Oleh: Makmur Anwar M.H
Sastra adalah cabang seni yang bergerak dan sekaligus menggunakan bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dinyatakan bahwa sastra adalah (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) kesusastraan; (3) kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan; (4) kitab; pustaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb); (5) tulisan; huruf. Dari penjelasan tersebut, arti yang pertama adalah bahasa, dan arti kedua adalah kesusastraan. Ketika saya menjadi siswa kelas satu di SMA Negeri 1 Jurusan Sastra, di Yogyakarta, saya mendapat penjelasan dari guru, bahwa kesusastraan berasal dari susastra yang mendapat imbuhan ke-an; su adalah imbuhan yang berarti indah, sastra berarti tulisan. Jadi, kesusastraan adalah perihal tulisan yang indah.
Kesusastraan mempunyai arti yang lebih sempit dari kesastraan. Yang mempersempit arti tersebut adalah su-, yang berarti indah. Tentang keindahan dari kesusastraan itu sendiri sulit dijelaskan karena indah pada prinsipnya adalah suatu yang bersifat relatif. Masing-masing orang mempunyai pandangan tentang keindahan. Karya sastra bertemakan kritik atau pengkritisan meski tetap mempunyai keindahan. Namun, barangkali orang yang terkena kritikan akan mengatakan bahwa karya yang dimaksud tidak indah. Kritik sendiri ditulis atau diungkapkan sebagai sesuatu yang mengandung maksud, yang bagi masyarakat umum baik atau indah.
Arti sastra yang pertama diberikan oleh KBBI adalah bahasa, ini berarti bahwa sastra dan bahasa tidak dapat dipisahkan, sebab sastra adalah tulisan yang menggunakan bahasa. Bahasa adalah alat atau sarana untuk berpikir. Orang yang tidak mengenal satu bahasa pun ia tidak akan dapat berpikir. Bahasa juga merupakan alat untuk mengkspresikan pikiran atau ide yang tersimpan. Orang yang belum mempunyai bahasa yang dikuasai belum dapat mengungkapkan isi hatinya. Ini pernah saya alami waktu anak pertama saya baru belajar berbicara. Hampir tiga tahun ia belum dapat berbicara. Saya konsultasikan kepada seorang dokter apakah anak saya tersebut bisu. Dokter mengatakan bahwa anak itu tidak bisu, sebab bisu itu disebabkan karena tidak dapat mendengar dan tentunya tidak dapat menirukan apa yang diucapkan oleh seseorang. Pendengaran anak saya baik dan tidak ada gangguan. Akhirnya, saya konsultasi dan mohon petunjuk kepada Prof. KMA.M. Usop, M.A. Beliau menanyakan kepada saya apa bahasa yang saya gunakan di rumah, apa bahasa yang dipakai istri saya, dan bahasa apa pula yang dipakai oleh teman-teman bermainnya. Saya mengatakan kepada beliau bahwa bahasa sehari-hari saya berbeda dengan istri saya dan berbeda pula dengan bahasa yang dipakai teman-temannnya. Akhirnya, beliau menjelaskan kepada saya bahwa anak saya tersebut tidak mengalami kesulitan dalam menyerap bahasa, karena bahasa yang bermacam-macam yang dialami oleh anak tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Beliau mengatakan agar saya tidak perlu cemas karena anak tersebut hanya sedang mencari dan memilih bahasa yang akan dijadikan pegangan. Ternyata apa yang beliau katakan adalah benar, karena begitu anak saya dapat berkata-kata, ia langsung dapat membedakan bahasa apa yang harus disampaikan kepada ibunya, kepada saya, dan kepada teman-teman bermain-mainnya dalam waktu yang bersamaan. Ini adalah pengalaman saya yang sangat berharga dan penjelasan Pak Usop tersebut adalah sesuatu yang sangat berharga dan tidak pernah saya lupakan. Pak Usop adalah dosen saya yang banyak membantu saya baik dalam studi saya maupun dalam penulisan skripsi dan bahkan hal-hal lain seperti organisasi.
