Oleh: Maqdir Ismail
TANPA adanya penjelasan yang rasional dan secara hukum sah, maka sampai kapanpun kecurigaan bahwa penerbitan Perpu No. 2 Tahun 2008 dan Perpu No. 4 Tahun 2008 adalah sebagai bentuk penukangan untuk menjarah uang Negara dengan medianya “krisis” keuangan bank Century akan tetap ada.
Hiruk pikuk dan perdebatan tentang kebijakan bailout bank Century semakin melabar dan semakin tidak jelas. Perseteruan baru antara Bambang Soesatyo vs Sri Mulyani Indrawati dibuka, perseteruan lama antara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati vs Aburizal Bakrie digali kembali. Ranah perseteruan dibawa kemasalah privat bukan masalah publik. Sri Mulyani Indrawati mengancam hendak melaporkan Bambang Soesatyo ke Polisi, karena melakukan penghinaan dan mungkin juga nanti karena diduga menghina pejabat umum. Kalau ini yang terjadi, alih-alih masalah bailout itu selesai, tetapi justru yang lahir kesibukan mengurus perkara penghinaan.
Pokok persoalan bailout bank Century itu secara hukum adalah mengenai keabsahan dari bailout. Apakah bailout itu dilaksanakan dengan iktikad baik atau terjadi karena ada penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara. Para pihak yang setuju atas kebijakan bailout, pada pokoknya menyatakan bahwa penyelamatan Century seharga Rp6,7 triliun masih lebih murah daripada menutup bank Century. Sementara pihak yang tidak setuju dengan bailout, karena diduga ada “persekongkolan para bedebah”. Tentu masing-masing argumen ini mempunyai kebenaran.
Dasar Hukum Bailout
Bailout itu dilakukan, karena ada dasar hukumnya yaitu Perpu No. 2 Tahun 2008, Perpu No. 3 Tahun 2008 dan Perpu No. 4 Tahun 2008, ada juga Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/30/PBI/2008 tanggal 14 Nopember 2008. Ini berarti secara hukum bailout terhadap bank Century adalah sah dan berdasarkan atas hukum. Tidak ada pelanggaran terhadap hukum, tidak juga ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan secara sengaja, tidak ada penyalahgunaan sarana, kesempatan atau jabatan yang merugikan Negara atau perekonomian Negara.
Adanya Perpu dan Peraturan Bank Indonesia dapat diduga untuk melakukan bailout terhadap bank yang sedang mengalami kesulitan keuangan karena situasi perekonomian Indonesia terimbas turbulensi krisis finansial global. Bukan hanya untuk bank Century. Hanya saja secara kebetulan bank Century adalah bank yang pertama dan terakhir pada masa itu yang mengalami kesulitan keuangan yang cenderung sistemik dan dianggap berpotensi membahayakan sistim keuangan, karena krisis yang dialami oleh Bank Century akan berdampak buruk terhadap ekonomi nasional.
Bahwa timbul dugaan bailout tersebut dilakukan semata-mata untuk melindungi kepentingan tertentu, nampaknya hingga kini, masih merupakan asumsi. Belum ada fakta aktual yang dapat membantah bahwa kesulitan keuangan bank Century tidak berpotensi membahayakan sistem keuangan dan tidak berdampak buruk terhadap ekonomi nasional. Hampir semua ekonom yang mempunyai hubungan dekat dengan otoritas keuangan, mendukung kesimpulan ini. Meskipun juga tidak sedikit ekonom yang menyanggah adanya dampak buruk terhadap ekonomi nasional ini.
Persekongkolan Para Bedebah
Kalaulah memang ada “persekongkolan para bedebah”, dalam bailout terhadap bank Century, maka persekongkolan yang harus dicurigai mulai dari terbitnya Perpu No. 2 Tahun 2008 dan Perpu No. 4 Tahun 2008. Kedua Perpu inilah yang menjadi dasar hukum kuat untuk meloloskan adanya kemungkinan bailout. Perpu No. 2 Tahun 2008 kemudian disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 2009 adalah dasar hukum yang kuat untuk memberikan fasilitas darurat, dengan turunannya Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/30/PBI/2008 tanggal 14 Nopember 2008.
Sedangkan Perpu No. 4 Tahun 2008, dapat dikatakan sebagai pengalihan kewenangan dari Bank Indonesia kepada Menteri Keuangan sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam memutuskan kondisi bank berdampak sistemik atau tidak. Besarnya kekuasaan Ketua KSSK dapat dibuktikan karena mengambil keputusan meskipun ada penolakan dari peserta rapat KSSK.
Untuk membuktikan bahwa penerbitan Perpu No. 2 Tahun 2008 dan Perpu No. 4 Tahun 2008, sebagai bentuk persekongkolan, tentunya tidak mudah. Paling kurang yang harus dibuktikan pertama-tama, siapa yang menghendaki terbitnya kedua Perpu tersebut, karena Perpu bisa terbit atas permintaan Bank Indonesia, bisa juga atas permintaan Departemen Keuangan bahkan bisa jadi atas kehendak dari Presiden; kedua apakah memang terbitnya kedua perpu ini adalah sebagai kebijakan khusus untuk menjarah uang Negara melalui Bank Century; ketiga, harus dibuktikan pula bahwa kesulitan keuangan karena krisis yang dialami oleh Bank Century akan berdampak buruk terhadap ekonomi nasional yang cenderung sistemik dan berpotensi membahayakan sistim keuangan tidak riil; keempat, ada pihak tertentu yang mendapat keuntungan dari adanya bailout bank Century.
Sebagai upaya transparan mengungkap apa sesungguhnya yang terjadi dibalik bailout terhadap bank Century ini, maka yang harus dijelaskan oleh pemerintah dan Bank Indonesia bukan hanya masalah benar dan tidak benarnya kondisi perekonomian Indonesia yang akan menjadi buruk kalau bank Century tidak diselamatkan. Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah alasan lahirnya dan dasar hukum aktual penerbitan Perpu No. 2 Tahun 2008 dan Perpu No. 4 Tahun 2008. Tanpa adanya penjelasan yang rasional dan secara hukum sah, maka sampai kapanpun kecurigaan bahwa penerbitan Perpu No. 2 Tahun 2008 dan Perpu No. 4 Tahun 2008 adalah sebagai bentuk penukangan untuk menjarah uang Negara dengan medianya “krisis” keuangan bank Century akan tetap ada. Dan dugaan bahwa ada “persekongkolan para bedebah” itu akan selalu bergaung.
Maqdir Ismail, Advokat dan Staf Pengajar FH Universitas Al-Azhar Indonesia
Sumber : Koran Tempo, Rabu, 4 November 2009