Ujian Moralitas Polri

Oleh: Bobby R. Manalu

Hanya ada dua polisi yang baik: Patung polisi dan polisi tidur.

DALAM realitas penegakan hukum, kepolisian merupakan salah satu lembaga yang paling sering mendapat sorotan dari masyarakat. Selain jargon di atas, salah satu anekdot yang mungkin Anda sudah tahu, bunyinya begini:

Tiga polisi dunia berkumpul di tepi hutan. Masing-masing dari Kepolisian Jepang, Kepolisian New York (NYPD), dan Mabes Polri. Mereka berlomba menangkap kelinci yang akan dilepaskan ke hutan. Segala metode boleh dicoba, berikut teknologi yang mereka punya.

Polisi Jepang masuk ke hutan. Mereka menempatkan informan-informan di setiap pelosok hutan itu. Mereka menanyai setiap pohon, rumput, semak, dan binatang di hutan itu. Tidak ada pelosok hutan yang tidak diinterogasi. Setelah tiga bulan penyelidikan hutan secara menyeluruh, akhirnya polisi Jepang itu mengambil kesimpulan bahwa kelinci tersebut ternyata tidak pernah ada.

NYPD yang dilengkapi teknologi supercanggih khas Amerika juga harus berjuang keras. Setelah dua minggu bekerja tanpa hasil, mereka akhirnya membakar hutan sehingga setiap makhluk hidup di dalamnya terpanggang tanpa ada kekecualian. Akhirnya kelinci tersebut tertangkap juga hitam legam, dan mati tanpa bekas.

Polisi Indonesia, dengan tangan kosong, melenggang dengan santainya masuk hutan. Dua jam kemudian, mereka keluar dari hutan sambil membawa seekor tikus putih yang telah hancur badannya karena dipukuli. Tikus putih itu berteriak-teriak: "Ya ... ya ... saya mengaku! Saya kelinci! Saya kelinci!"

Dalam kajian ilmu hukum, khususnya mengenai pengajaran soal etika profesi hukum, humor dapat dilihat sebagai salah satu batu "uji kelayakan" terhadap moralitas penegak hukum yang sering didengungkan sebagai salah satu profesi luhur (officium nobile). Profesi luhur adalah profesi yang terikat pada kebutuhan-kebutuhan praktis masyarakat. Artinya, keluhuran itu selalu akan terlihat langsung oleh masyarakat melalui pengalaman-pengalaman konkret mereka berhadapan dengan penyandang profesi ini ketika menjalankan kekuasaan yang dimiliki.

Polisi sebagai salah satu penyandang profesi hukum harus paham benar bahwa moralitas mempunyai keterkaitan erat dengan konteks penggunaan kekuasaan secara ilegal. Adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan inilah yang menyebabkan polisi dituntut memiliki derajat moralitas yang standarnya harus dikerek paling tinggi di antara profesi lain. Sekali seseorang ditempatkan sebagai pesakitan hukum yang berhadapan langsung dengan polisi, dia tidak pernah memiliki pilihan untuk pergi mencari polisi yang menurutnya mampu memberikan pelayanan lebih baik atas perkara yang dituduhkan kepadanya. Berbeda misalnya dengan pasien rumah sakit yang bebas kapan saja apabila dia tidak merasa kurang mendapat perawatan yang baik dapat memilih dokter dari rumah sakit lain.

Apabila polisi tetap ingin mempertahankan predikat moral yang dimilikinya, tentu tidak ada pilihan lain kecuali mampu mengelola kekuasaan yang dimiliki sehingga menjadi kewenangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Polisi tidak boleh memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan permufakatan jahat dengan tujuan mengambil keuntungan yang bersifat pribadi maupun kelompok. Di titik ini juga diingatkan kepada semua pihak ataupun otoritas yang secara hierarki ketatanegaraan memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk tidak menjadikan polisi sebagai tameng demi kepentingan korup dan busuk.

