Tantangan di Balik Keindahan Batik

Batik bukan sekadar kain bagi masyarakat Indonesia. Ada harapan yang digoreskan ke dalam ragam hias batik. Motif teratai ban batik kawung dari pesisir utara Jawa Tengah dari awal abad ke-20 koleksi Asmoro Damais dari Pusat Dokumentasi Wastra dan Busana Indonesia, misalnya, menggambarkan kemakmuran.

Menurut Judi Achjadi dari pusat dokumentasi itu, kain yang dikenakan perempuan peranakan (Indo-China) tersebut teratai yang berbiji banyak menggambarkan kemakmuran dan kesuburan. Sementara motif kawung yang biasanya terdapat pada batik pedalaman melambangkan uang koin sehingga juga merupakan simbol kemakmuran.

Pada batik Banyumas dari tahun 1920-an koleksi Hartono, pemilik batik print Kencana Ungu, corak kilin merupakan harapan akan kedudukan yang tinggi (spritual atau jabatan) bagi pemakainya. Adapun burung hong melambangkan ratu atau kedudukan yang tinggi. Jadi, ada harapan ganda di sana.

Batik dapat bertahan, antara lain, karena kemampuan pembuatnya menyesuaikan dengan perubahan waktu. Panembahan Harjonagoro, misalnya, menggunakan warna kontemporer untuk membuat batik bercorak klasik renggopuspito dari Surakarta lebih menarik. Menurut maestro batik, Iwan Tirta, mendiang Harjonagoro mendapat tugas dari Presiden Soekarno untuk membuat batik Indonesia. Batik ini merupakan transendensi dari batik-batik lokal Indonesia.

Begitu juga ceplok yang merupakan salah satu motif tertua batik di Indonesia, seperti diperlihatkan dalam buku tulisan Iwan Tirta, Batik, a Play of Light and Shades, mengalami perubahan bentuk dan warna dalam perubahan waktu.

Batik terbukti mampu mengarungi perjalanan waktu lebih dari 300 tahun dari sejak pertama kali diperdagangkan. Nilai ekonomi dan kelenturannya dalam menghadapi perubahan zaman itu kini menghadapi tantangan baru. Isu kerusakan lingkungan global kini juga menyentuh proses pembuatan batik.

Prakarsa Batik Bersih (Clean Batik Initiative, www. cleanbatik.com) dari Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman (Ekonid) dan IHK-Akademie Munich yang mendapat dana hibah dari Komisi Uni Eropa mencoba mengenalkan produksi dan konsumsi batik yang ramah lingkungan dengan bebas biaya.

Di antara keuntungan yang ditawarkan adalah penghematan biaya sampai Rp 6,48 juta per tahun melalui biaya investasi Rp 400.000 dengan memakai kembali larutan bekas pencelupan. Biaya pembelian lilin dapat dikurangi Rp 1,5 juta per tahun melalui modifikasi tempat pembuangan air di bak perangkap lilin dengan investasi Rp 100.000.

Insentif ekonomi akan mungkin mengubah pilihan cara berproduksi. Tantangannya adalah menjangkau 48.287 UKM batik se-Indonesia.

Sumber: http://cetak.kompas.com/
-

Arsip Blog

Recent Posts