Saya menyukai sastra terutama puisi sejak saat masih duduk di SMP Jurusan A (Sastra Budaya) di Yogyakarta. Saya mulai mengarang puisi mulai kelas 1 SMA di Yogyakarta dan puisi itu saya kirimkan ke redaksi majalah siswa. Betapa gembiranya saya karena karya pertama saya dimuat di majalah Tifa Siswa, begitu nama majalah itu. Sayang, saya tidak dapat mengingat karya tersebut. Majalahnya pun hilang. Pada tahun 1955, SMA Sastra Negeri di Yogyakarta telah memiliki majalah siswa yang bernama Rakta Pangkajia. Majalah itu bukan lagi berbentuk majalah dinding, tetapi sudah berupa majalah terbitan tercetak yang dikelola oleh para siswa dengan rapi. Ini barangkali kelebihan SMA Sastra dari SMA-SMA umum lainnnya. Penyajian pengajaran bahasa Indonesia dan sastra banyak disampaikan dalam bentuk diskusi dan terbimbing (guided discussion). Dari diskusi itulah saya menjadi tahu betapa luasnya makna dan maksud yang dikandung oleh karya sastra, dari makna sebenarnya, kiasan, majasi, dan metaforis atau perbandingan dan perumpamaan.
Kepengarangan saya terhenti ketika saya menekuni ilmu dan pengetahuan hukum di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Namun, saya kembali menekuni dunia kepengarangan setelah saya menjadi guru di SMA Negeri Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Saya mulai mengajarkan sastra dengan cara yang seperti saya peroleh. Kami mulai mengadakan lomba baca puisi pada hari-hari penting seperti Hari Sumpah Pemuda dan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Demikian halnya ketika saya mengajar di SMA Negeri 1 Palangkaraya, Kalimantan Tengah, tepatnya tahun 1971. Kami mengadakan lomba baca puisi pada Hari Pendidikan Nasional. Sejak saat itu, sekolah-sekolah lain di Palangkaraya juga mulai mengadakan lomba baca puisi. Dari kegiatan lomba tersebut, saya juga menjadi tahu betapa miskinnya perbendaharaan puisi di kalangan siswa dan sekolah. Ini yang mendorong saya untuk melakukan kegiatan bimbingan sastra, baik dalam kegiatan ”Tebaran Sastra di RRI Palangkaraya” maupun ”Tabib (Taman Bina Ide dan Bakat) Puri Damai”. Tebaran Sastra adalah acara yang dulu diasuh Bang Jack F. Nahan. Disela-sela kegiatan itu saya sering berdiskusi dengan Bang Badar Sulaiman Usin (BSU) almarhum.
Selanjutnya kami menyelenggarakan Baba (Baca-Bahas) Puisi bersama Mas Eko (Yulianto Eko Sunugroho = YES) dan mendirikan Kelompok Teater Senjang. Saat itu Teater Senjang menampilkan M. Razi, Mahmudah, dan Elsi Suriani Titin. Sebenarnya Baba Puisi direncanakan sebagai program tahunan dan sudah berjalan sampai lima tahun. Namun, akhirnya kegiatan ini harus kandas karena tidak adanya dana pendukung, sementara saat itu sangat sulit mencari sponsor untuk kegiatan sastra. Kelompok Baba Puisi juga diramaikan oleh teman-teman yang berteater tersebut dan teman-teman lain diantaranya Mirza Wanara Fitri kakak beradik. Salah satu yang ikut aktif di dalamnya adalah Siti Nafsiah yang sekarang berkarya politk bersama Golkar dan duduk sebagai Ketua Komisi C DPRD Kalimantan Tengah. Pada waktu Kanwil Dekdikbud dipimpin oleh Bapak Hengki Sumuan dan Drs. Taya Paembunan. Saat itu puisi sangat diperhatikan sehingga tiap-tiap ada kegiatan baik intern Kanwil maupun kala ada kunjungan pejabat dari Pusat baik itu Dirjen, Sekjen maupun menteri P dan K selalu disuguhkan bacaan puisi.