Tentu saja, salah satu cara paling efektif untuk membuktikan kepada publik bahwa semua gurauan bernada minor yang ditujukan terhadapnya adalah keliru dan sekaligus sebagai penegasan akan adanya moralitas yang baik saat ini adalah bagaimana sikap polisi dalam menangani kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dua orang wakil pimpinan KPK ketika mengeluarkan surat pencekalan terhadap Anggoro Wijaya.

Namun, celakanya, saat ini publik menangkap ke arah pembenaran anekdot. Dimulai dari tidak terlalu jelasnya indikator dan bukti hukum apa yang digunakan dalam kasus ini, disusul kemudian dengan penyangkalan-penyangkalan atas pernyataan yang disampaikan Kapolri. Pertama, Kapolri menyatakan bahwa penyidikan kasus suap Bibit dan Chandra berdasarkan laporan Antasari Azhar (AA) pada 6 Juli 2009 dan bukan berdasar testimoni AA. Pernyataan ini kemudian dibantah kuasa hukum AA yang menyatakan bahwa permintaan membuat laporan dan testimoni datang dari polisi.

Kedua, Kapolri menyatakan bahwa walaupun Ary Muladi telah mengucurkan dana Rp 5,1 miliar ke pimpinan KPK, surat cekal Anggoro yang diteken Chandra tetap keluar. Antasari Azhar menilai, surat cekal keluar karena ada satu pimpinan KPK belum mendapat uang. Dia meminta Ary menyerahkan uang setara Rp 1 miliar kepada Chandra. Atas pernyataan ini Ary Muladi menyangkal disuruh Antasari menyerahkan Rp 1 miliar. AA memperkuat Ary Muladi dengan turut menyangkal menyuruh Ary Muladi memberikan Rp 1 miliar ke Chandra.

Ketiga, Kapolri menyebut bahwa Ary Muladi mengaku Rp 5,1 miliar dari Anggodo, adik Anggoro Widjojo, diperuntukkan bagi pimpinan KPK. Hal itu juga dibantah Ary Muladi dengan mengatakan tak pernah memberikan uang/bertemu langsung dengan pimpinan.

Keempat, polisi menyebut Ary memberikan uang kepada Bibit di Bellagio Residence dalam rentang 11-18 Agustus. Padahal, Bibit mengaku berada di Peru pada waktu itu.

Kelima, adanya fakta tanggal penerimaan uang dari Ary kepada Chandra yang berubah-ubah. Sebelumnya polisi menyebut 27 Februari, lalu 15 April, lalu berubah lagi menjadi Maret 2009.

Apabila seluruh fakta ini ternyata terbukti benar yang akan diobjektifkan dalam bentuk keluarnya, katakanlah surat penghentian penyidikan/penuntutan, pendeponiran kasus oleh Jaksa Agung, atau kemudian jatuhnya putusan bebas dari majelis hakim, alamat penghargaan masyarakat terhadap moralitas polisi akan semakin turun ke titik nadir.

Namun, hal itu dapat direduksi apabila kemudian Polri meminta maaf kepada publik atas kesalahannya dan pimpinan tertingginya mengundurkan diri secara hormat. Kalau tidak, hal ini akan menjadi malapetaka penegakan hukum bahwa publik secara luas akan semakin tidak percaya lagi dengan seluruh institusi hukum karena merasa hukum telah mati.

Matinya hukum di mata publik bukanlah berarti tidak ada hukum. Matinya hukum akan diartikan bahwa hukum adalah libido kekejaman, ekstasi kejahatan, dan semangat kegilaan guna melakukan manuver-manuver melindungi praktik busuk.

Dan benarlah, hanya ada dua polisi saja yang baik: Patung polisi dan polisi tidur. Tragis. (*)

Bobby R. Manalu, mahasiswa pascasarjana UGM Jogja, praktisi hukum pada Fredrik J. Pinakunary Law Offices, Jakarta.

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 29 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts