Diskriminasi Politik Penegakan Hukum

Oleh: Bambang Widjojanto

INIKAH akhir cerita ikon reformasi di sektor pemberantasan korupsi? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai anak kandung reformasi yang dinilai paling berhasil oleh publik, tengah “sekarat” karena diperlakukan sewenang-wenang di suatu periode kekuasaan yang justru mendapat dukungan publik paling banyak pada pemilu lalu. Ironi yang aktual dan paradoks yang menjengkelkan. Dua pemimpin KPK telah dikriminalkan karena menggunakan kewenangannya serta telah dilegalisasi dengan Keputusan Presiden tentang Pemberhentian Sementara, diterbitkan Perpu Penunjukan Pelaksana Tugas Pimpinan KPK, dan keppres yang menunjuk pihak tertentu untuk melaksanakan perpu guna mencari tiga orang pelaksana tugas pimpinan KPK.

Dalam prinsip hukum, semua orang harus diperlakukan sama di muka hukum, siapa pun dia, termasuk pimpinan KPK sekalipun. Jika pimpinan KPK terbukti disuap, tidak ada satu pun alasan yang dapat dijadikan dasar agar mereka tidak diperiksa dan dihukum bila terbukti bersalah. Juga harus dipahami suatu prinsip hukum lainnya yang sangat penting, siapa pun tidak dapat dihukum serta diminta mempertanggungjawabkan tindakannya bila tidak dapat dibuktikan kesalahannya. Siapa pun tidak dapat dinyatakan sebagai tersangka bila tidak ada bukti permulaan yang cukup kuat yang dapat dijadikan sebagai dasar tuduhan melakukan kejahatan.

Ada diskriminasi perlakuan bila membandingkan tuduhan terhadap pimpinan KPK dengan tuduhan indikasi pidana terhadap Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) berkaitan dengan rekomendasinya atas kasus Bank Century serta kasus Urip Tri Gunawan (UTG) sebagai misal. Tuduhan miring terhadap Bareskrim berhubungan dengan laporan polisi yang berkaitan dengan dana deposito PT LSB yang ada pada Bank Century sebesar US$ 18 juta. Divisi Humas Kepolisian RI dalam siaran persnya menyatakan, masalah yang berkembang di masyarakat tentang adanya dugaan suap dalam penerbitan surat rekomendasi Kepala Bareskrim tidak terbukti. Lebih lanjut dikemukakan, “fakta menunjukkan KPK juga belum memiliki bukti tentang dugaan suap yang dilakukan Kabareskrim dan hingga kini belum menentukan Kabareskrim sebagai tersangka”.

Ada tiga hal menarik dalam kasus di atas, yaitu, pertama, apakah pihak kepolisian telah melakukan penyidikan yang intensif atas kasus tersebut ataukah sekadar pemeriksaan pelanggaran etik dan perilaku; kedua, Divisi Humas begitu berani menyimpulkan KPK belum mempunyai bukti keterlibatan Kabareskrim dalam kasus dimaksud. Membuat kesimpulan soal kewenangan lembaga lain tanpa konfirmasi yang dapat dipertanggungjawabkan adalah masalah yang sangat serius. Ketiga, celakanya lagi, KPK tidak menganggap masalah itu sebagai soal yang sangat serius, padahal dituduh tidak punya bukti sehingga perlu direspons; atau KPK, seperti biasa, bertindak hati-hati untuk pada saatnya menentukan layak-tidaknya seseorang dinyatakan sebagai tersangka.

Dalam konteks kasus UTG, mantan Koordinator Tim Jaksa Penyelidik BLBI II dengan obligor Sjamsul Nursalim, dia telah dinyatakan bersalah karena menerima suap US$ 660 ribu dari Artalyta Suryani dalam kaitan dengan penyelidikan kasus dimaksud. Pada kasus itu dapat dibuktikan, pemberian uang kepada UTG dinilai sebagai imbalan yang berkaitan dengan kapasitas jabatannya dalam kasus di atas. Seyogianya dapat “disimpulkan”, penilaian yang dilakukan UTG sangat potensial berhubungan dan dipengaruhi oleh adanya suap. Pada kenyataannya, KPK malah “tidak mempersoalkan” hasil penyelidikan dari kasus dimaksud, kendati terbukti dapat dibuktikan adanya suap dari “Ayin” kepada UTG di mana kapasitas UTG sangat jelas dalam kedudukan sebagai koordinator tim dalam kasus di mana uang suap itu diduga berasal dari obligor yang tengah diperiksa. Apalagi ada keterangan hasil rekaman yang menjelaskan adanya “intensi” pimpinan UTG, yang mengambil kebijakan yang menguntungkan obligor yang tengah diperiksa tersebut.

Hal sebaliknya justru terjadi dalam kasus pimpinan KPK. Isu suap sejak semula sudah “ditiupkan”, ada semacam proses character assassination karena isu itu telah diinformasikan ke beberapa anggota Dewan dan sebagian pucuk pimpinan kekuasaan, kendati pimpinan KPK belum pernah diperiksa, apalagi dinyatakan sebagai tersangka. Jadi, sampai kini, belum dapat dibuktikan adanya penyuapan, tapi pimpinan KPK sudah dijadikan tersangka. Walaupun suap tidak dapat dibuktikan, pihak Bareskrim Polri tetap mempersoalkan tindakan penerbitan dan pencabutan “cekal” atas Djoko Chandra dan pencekalan Anggoro Widjojo yang merupakan kewenangan KPK.

