Oleh: Sujiwo Tejo
SEBENTAR lagi dikukuhkan penguasa periode 2009 sampai direncanakan 2014. Banyak yang waswas, SBY nanti akan memimpin tanpa oposisi. Mereka berandai-andai, dukungan yang sama sekali tanpa pembantah kelak akan memaksa SBY memegang tampuk kekuasaan secara otoriter.
Penulis sebaliknya justru mendukung keotoriteran SBY sejauh ia kembali teguh memegang nilai-nilai yang sekarang mungkin telah kita anggap basi, kedaluwarsa, dan tidak “seksi”: Pancasila. Tanpa keteguhan SBY kepada Pancasila, dasar negara yang kini tidak saja kita anggap kedaluwarsa tetapi malah kita tertawakan, totalitas dukungan kepada SBY sesungguhnya justru menjadi perangkap.
SBY diperosokkan menjadi tumbal kehancuran Nusantara. Dasar pikiran kaum penjebak masuk akal. Negeri ini memang harus dibiarkan hancur lebih dahulu untuk bangkit dan jaya memasuki babak baru Nusantara setelah tahun 2012.
Titik Jumpa
Jalur ilmiah dan nirilmiah seakan mencapai titik jumpa dalam menjelaskan kebangkitan Nusantara itu. Buku Prof Arysio Nunes dos Santos, Atlantis: The Lost Continent Finally Found (2005), menunjukkan bahwa kerajaan Atlantik yang pernah berjaya dan sampai sekarang masih misterius bisa jadi tempatnya tidak di mana-mana, melainkan, ya, Nusantara ini. Temuan pakar asal Amerika Latin itu seakan memperkukuh studi selama kurang lebih 30 tahun Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya.
Antropologiman Perancis itu menggarisbawahi lebih rinci dan meyakinkan suatu hal yang sebenarnya sama-sama kita sudah tahu sejak di bangku sekolah. Yaitu, tentang betapa istimewa kedudukan Nusantara dulu maupun—seharusnya—nanti. Lalu, para sejarawan banyak yang bilang bahwa setiap tempat punya periode atau siklus sejarahnya sendiri. Nusantara menurut mereka berperiode 700 tahunan.
Seputar tahun 2012 adalah 700 tahun setelah jaya Majapahit dan dua kali 700 tahun setelah jaya Sriwijaya. Rekan-rekan dari dunia paranormal sudah banyak berkasak-kusuk: rentang 2012 ke 2016 adalah tahun-tahun yang patut diramalkan sebagai pemunculan kembali Sabdo Palon-Noyo Genggong. Dalam ramalan Jayabaya disebutkan bahwa sirna Sabdo Palon-Noyo Genggong akan menandai runtuh Majapahit dan kelak Nusantara meraih jayanya kembali sekembali pasangan misterius Sabdo Palon-Noyo Genggong.
“Kalatida” dan “Kalabendu”
Titik temu jalur ilmiah dan nirilmiah itu bisa dipadukan juga dengan dasar pikiran ramalan Ronggowarsito. Pujangga keraton Surakarta ini membuat siklus tiga zaman. Urutan ketiga adalah zaman kekacauan pribadi, Kalatida, zaman kekacauan pribadi yang memuncak menjadi kekacauan kolektif, Kalabendu, lalu ketenteraman, Kalasuba. Algoritmanya cocok dengan prinsip chaos dalam fisika modern, temuan 1,5 abad berikutnya.
Bahwa chaos akan terdorong ke arah chaos lebih lanjut sampai pada akhirnya ke puncak chaos, Kalabendu karena hanya di dalam Kalabendu-lah terkandung energi internal mendorong keadaan kembali normal. Ekstremnya, bisa dikatakan bahwa tak perlu campur tangan eksternal buat mengembalikan Kalabendu kepada Kalasuba.
Mudah dipahami ketotaliteran SBY nantinya, yang melebihi ketotaliteran Soeharto, akan dipakai para oknum mendorong keadaan Kalatida ke Kalabendu. Soeharto cuma memegang angkatan bersenjata dan Golkar melalui pemilu yang terkesan tak demokratis. Bayangkan, SBY memegang angkatan bersenjata, kepolisian, dan seluruh partai melalui pemilu yang terkesan demokratis.
Pada Kalabendu itu nanti akan muncul energi internal membalik sejarah kepada seputar tahun 2012. Kalau dipas-paskan dengan ramalan suku Maya yang pernah hidup di selatan Meksiko dan prediksi mereka mengguncang dunia ilmiah tahun lalu, bahwa akan terjadi kebangkitan besar di dunia pada 21 Desember 2012, berarti, ya, saat itulah tampil pemimpin agung pengusung babak baru Nusantara, babak Kalasuba.
“Kalasuba”
Dengan dukungan mutlak dan mau tak mau berarti kekuasaan di satu tangan, SBY sesungguhnya bisa berbalik menjebak kaum penjebak. Kaum penjebak menjerumuskan SBY menjadi faktor akseleratif peningkatan Kalatida ke Kalabendu. Namun, pada saat yang sama, dengan keotoriterannya, SBY dapat “menyihir” diri sendiri menjadi energi internal pembalikan Kalabendu menjadi Kalasuba.
Dengan keotoriterannya, SBY bisa menjadikan diri sebagai teladan yang wajib dicontoh dalam menafsirkan maupun melaksanakan Pancasila yang belakangan ini telah kita anggap basi.
Pancasila
Sekadar usul yang mungkin bisa dipertimbangkan, berikut adalah tafsir Pancasila atas dasar Hasta Brata dari tradisi wayang, tradisi yang oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia.
Ketuhanan Yang Maha Esa berarti seluruh warga, terutama para pemimpinnya, lebih-lebih pemimpin puncaknya, yakni kepala negara, harus suwung. Suwung itu zero, tetapi bukan empty. Pemimpin hanya melekat kepada Tuhan. Ia tidak melekat kepada yang lain, termasuk pada harta benda miliknya. Pemimpin boleh kaya dan berkuasa (berisi), tetapi tak boleh punya kemelekatan pada harta-benda dan kekuasaan tersebut (kosong).
Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti manakala kemaslahatan bersama dunia membutuhkan harta benda dan kekuasaannya, pemimpin—terutama pemimpin tertinggi—yang telah suwung harus merelakannya. Ini bagai Prabu Yudistira yang bahkan merelakan darah dagingnya sendiri diiris, bagaikan Nabi Ibrahim yang bahkan merelakan anak sendiri buat disembelih.
Persatuan Indonesia berarti pembatasan wilayah imajiner kepedulian kita terhadap seluruh makhluk agar keanekaragaman di dunia tetap terpelihara. Tak bisa seluruh dunia kita jadikan satu negara dan satu bangsa. Ini akan menyalahi kodrat lima unsur sumber daya alam: materi, waktu, energi, ruang, dan keanekaragaman.
Selanjutnya, hanya orang- orang yang terbukti mampu menjaga keanekaragaman dunia melalui persatuan Indonesia dalam ranah kemanusiaan atas dasar ketuhanan itulah yang berhak memimpin musyawarah mufakat. Itulah seyogianya makna sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Dengan keotoriterannya, SBY nanti bisa berfatwa: tak boleh ada musyawarah apa pun yang agendanya bukan untuk sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sujiwo Tejo, Dalang
Sumber: Kompas, Jumat, 9 Oktober 2009