Oleh: Robertus Robet
KONFLIK antara badan antikorupsi dan lembaga kepolisian bukanlah barang baru dalam sejarah gerakan antikorupsi. Bahkan, dalam pengalaman beberapa negara, konflik pertama badan antikorupsi yang baru didirikan biasanya memang terjadi dengan lembaga kepolisian.
Sebuah esai yang ditulis Jon S.T. Quah (International Public Management Review, Volume 8 Issue 2, 2007) bisa memberikan wawasan untuk memahami konflik antara kepolisian dan badan antikorupsi di beberapa negara Asia. Artikel singkat ini disampaikan hampir sepenuhnya berdasarkan uraian Quah dengan harapan kita bisa memanfaatkannya untuk menilai konflik buaya versus cicak yang saat ini ramai di Indonesia.
Menurut Quah, korupsi merupakan persoalan serius di Singapura semasa periode kolonisasi Inggris. Untuk menghadapi itu, pada 1871 diberlakukan Penal Code of the Straits Settlements of Malacca, Penang and Singapore yang menetapkan korupsi sebagai tindakan ilegal. Delapan tahun kemudian semenjak aturan itu diberlakukan, sebuah komisi penyelidik didirikan untuk menyelidik sebab-sebab inefisiensi yang dilakukan oleh Straits Settlements Police Force. Komisi ini untuk pertama kalinya akhirnya menemukan bahwa korupsi telah merajalela di kalangan inspektur berkebangsaan Eropa serta prajurit-prajurit berkebangsaan Malaysia dan India. Sementara itu, sebuah komisi penyelidik yang dibentuk pada 1886 untuk menyelidiki fenomena mewabahnya perjudian juga menemukan korupsi yang sistematis di kalangan polisi di Singapura dan Penang. Penelitian Quah menemukan, dari 172 kasus yang dilaporkan antara 1845 dan 1921, kasus korupsi terbesar adalah penyuapan (63 persen). Pada 1937, undang-undang antikorupsi pertama (Prevention of Corruption Ordinance/POCO) diberlakukan di Singapura, Malaka, dan Penang.
Memasuki era penjajahan Jepang, korupsi makin tak tertanggulangi. Tingginya inflasi di zaman itu menyebabkan banyak pegawai kecil sulit hidup di bawah gaji rendah. Akibatnya, suap, pasar gelap, nepotisme, serta korupsi menjadi mekanisme umum dan dianggap sebagai jalan keluar untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan.
Keadaan berubah ketika, pada 1950, Komisioner Polisi J.P. Pennefather-Evans melaporkan bahwa korupsi makin merajalela di kalangan pemerintahan. Laporan ini diikuti dengan laporan ketua Anti-Corruption Branch (ACB) di bawah Criminal Investigation Department, yang menegaskan memburuknya gejala korupsi. Laporan-laporan ini mendorong dilakukannya evaluasi terhadap ACB yang diikuti dengan tuntutan dari seorang anggota parlemen supaya ACB dilepas dari kepolisian dan diperluas kewenangannya. ACB yang berada di bawah kepolisian dianggap tidak efektif karena tiga alasan.
Pertama, karena ia terlalu kecil sehingga tidak sebanding dengan kasus yang melibatkan “orang-orang besar” di kalangan polisi dan pemerintah. Kedua, karena berada di bawah kepolisian, korupsi tidak dianggap kejahatan yang butuh prioritas. Ketiga, yang paling penting, korupsi sendiri sudah mewabah di kalangan polisi kolonial Singapura.
Pada Oktober 1951, sebuah muatan berisi 1.800 pon opium dicuri oleh sebuah gerombolan. Sebuah tim penyelidik yang dibentuk pemerintah kolonial Inggris menemukan keterlibatan tiga detektif dan keterlibatan polisi dalam melindungi kejahatan tersebut. Skandal opium ini akhirnya menyadarkan pemerintah kolonial untuk membentuk badan antikorupsi yang independen dan lepas dari kepolisian. Akhirnya, pada 1952, Corrupt Practises Investigation Bureau (CPIB) yang independen dibentuk dan menggantikan ACB hingga sekarang.