Pernah suatu saat, ada kegiatan yang tidak menampilkan bacaan puisi, Bapak H Sumuan dan Pak Taya menanyakan kepada saya perihal ketiadaan baca puisi. Sehingga pada saat Pisah Sambut kepindahan Pak Taya kembali ke Jakarta, kami juga mengadakan acara baca puisi, khusus untuk Pak Taya. Salah satu kalimat dalam puisi itu berbunyi” Selamat jalan Pak Taya, jangan lupakan kami, jangan lupakan Kalimantan Tengah”. Puisi ini memberi kesan tersendiri di hati beliau sehingga beliau menuliskan sebuah buku tentang Kalteng dan diluncurkan di gedung Aula Kanwil Depdikbud. Menurut beliau puisi tidak boleh dipandang hanya sebagia hiburan, tetapi juga sebagai media yang dapat dititipi pesan apa saja, dari masalah pendidikan agama sampai masalah pembangunan.
Kepindahan Bung Yohanes Djoko Santoso Passandaran dari Kuala Kapuas ke Palangkaraya menjadi dosen di Program Studi Bahasa dan Sastra Indoensia FKIP Universitas Palangkaraya memberikan dorongan kegiatan sastra di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ia membukukan sendiri beberapa puisinya dalam kumpulan puisi Sajak- Sajak Kecil Perjalanan. Saya sering berdiskusi dengan beliau tentang bagaimana mendorong dan mengajak para siswa berkarya puisi dan meningkatkan karangan serta kualitasnya. Lewat Tabib Puri Damai, beliau ikut menyelenggarakan lomba Baca Puisi. Bang HABSU (Haji Ahmad Badar Sulaiman Usin, Saapan Badar Sulaiman Usin setelah menunaikan ibadah haji). Saya maupun teman-teman yang lain termasuk sastrawan yang kurang produktif dalam hal penerbitan buku, karena kemampuan finansial yang sangat terbatas. Kami baru menuangkan karya-katrya dalam buku setelah ada pihak yang berkenan mensponsori. Keadaan agak berubah setelah buletin sastra Dermaga terbit. Buletin ini digagas oleh Bang HABSU dan didukung Ikatan Pecinta Seni Sastra Palangkaraya (IPSSP). Buletin ini dimotori oleh Wansel Eryanatha Rabu, Barthel Usin dan Sutran. Ketiga orang ini memang bergelut dalam bidang jurnalistik. Selain itu ada pula Dini Sofian serta Bambang Juniarto yang sejak tamat kuliah sampai sekarang belum terlacak keberadaannya. Selain menerbitkan Dermaga, IPSSP juga pernah menerbitkan antologi puisi penyair Palangkaraya, sayang saya tidak memiliki arsipnya.
ISASI (Ikatah Satrawan Indonesia) daerah Kalimantan Tengah kemudian ikut bergabung bersama IPSSP. Saat itu ISASI dipimpin oleh Bang Jack F. Nahan. Kehadiran ISASI ikut memperkuat buletin Dermaga. Meskipun baru berupa stensilan, HABSU berani mengirimkan beberapa edisi ke teman-teman seniman sastra di daerah lain, juga ke pusat dokumentasi sastra HB Yassin. HABSU lalu membukukan puisinya dalam kumpulan puisi yang berjudul Rambahan. Buku ini disponsori oleh Mas Dapi Fajar Raharjo, Mohammad Alimulhuda, Samsul Munir, Suyitno BT, dan teman-teman yang tergabung dalam ISASI. Saat itu ISASI berada di bawah koordinasi Dr. J.J Koesni selaku Ketua ISASI. Setelah kumpulan puisi ini terbit, lalu terbit pula kumpulan puisi yang disponsori oleh Kantor Wilayah Pariwisata Seni dan Budaya (Parsenibud) Kalimantan Tengah. Kumpulan puisi ini berjudul Tiga Sosok Berpadu Takdir, memunculkan puisi-puisi bertemakan pariwisata karya HABSU, Makmur Anwar M.H, dan Andi Burhanuddin. Saat itu Kantor Parsenibud berada di bawah kepemimpinan Bapak Drs.H Hamdulilah Salim.
