan semua unsur serta aspek fisik dan nonfisiknya.
Contoh berikut ini diambil dari bangunan-bangunan yang terdapat di kompleks istana, yaitu:
a. Lingkungan Karaton (Poerwadhanata, 1939: 13-15)
1) Bangunan Datulaya (Prabasuyasa), menghadap ke selatan (menurut kepercayaan menghadap istana Kangjeng Ratu Kidul), tetapi pringgitandan pendapa menghadap timur, terletak di sebelah kiri bangunan bentuk lambang gantung dan disebut Sinom Mangkurat.
2) Pringgitan (Sasanaparasdya) = bangunan bentuk Jiglo kepuhan tanpa perangkap, sehingga berupa empyak (atap) branjang, tanpa emper (jubungan). Terletak di sebelah timur dalem Prabasuyasa, menghadap ke selatan.
3) Pendapa: terletak di sebelah timur Pringgitan, menghadap ke timur disebut Sasanasewaka, Bangunan Joglo Pangrawit.
4) Di sebelah timur pendapa terdapat bangunan kotangan (separuh tembok separuh papan), disebut Malege (sekarang dindingnya dihapus). Bentuk limasan, jubungan (tanpa emper).
5) Di sebelah selatan Sasanaaewaka terdapat bangunan rumah memanjang membujur utara selatan. Bentuk limasan klabang nyander, DISEBUT Sasana Handrawina.
6) Sasanasewaka disekelilingi oleh bangunan rumah kecil panjang mengelilingi Sasanasewaka, disebut Paningrat. Bentuknya Sinom Klabang Nyander
7) Di halaman terdapat bangsal Bujana, Pradangga, dan Bangsal Matik. Bentuknya Jubungan Klabang Nyander.
8) Pada batas halaman terdapat bangunan rumah bentuk L, disebut Panti Pangarsa, yang digunakan sebagai kantor Tetua, dari utara ke selatan terdapat kantor-kantor Bale Kretarta (Kantor Pemerintah Kraton), Reksa Hardana (Kas Kraton), Sitaradya (Kantor Pembesar Pemerintah Karaton, Museum Karaton, Sasana pusaka (Perpustakaan), Kantor Mandrasana (Kantor Kebutuhan Harian Kantor); Balekarta (Kantor Perbelanjaan Kraton), Gedong Karyalaksana (tempat memasak).
9) Di sebelah utara Sasanaparasdya, terdapat Sasanawilapa, yang dijadikan Gedung Keputren (Sasana Putri dan Wirakarya), dan sebelahnya terdapat Sasanapriya (Wiwarapriya), bentuknya Limasan Sinoman Rombong Gantung.
10) Di sebelah utara Wiwarapriya terdapat Sasana Sri Manganti Utara, berbentuk Limasan Jubungan Semar Tinandhu. Di dekat sri Manganti terdapat bangunan Nguntarasana, yang sekarang dijadikan kantor Sasabawilapa, berbentuk Limasan Sinoman. Sedang di bagian akhir dari bangunan Nguntarasana, ada bangunan lain dengan bentuk Joglo Semar Tinandhu. selain itu masih banyak bangunan rumah-rumah untuk kepentingan sehari-hari dan beberapa bangunan Panggung Sanggabhuwana.
b. Lingkungan rumah tempat tinggal Pejabat Tinggi Istana/Kerajaan.
Mereka itu antara lain Patih, Adipati, Bupati, para Pangeran, para Gusti dan sebagainya. Baik rumah tempat tinggal (omah buri) maupun rumah depan (pendapa) menggunakan bentuk bangun Joglo (Joglo Lawakan dan Joglo Jubangan). Pringgitan biasanya menggunakan bentuk Limasan Klabang Nyander. Disamping itu masih banyak bangunan rumah untuk keperluan sehari-hari (gadhok, lumbung, regol, dapur dan lain-lainnya).
c. lingkungan rumah tempat tinggal pejabat Karaton di bawah Bupati.
Termasuk kelompok ini adalah Kaliwon, Panewu, Mantri, Lurah, Bekel, Jajar. Baik rumah tinggal (omah buri) maupun rumah depan (pendapa) menggunakan bentuk limasan atau sinoman. Sedang pringgitan menggunakan bentuk limasan klabang nyander. Disamping itu masih banyak bangunan rumah untuk kepentingan sehari-hari
d. lingkungan rumah tinggal priyayi (bangsawan) dan golongan kaya (wong ilik kaya).
Bentuk bangunan rumah tinggal, rumah depan dan pringgitan, tidak ada ketetapan, akan tetapi, menurut selera pemiliknya, asal bukan bentuk Joglo Pangrawit atau bentuk mangkurat. Biasanya rumah tinggal dan rumah depan mengambil bentuk bangunan Joglo. Namun ada pula yang menggunakan bentuk rumah kampung, limasan atau sinoman atau yang lain.
e. lingkungan rumah tinggal kawula (wong cilik)
Terhadap kawula (wong cilik) terdapat larangan membuat rumah tinggal dengan menggunakan bentuk rumah joglo dan limasan yang serupa dengan karaton. Selain itu larangan menggunakan bentuk rumah dengan karaton. Selain itu larangan menggunakan bentuk rumah limasan yang berpintu di bawah pengeret. Rumah yang berpintu di bawah pengeret disebut Kejen Terus atau Sujen Terus. Untuk wong cilik hanya diperbolehkan menggunakan bentuk rumah kampung dengan segala variasinya.
Demikian sedikit gambaran mengenai penggunaan bentuk bangunan rumah tinggal dengan segala kelengkapannya. Pada jaman kerajaan ketentuan penggunaan bentuk bangunan rumah tinggal sangat dipatuhi oleh semua warga masyarakat, baik sentana, abdi maupun kawula dalem. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah kerajaan tidak berkuasa, ketentuan tersebut sedikit demi sedikit memudar. Warga masyarakat mulai menggunakan bentuk bangunan rumah yang mereka sukai. Namun karena tradisi tersebut sudah sangat kuat melekat di hati rakyat, mereka belum berani menggunakan bentuk mangkurat, arah rumah tinggal dengan rumah depan tetapmengahadap ke selatan atau utara, tergantung lokasinya. Penggunaan petangan di dalam pembuatan rumah baru tetap digunakan mulai dari yang menggunakan bentuk joglo dan menghadap ke timur, sampai bangunan-bangunan baru model barat berupa gedung-gedung yang sudah tidak memenuhi bangun tradisional rumah adat Jawa. Oleh karena itu sebagai usaha pelestarian budaya Jawa dalam hal bangunan rumah adat Jawa, maka bangunan rumah yang digunakan di kompleks istana wajib tetap dipertahankan, walaupun karena usia atau kerusakan, bangunan rumah tersebut diperbaharui seperti bangunan dasar: panggungpe, limasan, sinom, rumah kampung dan joglo.
Sumber Tulisan: http://www.karatonsurakarta.com