Dari pengalaman, di Hong Kong, konflik antara polisi dan badan antikorupsi juga terjadi pada masa awal pertumbuhan lembaga tersebut. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, dalam upaya membendung wabah korupsi, pemerintah kolonial Inggris memberlakukan Ordinasi Pencegahan Korupsi atau Prevention of Corruption Ordinance (POCO) pada 1948 di Hong Kong—ordinasi serupa yang sebelumnya mereka terapkan untuk memberantas korupsi di Singapura. Melalui ordinasi itu, pemerintah juga membentuk Anti-Corruption Body sebagai bagian dari Criminal Investigation Department di Markas Besar Kepolisian Hong Kong.
Dengan demikian pada awalnya, Badan Antikorupsi Hong Kong memang merupakan sebuah biro investigasi di dalam kepolisian. Badan ini memiliki dua kewenangan, yakni penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus korupsi. Pada 1952, Badan Antikorupsi Hong Kong dilepaskan dari Criminal Investigation Department menjadi badan tersendiri, tapi masih di bawah kepolisian. Pada masa itu, badan ini dikenal mandul dan tak bergigi. Ini dibuktikan dari minimnya jumlah kasus yang dibawa ke pengadilan, yakni antara 2 dan 20 kasus per tahun.
Pada 1968, ACB berinisiatif memperkuat statusnya di dalam POCO dan mengirim sebuah tim ke Singapura untuk studi perbandingan. Tim ini terpesona oleh keberhasilan Badan Antikorupsi Singapura (CPIB) dan terinspirasi oleh independensi badan tersebut dari kepolisian. Namun, pihak kepolisian Hong Kong menolak hasil tim itu dan mementahkan rekomendasi untuk memisahkan Badan Antikorupsi dari kepolisian. Walhasil, badan ini hanya diberi tambahan sumber daya manusia, namun tetap di bawah polisi.
Pada 8 Juni 1973, Kepala Polisi Chief Superintendent Peter R. Godber, yang saat itu tersangka korupsi, melarikan diri ke Inggris. Kaburnya Godber memicu kemarahan publik. Pemerintah merespons kemarahan itu dengan menunjuk seorang hakim, yakni Sir Alastair Blair-Kerr, untuk membentuk sebuah komisi buat menginvestigasi latar belakang kasus tersebut. Hasilnya, Blair-Kerr mengungkap tidak hanya kasus korupsi, tapi juga keterlibatan sindikat dan kekerasan dalam kasus itu. Akhirnya, enam bulan setelah laporan Blair-Kerr itu, Gubernur Hong Kong Sir Murray MacLehose, di bawah tekanan publik, menerima rekomendasi komisi Blair-Kerr untuk mendirikan sebuah badan antikorupsi yang benar-benar independen dan terpisah dari kepolisian (Robert Harris, 2003, Political Corruption: In and Beyond the Nation State, London: Routledge Pub). Pada Februari 1974, Hong Kong akhirnya memiliki Independent Commission Against Corruption (ICAC) yang benar-benar independen dan kuat hingga sekarang.
Dari uraian pengalaman dua negara di atas, kita ketahui bahwa konflik antara badan antikorupsi dan polisi adalah fenomena yang tak terhindarkan. Dalam kasus Singapura, badan antikorupsi yang kuat dan independen diadakan secara sadar justru untuk memberantas praktek korupsi di kalangan kepolisiannya. Adapun di Hong Kong, meski sempat dirongrong kredibilitasnya dan jatuh-bangun pendirian legalnya, dengan dukungan publik dan kemauan pemerintah, badan antikorupsi yang kuat dan independen masih bekerja hingga sekarang.
Menurut Jeremy Pope dari Transparency International, dalam pengalaman di berbagai negara, banyak badan antikorupsi timbul-tenggelam, bahkan gagal dan mati ketika mesti berhadapan dengan korupsi sistematis yang melibatkan kelompok-kelompok kuat dalam negara demokrasi yang baru. Dari pengalaman dua negara di atas, kita mengetahui ujian pertama atas nasib dan masa depan setiap badan antikorupsi adalah konfliknya dengan kepolisian. Dengan meninjau pengalaman ini, maka jelaslah, apabila kita memang setia kepada mandat reformasi, kita mesti menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dari musuh klasiknya ini terlebih dulu.
Robertus Robet, Sekjen Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Pengajar Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta
Sumber: Koran Tempo, Selasa, 6 Oktober 2009