Setelah Tiga Sosok Berpadu Takdir, Aliemha (sapaan Mohammad Alimulhuda) dan kawan-kawan dari ISASI Kalteng menerbitkan Negeri Bekantan, sebuah antologi puisi para penyair Kalimantan Tengah. Di dalamnya memuat karya-karya Lukman Juhara, Dra. Nani Setiawati, M.Si., Sujudi Akbar Pamungkas, M. Anwar M.H., Alifiah Nurahmana, Supardi, R. Bagaspathi, Suyitno BT, Titin Nafsiah Rafles, Amang Bilem, Esa Sukmawijaya, Padmi Sando Eraini, S.Pd., Samsul Munir, Qomaruddin Asss’adah SP, Harland S. Muhammad, Wansel Eryanatha Rabu, Drs. Fajar Siddiq, Ariel Abuhasan, Lamatsyiah M Tiong, Tutur Krishandojo, Ruslimah, Surya Wira Buana, Yohanes C Karambut, Priyatna, Misnawati, Yuliati Eka Asi, Ad Rahmayanti, dan Nor Hasanah. Dari sekian banyak nama itu ada beberapa yang memang sudah dikenal sebelumnya dan ada pula yang baru dikenal. Beberapa di antaranya kini sudah tidak terdengar gaungnya, namun ada pula terus berkarya, hidup dan berkibar benderanya.
Tabib diminati oleh adik-adik yang masih kecil diantaraya Elis, yang dulu sering ditampilkan di layar TVRI, Herawati, Citra, Pahit, Amy, dan Sekar yang sering pula tampil di RRI Palangkaraya membaca puisi dan bermain sandiwara udara, menyosialkan program Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Citra dan Amy sempat diundang ke Jakarta oleh IKAPI di bawah ibu Upi Tuti Sundari Azmi yang akrab dipanggil Bu Upi, untuk membacakan pusi di acara pembukaan Pameran Buku Internasional. Acara itu dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Bapak Sumantri Brodjonegoro di Balai Sidang Senayan, Jakarta.
Tabib juga memunculkan adik-adik yang kemudian ikut dalam kegiatan-kegiatan lain baik dalam berteater maupun berpuisi bersama dengan teman-teman yang lain. Tabib, Baba Puisi dan Teater Senjang sering mengadakan kegiatan lomba baca Puisi. Bahkan para anggota Teater Senjang berhasil menang dalam Lomba Menulis dan Baca Puisi bertemakan Pancasila yang diselenggarakan oleh BP-7. Lomba menulis Essai bertemakan Pancasila memunculkan Mamahut, permunculan nama lain dari M Anwar MH, juga anggota teater Senjang sebagai juara pertama. Selain itu masih banyak prestasi yang berhasil diraih oleh para anggota teater Senjang.
Bersama redupnya Baba Puisi, Teater Senjang pun mulai tenggelam dan pulas dalam tidurnya. Sejak itu muncullah Teater Kharisma di bawah pimpinan Drs. Puji Santoso. Tetapi kehidupannya juga tidak mampu bertahan lama, walaupun sempat berkiprah meramaikan panggung teater Palangkaraya. Namun, Alhamdulillah. setelahnya muncul sanggar teater yang baru yang sampai sekarang masih menunjukkan keaktifannya, yaitu Srikandi Tiung Gunung Balamping Emas di bawah pimpinan Rr. Tri Rahayuningsih. Pemain utama dan seniornya adalah Aliemha. Teater ini banyak melibatkan adik-adik mahasiswa, siswa-siswi SMP, SMA, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.
Sememtara itu di kampus Universitas Palangkaraya juga berkembang Teater Tunas sebagai ajang berkiprah bagi para mahasiswa-mahasiswi FKIP Program Studi Bahasa Indonesia dan sastra Jurusan Bahasa Indonesia dan Daerah. Bersamaan dengan aktifnya sanggar-sanggar teater ini, muncullah satu lagi teater dan sastra kampung (Terapung) di bawah kepemimpinan Aliemha. Teater ini diminati banyak pihak untuk bergabung dan bekarya di bidang teater, bahkan adik-adik kita yang kecil ikut bermain di dalamnya, salah salatunya adalah melakonkan ”Ember”. Teater Terapung sangat menarik perhatian karena membina anak-anak untuk cinta teater, juga dengan kehadiran teater bocahnya (diberi nama teater Ember). Sampai sekarang sanggar ini masih aktif dan terus aktif bahkan sering bermuhibah ke beberapa daerah lain. Terakhir bulan Juli lalu mereka ke Pontianak, Kalimantan Barat. Di era aktifnya, sanggar-sanggar teater ini berhasil menjadi tuan rumah dalam adu kreasi pekan teater dengan menghadirkan Group Teater dari Banjarmasin, Malang, Jombang, Jatim, dan Sampit. Kelompok Sampit yang aktif melalui studi Art Sampit sering mengundang Teater Terapung dan sebaliknya mereka juga bermain di Palangkaraya dan mengikuti program-program Terapung.
