Oleh: Febri Diansyah
BAGAIMANA sebenarnya duduk perkara silang sengkarut kasus yang melibatkan empat pucuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Banyak pihak memandang, ini adalah konflik Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan KPK secara institusional. Padahal, belum tentu.
Secara jernih, kronologi kasus tersebut dapat didekati minimal dengan enam titik krusial. Pertama, penetapan Antasari Azhar, ketua KPK (nonaktif), sebagai tersangka dan aktor intelektual (intelectual dader) dalam pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen oleh Polri. Saat itu sebagian masyarakat yang mencermati rekam jejak Antasari tentu tidak akan kaget.
Titik pertama ini sudah melewati proses hukum di kepolisian dan kejaksaan. Kebenaran tuduhan tentu akan dibuktikan di persidangan. KPK pun tidak terlalu terganggu kinerjanya di mata publik setelah minus Antasari.
Masalah baru mengemuka saat ada “niat lain” menjerat tersangka baru di jajaran pimpinan KPK. Pada waktu yang relatif sama, DPR menyuarakan pembekuan kerja KPK karena hanya ada empat pimpinan. Bahkan, kemudian muncul sejumlah informasi, pimpinan KPK hanya akan tinggal satu! Di titik inilah, publik cemas dan sangat khawatir dengan serangan balik koruptor (corruptor fight back) yang semakin sistematis.
Kedua, berbagai jurus mulai digunakan untuk mematikan KPK. Di hari-hari yang kritis pascasalah seorang wakil pimpinan KPK (CMH) dipanggil dan akan dijerat dengan pasal anti penyadapan, beberapa institusi lain pun melakukan manuver. Titik kedua ini pun gagal. Upaya menjerat wakil ketua KPK dengan UU Komunikasi dan UU ITE tidak terdengar lagi.
Namun, agaknya sebuah kekuatan tersembunyi tidak berhenti berpikir. Hingga di titik ketiga, isu suap terhadap pimpinan dan sejumlah staf utama KPK mulai disebarkan. Hanya berbekal testimoni Antasari dan rekaman perbincangan mantan ketua KPK dengan Anggoro Widjaya dan dua lelaki lain. Jurus ini pun kemudian runtuh. Poin menarik terletak ketika si pemberi suap justru melaporkan dua nama yang diduga makelar kasus ke Polri. Laporannya bukan suap ataupun korupsi, tapi pemerasan dan penipuan oleh orang yang mengaku sebagai suruhan KPK.
Kasus ini pun berhenti sementara setelah salah satu makelar kasus ditangkap kepolisian. Dan, surat pencabutan cekal Anggoro itu pun ternyata palsu. Bahkan, mengemuka bahwa sejumlah uang yang diterima si makelar perkara telah dinikmati sendiri.
Selain itu, pertemuan Antasari dengan seseorang yang saat ini menjadi tersangka dan buron kasus korupsi di KPK tentu saja aneh. Bukan hanya janggal, tetapi dapat dijerat dengan ancaman pidana serius di UU KPK.
Namun, KPK belum dapat bernapas lega. Seperti sudah ditetapkan menjadi target operasi (TO), jurus keempat dimainkan. Empat pimpinan dan empat pegawai utama KPK dipanggil Polri dengan tuduhan melanggar pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 dan pasal 421 KUHP, kembali dipanggil. Poin prinsip aturannya sederhana, “dalam perkara korupsi seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya, diancam pidana”.
Ternyata yang dipersoalkan adalah tindakan pencekalan Anggoro Widjaya. Seorang yang sebenarnya tersangka dan buron KPK karena diduga memberikan suap kepada anggota DPR RI dan pejabat Departemen Kehutanan.
Poin kelima terletak pada kasus Anggoro, tepatnya sebagai rekanan Departemen Kehutanan, PT Masaro dalam pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Kasus ini berawal dari penangkapan salah seorang anggota Komisi IV DPR RI, yang bahkan sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor. KPK mulai mengembangkan perkara lain pada kasus Masaro. Agaknya, di sinilah Anggoro mulai dicekal atau dilarang bepergian keluar negeri. Salahkah?
Mengacu pada panggilan Polri, agaknya, pencekalan Anggoro dinilai salah. Bahkan, pelakunya dapat diancam pidana maksimal 6 tahun karena penyalahgunaan kewenangan. Tidak terlalu jelas indikator dan bukti hukum apa yang digunakan dalam kasus ini. Yang pasti, publik mengkhawatirkan penggunaan pasal karet ini cenderung hanya untuk mencari kesalahan orang tertentu di KPK. Tentu bukan tidak mungkin berujung pada pemberhentian pimpinan KPK. Karena UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur demikian, dalam hal pimpinan ditetapkan sebagai tersangka, dia harus berhenti sementara.
Polri mungkin akan bilang, semua orang sama di mata hukum. Tidak boleh ada yang dilindungi. Tapi, bukankah terlalu banyak kejanggalan? Kasus terakhir justru membuat kita berpikir, ada kesan melindungi Anggoro. Mungkinkah? Hal ini menjadi semakin menarik ketika tersangka dan buron KPK ini justru diarahkan meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Untungnya, LPSK menolak.
Lima titik krusial di atas setidaknya diharapkan bisa menjernihkan pembacaan tentang silang sengkarut di balik pemeriksaan pimpinan KPK. Namun, jika ditarik benang merah, ternyata titik kusutnya terletak pada keterangan Antasari. Dua upaya terakhir untuk menjerat pimpinan KPK terlihat didasari testimoni mantan ketua KPK tersebut.
Dapatkah sebuah dokumen yang diperoleh dengan cara melanggar hukum digunakan sebagai bukti? Tentu saja, legitimasi kekuatan alat bukti dapat runtuh, apalagi testimoni tersebut dalam hukum hanya dikategorikan sebagai “testimonium de auditu”. Sesuatu yang sama sekali tidak punya kekuatan pembuktian, karena menerangkan apa yang dilihat dan dijelaskan orang lain.
Selain lima hal di atas, ada satu titik yang tak kalah penting, yakni pemanggilan pimpinan KPK terjadi saat KPK menyelidiki kasus skandal Bank Century. Bahkan, disebutkan salah seorang petinggi Polri sedang diteliti dalam kasus tersebut. (*)
Febri Diansyah, peneliti hukum, anggota badan pekerja ICW
Sumber: Jawa Pos, Senin, 14 September 2009