Ada problem yang sangat fundamental berkaitan dengan bukti permulaan dan dasar pembuktian yang dijadikan alasan hukum untuk menyatakan pimpinan KPK sebagai tersangka, yaitu, pertama, kualifikasi delik yang dijadikan dasar pemeriksaan berubah-ubah terus, dari dugaan penyuapan, beralih pada penyadapan, akhirnya mengenai pencekalan; kedua, Kabareskrim berulang kali menyatakan pemeriksaan didasarkan pada testimoni dari Antasari Azhar (AA). Secara faktual, pemeriksaan pimpinan KPK tidak sepenuhnya atas dasar testimoni dimaksud.

Ketiga, testimoni yang dijadikan dasar pemeriksaan dihasilkan dari saksi de auditu, karena AA mendengar dari orang lain, yaitu Anggoro Widjojo, dengan cara melawan hukum. Setidaknya, perolehan bukti terjadi dengan cara tidak sah atau unlawful legal evidence, karena ada larangan tegas dengan ancaman pidana maksimal lima tahun bagi pemimpin KPK yang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan orang yang ada hubungannya dengan perkara korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun, sesuai dengan Pasal 36 juncto Pasal 65 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002. Keempat, pihak yang dituduh menyuap pimpinan KPK, yaitu Ary Muladi, menyatakan dengan tegas bahwa tidak benar melakukan penyuapan, dan pimpinan KPK juga sudah mengajukan alibi; kelima, penyidik Bareskrim belum memeriksa Djoko Chandra dan Anggoro Widjojo, padahal merekalah yang paling dirugikan oleh tindak pencekalan yang dilakukan oleh KPK.

Uraian di atas menimbulkan pertanyaan mendasar: kepentingan siapa yang sesungguhnya diwakili dalam pemeriksaan kasus ini? Apakah kepentingannya AA, Djoko Chandra dan Anggoro Widjojo, Kabareskrim, atau pihak lainnya? Ketidakmampuan merumuskan jawaban menjadi indikasi adanya diskriminasi dan kontroversi dalam penanganan tindak pidana kasus ini. Kegagalan ini juga sekaligus kemenangan bagi para koruptor dengan segenap kompradornya karena berhasil memporak-porandakan lembaga penegakan hukum.

Bila dikaitkan dengan proses penyelidikan yang tengah dilakukan KPK atas dugaan keterlibatan petinggi Bareskrim Polri dalam kasus Bank Century, KPK justru terlihat agak berhati-hati untuk meningkatkan status pemeriksaan menjadi penyidikan. KPK malah berkirim surat kepada BPK untuk melakukan audit investigasi. Konon kabarnya, dan perlu dikonfirmasi, pimpinan KPK telah pernah menyampaikan indikasi dugaan keterlibatan tersebut langsung kepada Kapolri, Jika itu benar, sesuai dengan prinsip governance seyogianya Kapolri memberikan respons balik kepada pemberi laporan.

Yang sangat mengkhawatirkan, semoga saja tidak terjadi, ada pertanyaan spesifik yang dapat diajukan: apakah kasus di atas juga berkaitan dan menjadi bagian dari kontroversi pengucuran dana dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada Bank Century yang potensial merugikan keuangan negara triliunan rupiah? Pada konteks itu, kini tengah terjadi pro-kontra dalam melakukan penilaian atas kinerja manajemen Bank Century yang dikualifikasi “gagal” dalam meningkatkan manajemen korporasi bank dan itu artinya ada potensi nilai kerugian yang sangat besar. Pemberian dana yang dikucurkan LPS pada Bank Century jauh melebihi jumlah dana yang direkomendasikan oleh DPR.

Semoga saja BPK dalam waktu yang tidak terlalu lama, melalui audit kinerja dan audit investigasi, dapat mengurai indikasi dan relasi atas masalah di atas. Hasil pemeriksaan BPK saat ini belum sepenuhnya menjawab masalah di atas. De facto, publik merasakan ada penyikapan yang berbeda dari kekuasaan terhadap berbagai kasus tersebut. Setidaknya, potensi kehilangan dana sebesar Rp 6,762 triliun tidak dikualifikasi sebagai kegentingan yang mendesak bila dibandingkan dengan penerbitan pencekalan yang dilakukan pimpinan KPK berdasarkan kewenangan yang dimilikinya--yang kemudian menjadi pemberhentian sementara, diterbitkannya perpu dan keppres untuk mencari tiga orang pelaksana tugas pimpinan KPK.

Uraian di atas telah memperlihatkan dan menjelaskan adanya diskriminasi dan kontroversi dalam politik penegakan hukum kasus-kasus tindak pidana korupsi.

Bambang Widjojanto, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, anggota Tim Pembela Pimpinan KPK yang diberhentikan sementara

Sumber: Koran Tempo, Kamis, 15 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts