Berantas Korupsi atau KPK?

Oleh: Febri Diansyah

NAMA Presiden SBY dicatut dalam salah satu transkrip rekaman percakapan seorang perempuan dan petinggi Kejaksaan Agung.

Sejumlah nama pejabat kepolisian yang relatif akrab di mata publik terkait fabel “cicak vs buaya” pun muncul kembali. Juru Bicara Kepresidenan membantah pembicaraan itu dan menyatakan sebagai pencatutan nama SBY. Pertanyaannya, benarkah rekaman ini? Sekronis itukah kondisi aparatus hukum di Indonesia? Namun, rekaman ini berhubungan dengan penetapan tersangka dua unsur pimpinan KPK.

Untuk pertanyaan pertama, secara tegas Pelaksana Tugas Ketua KPK menyatakan rekaman itu ada. KPK melakukan penyadapan terkait kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) (Kompas, 27/10). Melalui kasus ini, anggota Komisi IV DPR 2004-2009 telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kasus dugaan korupsi Masaro yang melibatkan Anggoro Widjojo dimulai dari korupsi SKRT. Maka, dapat ditebak penyadapan oleh KPK dimulai dari orang-orang yang sering berkomunikasi dengan “lingkaran Anggoro”. Dalam konteks kewenangan, KPK dinilai menjalankan salah satu tugas penyelidikan seperti dijamin pada Pasal 12 Ayat (1) Huruf a UU KPK.

Jika dicermati, dari kasus Masaro inilah sejumlah malapetaka silih berganti menghadang kerja pemberantasan korupsi KPK. Bahkan, isu suap terhadap pimpinan dan sejumlah anggota staf lembaga antikorupsi ini sempat ditiupkan pihak tertentu. Hingga, dua unsur pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri (16/9). Ditambah polemik Bank Century, akhirnya istilah yang meremehkan KPK, “cicak kok mau lawan buaya”, terucap dari salah satu petinggi kepolisian.

Semua catatan itu menjadi kian menakjubkan saat beberapa bagian dari transkrip hasil penyadapan KPK beredar di publik. Masyarakat agaknya kian meragukan motivasi di balik proses hukum terhadap dua unsur pimpinan KPK. Poin paling menarik adalah kegeraman oknum petinggi institusi penegak hukum dan aktor dari kalangan mafia-bisnis terhadap KPK. Jika saja KPK ditutup dan mati, tentu mereka akan menjadi “pahlawan”. Secara teoretis, persekongkolan ini mengantar pemikiran pada konsepsi “oligarki kekuasaan” sebagai akar korupsi. Bahwa, persekongkolan mafia bisnis dengan penegak hukum dan dukungan otoritas politik membangun bangunan koruptif yang amat kuat.

Kebuntuan Hukum

Ketika tiga pilar oligarki kekuasaan itu bersatu, hampir tidak mungkin penegakan hukum berjalan dengan benar, kecuali kronik “rekayasa kriminalisasi” ini diusut tuntas lebih dulu. Sistem hukum Indonesia, khususnya konsep criminal justice system, akan mengalami disfungsi jika penegak hukum terkooptasi korupsi.

Terungkapnya komunikasi intensif di antara sejumlah elite penegak hukum bisa jadi memenuhi kriteria “oligarki kekuasaan”. Ditambah, otoritas politik seperti parlemen dan parpol yang juga terkesan amat resisten dengan keseriusan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

Belajar dari sejumlah kasus korupsi besar yang pernah diungkap KPK, perselingkuhan mafia politik dan mafia bisnis sebenarnya mudah dibaca. Sebut saja, aliran dana Bank Indonesia; alih fungsi hutan dan suap anggota DPR; suap jaksa UTG; dan kasus skandal BLBI yang tak kunjung jelas hingga kini.

Kita tahu, kasus BLBI Sjamsul Nursalim yang sebelumnya ditangani Kejaksaan Agung berakhir dengan SP3 dengan alasan tidak ada unsur pidana. Padahal, tidak lama setelah itu, KPK menangkap tangan transaksi suap terhadap Ketua Tim Jaksa BLBI itu. Hal ini menjadi catatan penting masyarakat bahwa saat sebuah kasus memiliki dimensi aktor politik-bisnis dan oknum penegak hukum korup, niscaya proses hukumnya di lembaga konvensional akan bermasalah.

Beberapa karakter itu mungkin mirip dengan penanganan dugaan penyalahgunaan wewenang dua unsur pimpinan KPK. Unsur Anggoro dari kalangan bisnis (PT Masaro) yang berstatus tersangka dan buron KPK memegang peran penting. Setidaknya dari transkrip komunikasi antara petinggi institusi penegak hukum dan “orang dekat” Anggoro memberikan sinyal adanya upaya mengarahkan penanganan kasus pimpinan KPK. Mungkin, inilah yang disebut “rekayasa”.

Atau, jika tidak terjadi persekongkolan, minimal ada persinggungan kepentingan antara pihak-pihak yang “terganggu” dan keberadaan KPK sehingga muncul salah satu frase dalam transkrip rekaman itu bahwa “KPK akan ditutup”.

Poin penting yang ingin disampaikan dari deretan dan perbandingan fenomena itu adalah adanya “kebuntuan hukum”. Mekanisme hukum konvensional di kepolisian dan kejaksaan diperkirakan tidak akan berjalan efektif jika dugaan rekayasa dalam rekaman penyadapan itu tak diusut lebih dulu sehingga frase standar “penyelesaian ini kita serahkan kepada proses hukum” menjadi tidak relevan, bahkan cenderung naif. Terutama jika “proses hukum” yang dimaksud hanya tahap dan prosedur standar seperti berjalan saat ini.

Alasannya, bukan karena Polri dan kejaksaan tidak bisa dipercaya. Justru, saat ini nama baik kedua lembaga itu harus diselamatkan. Kekhawatiran publik lebih pada sejumlah oknum yang disebut dalam rekaman itu, ternyata orang-orang yang punya pengaruh terhadap kasus pimpinan KPK. Dikhawatirkan, proses hukum yang dihasilkan tidak lagi adil jika orang-orang yang memegang kendali sulit dipercaya.

Pada titik itulah ketegasan Presiden membentuk tim penyelidik dan investigasi independen amat dinanti. Tujuan pembentukan tim ditekankan pada upaya mengoreksi proses hukum dan memperkuat pemberantasan korupsi. Lebih dari itu, hasil investigasi tim tentu amat bernilai bagi kredibilitas Presiden SBY di mata Indonesia dan internasional.

Jika Presiden benar-benar komit dengan pemberantasan korupsi, sebaiknya penelusuran fakta di balik rekaman ini dilakukan secara akuntabel dan terbuka. Lalu, kriminalisasi dua unsur pimpinan KPK dihentikan serta dilakukan restrukturisasi Polri dan kejaksaan. Presiden sebagai otoritas politik eksekutif tertinggi di Indonesia perlu memastikan dan mengawasi kinerja institusi penegak hukum. Harus dipastikan, apakah saat ini berbagai pihak sedang melakukan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, atau justru sedang bersekongkol melemahkan KPK? Seperti ditulis dalam sebuah mural cicak di jalanan Jakarta, “Mau Berantas Korupsi, atau Berantas KPK?”

Febri Diansyah, Peneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja ICW

Sumber: Kompas, Kamis, 29 Oktober 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts