Jogja `The Gudeg City That Never Sleeps`

Oleh Khidir Marsanto

Suatu waktu, kala itu sekitar jam 22.30, seorang mahasiswa asing bertanya kepada saya yang dalam bahasa Indonesianya kira-kira begini,”Di mana ya kita bisa cari makan jam segini selain ‘fast food’ dan pedas (masakan Padang yang dimaksud)?” Karena si ‘bule’ menghindari pedas dan masakan cepat saji, maka saya pun menjawab: gudeg!

“Lho, gudeg itu makanan siang atau pagi hari, bukan?” lanjutnya. Usut punya usut, ternyata ia pernah membaca keterangan soal gudeg di peta wisata kuliner khas Jogja yang entah diterbitkan oleh siapa. Nah, dari situ saya lantas berpikir apa si pembuat peta pedoman wisata kuliner khas Jogja tidak pernah tahu bahwa gudeg Jogja selalu hadir kapanpun dan di manapun. Dari sifatnya ini, gudeg menjadi berbeda dengan kuliner lain yang “mengenal waktu”. Dan, dengan demikian, ini menjawab mengapa Jogja berpredikat sebagai kota gudeg.

Coba saja, di malam hari lokasi warung masakan yang disajikan bersama sayur kerecek, telur, dan suwir ayam ini tersebar hampir di tiap sudut Kota Jogja, biasanya di tepi-tepi jalan. Di utara, lesehan gudeg ada di Jalan Kaliurang di perempatan Kentungan, Jalan Prof. Yohanes Sagan, dan Jalan Affandi (dulu Gejayan). Kemudian di timur, ada di sekitar gapura batas kota dan Jalan Laksda Adisutjipto dekat UIN Sunan Kalijaga. Wilayah tengah dan barat kita jumpai di dekat Tugu pal putih, Pingit, atau daerah dekat Pakuncen misalnya. Di selatan, di sekitar Gedung Bioskop Permata Jalan Sultan Agung, Malioboro, sampai Wijilan (dekat Alun-alun Utara).

Sungguh menakjubkan, sebuah peta kuliner khas Jogja hanya dari satu jenis masakan! Sehingga, tak jarang muncul kebimbangan: mau makan gudeg yang mana, gudeg Bu itu atau gudeg Yu ini ya? Gudeg sebagai salah satu ragam kuliner khas Jogja tak lain merupakan simbol kota, mirip lumpia basah di Semarang atau sego liwet di Solo. Masifnya pedagang gudeg di Jogja tersebut perlu dicatat bahwa gudeg tidak hanya menjadi menu malam hari, namun juga menu sejak matahari mulai terbit dan siang hari.

Kalau di pagi hari, sebagai menu sarapan kita bisa menyantap bubur gudeg yang gurih di dekat Pojok Beteng Wetan misalnya. Atau, nasi gudeg di daerah Barek, dekat Kampus UGM. Pun sebagai oleh-oleh bagi para wisatawan, dengan kendil gudeg mampu bertahan lama tanpa bahan pengawet dan tanpa mengurangi cita rasa uniknya.

Keunikan lainnya dari gudeg ialah tak perlu embel-embel Buka 24 Jam, 24 Hours, atau Nonstop 24 Jam, orang mengerti dengan sendirinya bahwa gudeg tersedia kapanpun di kota ini. Tak perlu memasang billboard atau spanduk iklan berbiaya mahal sebagai media promosi, berbondong-bondong penikmat cita rasa gudeg dari bermacam kalangan selalu meramaikan lesehan dan warung-warung gudeg di Jogja.

Ya, dari pertanyaan si “bule” itu kemudian saya sadar, nampaknya kita perlu membuat peta lebih detil soal jenis masakan berbahan dasar gori (buah nangka muda) ini, untuk kita dan untuk para pendatang. Bahwa gudeg hadir mulai pagi hingga larut malam dengan keragaman jenis masakannya, baik gudeg basah atau kering. Dan tentu saja, tidak keliru apabila kita lantas mengumpamakan fenomana gudeg di Jogjakarta layaknya jargon New York City sebagai “Jogja the gudeg city that never sleeps!!”

Khidir Marsanto P., lulusan Antropologi UGM
*dimuat di rubrik Keliling Kota, Kompas Jogja 29 Juli 2009

-

Arsip Blog

Recent Posts