Oleh: Jaya Suprana
KATA dasar pelantikan adalah lantik, berakar pada bahasa Melayu bermakna ’bengkok’ alias ’tidak lurus’. Entah bagaimana kemudian peran kata lantik berkembang menjadi dasar kata kerja melantik dan kata benda pelantikan yang maknanya bergeser ke bentuk perilaku ritual.
Setelah peradaban dan kebudayaan menghadirkan apa yang disebut jabatan, manusia mulai sibuk melantik melalui upacara yang disebut pelantikan. Ada jabatan yang dipandang sedemikian penting sehingga mereka yang akan memangku jabatan dianggap perlu dilantik melalui upacara pelantikan.
Sementara pemangku profesi yang dipandang tidak terlalu penting, padahal sebenarnya cukup penting, dianggap tidak perlu dilantik. Dapat dibayangkan kekacauan sosial yang terjadi apabila tiada profesi penyapu jalan, pengeruk tinja, penghimpun sampah, pemulung, sampai ke penggali liang kubur akibat dipandang tidak penting, terbukti para beliau tidak pernah dilantik, apalagi melalui upacara pelantikan.
“Pandawa Samrat”
Di antara segenap makhluk hidup di marcapada ini, hanya jenis Homo sapiens yang berperilaku lantik-melantik, maka sejak dahulu kala upacara pelantikan memang sudah asyik diselenggarakan. Semisal tersurat dalam kisah Mahabharata episode Pandawa Samrat di mana keluarga Pandawa menyelenggarakan upacara pelantikan Yudhistira menjadi raja kerajaan Indraprasta yang baru saja didirikan oleh keluarga Pandawa setelah menyelesaikan masa buangan di rimba belantara. Menarik adalah dampak upacara pelantikan (yang bagi kaum monarki disebut penobatan) pesulung Pandawa itu ternyata lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya.
Terhadap suatu upacara pelantikan selalu ada saja yang tidak setuju atau dengki sampai memuncak ke ledakan amarah. Diawali terbunuhnya Supala oleh Kresna akibat sang titisan Wisnu merasa dihina di depan umum sampai ke delegasi Kurawa walk-out akibat tidak tahan menahan tekanan rasa dengki dan benci. Dampak skandal upacara pelantikan itu memuncak sampai ke pertumpahan darah Bharatayudha, perang antarketurunan Bharata di padang Kurusertra yang membasmi habis keluarga Kurawa.
Dapat disimpulkan bahwa tanpa pelantikan Yudhistira mungkin tidak ada Bharatayudha. Namun, sejarah membuktikan, dampak apa pun yang terjadi, ternyata umat manusia tidak pernah kapok menyelenggarakan upacara pelantikan.
Wisuda
Gelombang semangat pelantikan menggelora masuk ke dunia pendidikan dalam bentuk apa yang disebut sebagai upacara wisuda. Semula yang dilantik adalah para guru besar, tetapi kemudian merosot ke para mahasiswa tingkat S-3 sampai S-1, lalu makin merosot ke siswa lulus SLTA, lalu SLTP, lalu SD, bahkan lulusan taman kanak-kanak sampai playgroup dianggap perlu diwisuda lengkap dengan segala atribut khusus yang janggal apabila dikenakan sehari-hari.
Biaya untuk bisa ikut dilantik di upacara pelantikan dunia pendidikan yang disebut wisuda itu tak bisa diingkari pasti makin memperberat beban biaya pendidikan bagi para siswa, apalagi mahasiswa yang tanpa upacara wisuda sebenarnya sudah amat berat. Nasib para siswa dan mahasiswa Indonesia “sudah jatuh tertimpa tangga”. Konon tanpa ikut upacara wisuda, para siswa dan mahasiswa tidak berhak memperoleh secarik kertas yang disebut ijazah.
Upacara wisuda beda dengan upacara pelantikan anggota legislatif. Para anggota DPR dan DPD yang akan dilantik bukan membayar, tetapi dibayar, mulai dari perjalanan dari domisili masing-masing ke lokasi upacara di Jakarta, akomodasi di hotel mewah lengkap dengan konsumsi yang tentu juga mewah, uang saku, pengadaan tas untuk anggota Dewan, buku profil anggota DPR-DPD terpilih, pengadaan seragam, serta biaya untuk panitia, sampai entah apa lagi hingga jumlahnya sedemikian fantastis hingga sulit dibayangkan oleh rakyat jelata yang harta bendanya tidak sampai jutaan, apalagi miliaran, apalagi triliunan, atau bahkan puluhan triliunan rupiah.
Mungkin ini semua akibat adanya kekhawatiran para wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat itu mustahil sudi menunaikan tugas (yang sebenarnya telah mereka janjikan kepada rakyat agar mereka dipilih oleh rakyat!) apabila mereka tidak secara resmi dilantik melalui upacara pelantikan dengan anggaran bermiliar-miliar rupiah. Padahal, pada masa pemilu dijamin tidak ada caleg yang mengajukan syarat hanya sudi bertugas sebagai wakil rakyat asal dilantik melalui upacara pelantikan dengan biaya minimal sebelas miliar rupiah. Kalau ada, pasti tidak terpilih!
Nurani
Murah atau mahal adalah nisbi sebab lekat terkait pada selera dan tafsir subyektif. Sebelas miliar rupiah mungkin tidak ada artinya bagi para pengambil keputusan negara dan bangsa kita tercinta yang kebetulan setiap hari minimal menerima atau mengeluarkan dana bernilai jauh lebih besar, sehingga nilai miliar langsung terkesan kecil.
Namun, coba kita bertanya kepada teman-teman yang berdomisili di tepi Sungai Ciliwung, kawasan kumuh Marunda, bukit tumpukan sampah, pinggir rel kereta api, para korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, gempa bumi Tasikmalaya, anak-anak yatim piatu telantar, atau kaum papa di daerah-daerah yang disebut tertinggal. Setelah mengerti seberapa banyak sebelas miliar, pasti semua setuju apabila anggaran ditekan serendah mungkin atau malah lebih setuju lagi—pada hakikatnya tidak ada rakyat yang membutuhkan upacara pelantikan anggota legislatif—apabila anggaran berlimpah itu digunakan untuk membangun rumah, sekolah, atau rumah sakit bagi kaum papa.
Para ilmuwan aliran paham kapitalisme pasti sigap menuding ungkapan suara hati nurani rakyat semacam itu sekadar kinerja hasutan antek-antek ajaran sosialisme atau komunisme, bahkan anarkisme, padahal duduk permasalahan tidak perlu ditafsirkan sepolitis itu. Duduk permasalahan sebenarnya jauh lebih sederhana, yakni kemampuan dan kemauan untuk tulus mendengar suara dari lubuk nurani yang terdalam.
Jaya Suprana, Budayawan
Sumber: Kompas, Sabtu, 12 September 2009