Dengan dibukanya Kantor Bahasa Palangkaraya pada tahun 2000 di Kalimantan Tengah, kegiatan sastra semakin marak saja. Kantor Bahasa Palangkaraya ini sering mengadakan Bengkel Sastra di SMA-SMA di Palangkaraya dan daerah-daerah lain di Kalimantan Tengah dengan melibatkan tenaga-tenaga yang ada seperti Mas Eko, Aliemha, Dapi Fajar Raharjo, M. Anwar MH, dan para dosen Bahasa Indonesia dan Sastra Unpar.
Setelah Kantor Bahasa Palangkaraya berubah menjadi Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2003, mereka pun semakin meningkatkan peranan dan partisipasinya dalam membina mengembangkan serta menggerakan para seniman sastra dan teater di wilayah ini. Di antaranya adalah seminar sastra yang menampilkan Tokoh Budayawan Prof. K.M.A.M. Usop, M.A., dan dihadiri pejabat dari Pusat Bahasa, Drs. Abdul Rozak Zaidan, M.A. Saat itu Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah berada dibawah kepemimpinan ibu Jatiwati, S.Pd., Di sini, tampak kesastrawanan dan kebudayawaman Pak Usop di tengah masyarakat luas Kalimantan Tengah.
Dalam waktu dua tahun terakhir, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah semakin menggiatkan program kesastraannya dengan mengadakan Lomba Baca Puii bagi Guru SD, Lomba Bertutur/Mendongeng atau Bercerita bagi Siswa SD, Lomba Mengarang Cerita Pendek, Lomba Musikalisasi Puisi, Sayembara Penulisan Cerita Rakyat, Bengkel Sastra, Penulisan Kreatif Cerpen, temu sastra, dialog sastra, seminar pengajaran sastra, bedah buku sastra, bimbingan penulisan sastra, dan lain-lain (maaf, saya tidak mampu menghafalnya). Ini merupakan momen yang sangat menggairahkan bagi keatifitas para sastrawan di daerah Kalimantan Tengah ini. Ucapan terima kasih tentunya pantas saya sampaikan kepada Bapak Dra. Puji Santosa, M.Hum selaku Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah dan segenap stafnya atas kegiatan-kegiatan kesastraan yang diadakannya ini. Satu hal yang sangat mengejutkan adalah adanya acara Pemberian Penghargaan kepada Tokoh Kebahasaan dan Kesasatraan. Ini baru untuk pertama kalinya terjadi di wilayah Kalimantan Tengah ini. Kalau program ini tidak terhenti dengan pemberian penghargaan kepada kami sekarang ini, saya yakin akan dapat membawa dampak positif untuk peningkatan karya dan kreatifitas para sastrawan dan tokoh kebahasaan di daerah Kalimantan Tengah ini.
Saya juga mengucapkan selamat kepada Bapak Prof. K.M.A.M Usop, M.A. atas terpilihnya beliau sebagai tokoh Kebahasaan Kalimantan Tengah. Selain itu, saya juga pantas memantapkan ucapan terimakasih saya karena bimbingan beliaulah saya dapat bertahan dan berkarya di bidang kesastraan sampai sekarang ini. Beliaulah yang menyarankan agar saya membukukan puisi-puisi saya. Bagi saya, beliau adalah dosen pembimbing dan seorang tokoh yang menjadi idola saya. Terima kasih Pak Usop. (Makmur Anwar M.H.**)
Palangkraya, 27 Agustus 2008
* Disampaikan dalam Orasi Tokoh Kesusastraan Kalimantan Tengah pada Puncak Acara Semarak Tahun Bahasa 2008, Pekan Bahasa dan Sastra, di Palangkaraya, 27—28 Agustus 2008
** Tokoh Kesastraan Kalimantan Tengah versi Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah.