Oleh Sri Palupi
SELAIN bencana alam, ada bencana lain yang amat serius dampaknya. Bencana itu berupa maraknya praktik hukum rimba dalam kebijakan dan sistem hukum kita.
Meski secara formal Indonesia menganut paham negara hukum, substansi hukum yang berlaku di negeri ini tidak lebih baik dari hukum yang berlaku di rimba belantara.
Hukum Rimba
Praktik hukum rimba laksana orang membelah bambu. Yang di bawah diinjak, yang di atas diangkat. Praktik semacam ini terlihat dalam dua fenomena kontradiktif yang kini menjadi isu. Penyelamatan Bank Century versus kriminalisasi kemiskinan dalam bentuk penangkapan para pengemis dan pemberi sedekah.
Meski banyak pihak menilai Bank Century tak pantas diselamatkan karena dirampok pemiliknya sendiri, tetap saja pemerintah mengucurkan dana sebagai langkah penyelamatan. Alasannya, penyelamatan Bank Century hanya memerlukan Rp 683 miliar. Namun, jika bank itu dibiarkan mati, pemerintah harus mengeluarkan biaya Rp 5 triliun lebih.
Padahal, total dana yang dikucurkan membengkak, dari Rp 630 miliar menjadi Rp 6,7 triliun. Sementara kerugian Bank Century mencapai Rp 9,15 triliun. Ada indikasi kuat penyelamatan konglomerat dalam kasus ini.
Pembelaan terhadap kepentingan konglomerat deposan Bank Century bertolak belakang dengan kebijakan menghukum pengemis dan pemberi sedekah atas nama Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Di satu sisi, penyelamatan kepentingan konglomerat, di sisi lain kriminalisasi orang miskin, bukan berita baru di negeri ini. Kita masih ingat saat kelompok usaha Bakrie ambruk tahun 2008, pemerintah mengalokasikan dana rekapitulasi saham sebesar Rp 262,73 triliun. Pada saat yang sama, pemerintah menghapus kebijakan upah minimum regional (UMR) yang menjadi hak dasar buruh melalui surat keputusan bersama (SKB) empat menteri.
Dalam kasus BLBI 2000-2002, subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk para konglomerat mencapai Rp 332 triliun. Pada saat yang sama, dengan alasan mengurangi beban anggaran, pemerintah mencabut subsidi untuk rakyat kecil yang total berjumlah sekitar Rp 30,8 triliun.
Itu semua mencerminkan kebijakan yang berbasis prinsip hukum rimba. Dalam sistem hukum rimba, keadilan hanya berlaku bagi konglomerat, sementara penegakan hukum hanya ditujukan untuk orang-orang melarat. Tak heran jika para pengemis dikejar-kejar, tetapi konglomerat hitam yang utang dan korupsinya membuat kian banyak orang jadi pengemis justru mendapat tempat terhormat.
Kian kejam
Perlakuan kejam terhadap kelompok miskin di negeri ini sudah sampai pada tingkat yang sulit dibayangkan bisa terjadi di negara yang mengaku berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Pengejaran dan pengusiran terhadap pedagang kaki lima, pengasong, pengemis, dan anak jalanan, misalnya, sudah menjadi pemandangan biasa bagi kota-kota di Indonesia.
Di Jakarta dan sekitarnya, setiap bulan rata-rata 3.223 orang miskin ditangkap dan diusir dari kota. Mereka bukan hanya dikejar dan diusir, tetapi rumah dan tempat usaha mereka juga dibakar.
Setiap tahun rata-rata terjadi 700 kasus pembakaran/kebakaran di Jakarta dan sekitarnya, 71 persen mengena pada permukiman miskin dan 21 persen pada pasar tradisional dan bangunan publik. Bahkan, di Mojokerto dan Nganjuk, kota kecil di Jawa Timur, orang-orang miskin yang hidup dari jalanan ditangkap dan dibuang ke hutan layaknya membuang binatang.
Kebijakan yang berpihak kepada konglomerat dan kriminalisasi orang melarat telah melahirkan pemiskinan yang kian dalam. Pada tahun 2006 WHO mencatat, 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dan mayoritas berasal dari kelompok miskin.
Jumlah penderita gangguan jiwa meningkat 10 persen-20 persen setiap tahun. Sepanjang tahun 2005-2007, sedikitnya 50.000 orang bunuh diri karena alasan kemiskinan dan impitan ekonomi. Tidak terhitung berapa ibu membunuh anaknya karena alasan serupa. Kian dalamnya pemiskinan tidak pernah terlihat oleh kacamata pemerintah yang mengukur kemiskinan hanya dengan garis kemiskinan yang sungguh menipu akal sehat.
Sesat Orientasi
Disadari atau tidak, hukum rimba yang kita jalankan bukan hanya kejam terhadap kelompok miskin, tetapi juga potensial melahirkan kesesatan orientasi nilai di kalangan generasi muda. Perlakuan kejam terhadap orang miskin yang dilegalkan akan membentuk generasi muda yang berhati tumpul, tidak merasakan adanya ketidakadilan yang ditanggung kelompok miskin.
Penyair Kahlil Gibran dengan tepat mengungkapkan bahwa jaring-jaring hukum dirancang untuk menangkap penjahat-penjahat kecil saja. Namun, yang terjadi di negeri ini lebih buruk dari yang dibayangkan Gibran.
Di sini, hukum dirancang bukan hanya untuk menjerat para penjahat kecil, tetapi juga untuk menyingkirkan orang kecil.
Sri Palupi, Ketua Institute for Ecosoc Rights
Sumber: Kompas, Selasa, 15 September 2009